Ini adalah bagian kedua dalam seri enam esai dari berbagai tokoh sarjana terkemuka yang meninjau kembali “Perjanjian Pertama” dalam iman Kristen kontemporer. —Para Editor

Saya tidak selalu merasakan kebencian tertentu untuk frasa ini. Tradisi gereja di mana saya bertumbuh, muncul dari kebangunan rohani di perbatasan. Salah satu ciri pengkhotbah kebangunan rohani yang baik terletak pada keterampilan mereka menempatkan orang-orang berdosa di tangan Tuhan yang murka, yang seringkali disebut “Tuhan Perjanjian Lama,” dan kemudian memindahkan mereka ke tangan "Tuhan Perjanjian Baru" yang murah hati dan penuh kasih, yang dinyatakan di dalam Yesus Kristus. Kontras yang kuat ini menjadi dasar pemahaman saya tentang Tuhan di sepanjang masa muda saya.

Namun ketika di perguruan tinggi dan mengejar gelar magister dalam Perjanjian Lama, saya lalu menyadari bahwa kekontrasan ini adalah konstruksi yang keliru dalam berbagai hal. Dalam koleksi anumertanya, yaitu Letters from the Earth, seorang provokator teologis, Mark Twain, mengungkapkan persoalan ini dengan tepat ketika ia mengamati bahwa Tuhan Perjanjian Baru, yang tampaknya menciptakan neraka, pasti “ribuan miliar kali lebih kejam daripada ketika Ia berada di Perjanjian Lama.” Atau bagaimana dengan pengamatan G.K. Chesterton dalam The Everlasting Man bahwa sulit sekali untuk menghubungkan kasih dan rasa kasihan Yesus untuk Yerusalem dengan menganggap Betsaida lebih rendah daripada Sodom? (Mat. 11:21)

Namun ini bukan hanya berarti bahwa Yesus jauh lebih kasar daripada yang diceritakan melalui papan flanel Sekolah Minggu. Pada sisi lain, “Tuhan Perjanjian Lama” terbukti lebih penuh kasih, murah hati, penuh pengampunan, dan penyayang daripada yang saya dengar dari para pengajar dan pengkhotbah di masa muda saya.

Tuhan Penyayang yang Keibuan

Jika kita tidak membaca Perjanjian Lama, kita melewatkan banyak hal yang baik. Isi dari Perjanjian Lama tidak hanya tentang minuman keras, seks, dan kekerasan. Jika kita tidak membacanya, kita akan melewatkan materi teologis yang penting, kata-kata yang merefleksikan pribadi dan karakter “Tuhan Perjanjian Lama.” Tuhan kita.

Salah satu klaim teologis yang paling penting terjadi ketika mendekati akhir dari salah satu titik terendah dalam hubungan Israel dengan Tuhan:

TUHAN, TUHAN, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya, yang meneguhkan kasih setia-Nya kepada beribu-ribu orang, yang mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa; tetapi tidaklah sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari hukuman, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya dan cucunya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat. (Kel. 34:6–7).

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Tidak lama sebelum penegasan ini, orang-orang Israel membuat anak lembu emas untuk melambangkan ilah yang akan menuntun mereka ke Tanah Perjanjian. Tidak peduli bahwa hal ini melanggar perintah kedua dari Sepuluh Perintah Allah; umat Israel sudah tidak sabar dengan Musa, yang menghabiskan waktu terlalu lama di atas gunung bersama Tuhan, dan ingin segera melanjutkan perjalanan mereka. Dan sementara Musa menghalangi Tuhan agar tidak bertindak dalam kemarahan terhadap bangsa Israel, Harun tidak dapat menghalangi Musa dari kemarahannya (Musa) sendiri yang menyebabkan orang Lewi menghabisi 3.000 sesama orang Israel atas nama Tuhan (Kel. 32).

Dalam kekacauan akibat penyembahan berhala yang dilakukan umat Israel, Tuhan mengancam untuk tidak pergi bersama mereka ke Tanah Perjanjian. Bahkan keyakinan Musa pun terguncang. Demi mencari kepastian, Musa meminta untuk melihat kemuliaan Tuhan, terlepas dari kenyataan bahwa Tuhan berbicara kepada Musa di kemah pertemuan seperti seseorang yang berbicara dengan seorang teman dekat (Kel. 33).

Semua ini mengarah pada proklamasi di Keluaran 34:6–7 saat Allah turun ke gunung untuk berjalan di depan Musa. Yang sangat penting dalam pernyataan ini adalah sifat baik Allah yang disebutkan pertama kali dibanding yang lain: Allah Penyayang ({compassionate}). Kata Ibrani di balik kata bahasa Inggris "compassion" lebih kaya maknanya karena seperti yang dicatat oleh Beth Tanner dalam tafsiran The Book of Psalms di mana Tanner menjadi salah satu penulisnya, kata itu juga bisa berarti rahim. Jadi terjemahan yang lebih baik mungkin adalah “kasih sayang yang keibuan”.

Dalam Keluaran 34, Tuhan masih memanggil Israel untuk mempertanggungjawabkan dosanya. Tetapi Tuhan melakukannya berdasarkan kasih sayang yang keibuan. Musa menuntut Tuhan: “Ingatlah bahwa bangsa ini umat-Mu” (Kel. 33:13). Jawaban positif dari Tuhan pertama-tama mengidentifikasikan Dia dengan kasih sayang yang keibuan, yang seakan mengatakan bahwa, meskipun Tuhan marah kepada bangsa Israel, seperti yang dilakukan seorang ibu terhadap anak-anaknya, Tuhan tidak akan pernah meninggalkan mereka sebagaimana para ibu tidak akan meninggalkan anak-anak mereka. Tuhan Perjanjian Lama adalah Tuhan kita, Tuhan penyayang yang keibuan, yang mengkonfrontasi dosa yang sangat besar dan menjanjikan masa depan melampaui kegagalan seseorang. Menggambarkan Tuhan Perjanjian Lama yang dipandang dari segi murka-Nya saja, itu hanya mencerminkan satu bagian dari identitas Tuhan dan membuat kita gagal untuk melihat bahwa, menurut Keluaran 34, esensi karakter Tuhan dimulai dengan penyayang yang keibuan.

Article continues below

Kasih Sayang bagi Semua Generasi

Banyak generasi yang dihapus dari Musa dan Mesir-bahkan beberapa generasi setelah kembalinya Israel dari pembuangan—dan para imam pada zaman Nehemia menggunakan bahasa dari Keluaran 34:6–7 dalam sebuah doa yang lahir dari keprihatinan apakah Tuhan telah meninggalkan umat-Nya (Neh. 9:17). Sayangnya, kembali dari pembuangan ternyata tidak meringankan kesulitan mereka di bawah pemerintahan Persia (Neh. 9:36-37). Dengan semakin tak tertahankannya perjuangan mereka, umat Tuhan itu mendengar Taurat dibacakan oleh Ezra, sang ahli kitab itu, dan mereka pun tampaknya menjadi sangat menyadari akan dosa mereka sehingga mereka tidak bisa lagi menahan kesedihan (Neh. 8).

Bahkan ketika orang-orang Lewi berdoa memuji Tuhan karena menjadikan langit dan bumi, memilih Abraham, dan membebaskan Israel dari Mesir, semua itu juga mengingatkan umat Allah bahwa ketika mereka menolak untuk mematuhi perintah Tuhan untuk menduduki Tanah Perjanjian, Tuhan mengampuni karena Tuhan adalah “pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya” (Neh. 9:17).

Dalam menghadapi kesulitan pasca pembuangan dan dosa umat Israel, orang-orang Lewi menaruh harapan mereka akan masa depan pada Tuhan, yang tidak meninggalkan bangsa Israel di masa lalu karena kasih sayang keibuan-Nya yang besar (9:19). Ketika bangsa Israel berpaling dari Taurat dan membunuh para nabi pada zaman Hakim-hakim, namun Tuhan masih meresponi tangisan mereka dengan kasih sayang yang keibuan (9:27), dari waktu ke waktu (9:28). Ketika banyak hal tidak membaik di tengah bangsa itu; umat Tuhan terus berbuat dosa dan membunuh para nabi. Namun Tuhan menolak untuk meninggalkan mereka karena besarnya kasih sayang Dia yang keibuan itu, karena Tuhan adalah Allah yang pengasih dan penyayang yang keibuan (9:31).

Gambaran tentang Tuhan ini mengingatkan saya pada seorang ibu yang saya kenal dari penggembalaan pertama saya di Ohio. Putranya kecanduan narkoba dan jatuh ke dalam berbagai masalah. Dia dan suaminya mencoba segala hal: berbagai pusat rehabilitasi, membuat aturan, kasih yang tegas. Tidak ada yang berhasil. Namun, setiap kali putra mereka pulang, sang ibu memaafkannya, meski tahu bahwa putranya kemungkinan besar akan melukai hatinya lagi. Tetapi anak laki-laki itu adalah putranya. Dan ia adalah ibunya. Demikian pula, meskipun generasi demi generasi anak-anak Tuhan melakukan dosa terhadap Tuhan-termasuk membunuh para nabi Tuhan!—Tuhan menyambut anak-anak Israel (dan kita juga!) untuk pulang ke rumah. Ia menyambut kita pulang dengan kasih sayang yang keibuan berulang-ulang kali. Apa lagi yang seharusnya dilakukan oleh orang tua?

Article continues below

Semua Anak Tuhan

Kitab Yunus berfungsi agak seperti perenungan tentang besarnya kasih sayang Tuhan yang melampaui perbatasan-perbatasan Israel, bahkan di antara musuh-musuh Israel. Berikut ini adalah satu cerita papan flanel yang sebagian besar diceritakan dengan benar. Tuhan menyuruh Yunus untuk pergi ke Niniwe, ibu kota Asyur, penindas Israel. Tetapi Yunus melarikan diri; Tuhan turun tangan dan membuat Yunus dilemparkan dari kapal dan masuk ke dalam perut ikan besar. Dalam waktu yang ia miliki untuk merenungkan pilihan hidupnya, Yunus pun berdoa dan ikan itu memuntahkan dia kembali ke daratan. Yunus akhirnya memenuhi tugasnya yang mula-mula dan memproklamasikan keruntuhan Niniwe dalam waktu dekat. Yang sangat mengejutkan, bangsa Niniwe bertobat dan Tuhan mengampuni mereka.

Mungkin Yunus juga terkejut saat bangsa Niniwe bertobat. Tetapi ia tidak heran jika Tuhan mengampuni. Yang tidak saya ingat dari cerita di papan flanel adalah tentang betapa marahnya Yunus karena ia tahu, seperti yang diketahui oleh Musa dan para imam di zaman Nehemia, bahwa Tuhan adalah Tuhan yang “pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya” (Yun. 4:2). Yunus melarikan diri karena, sekalipun ia tidak bisa memprediksi apa yang akan dilakukan oleh bangsa Asyur, ia tahu apa yang akan Tuhan lakukan: Tak pelak lagi, dengan kasih sayang, Tuhan akan mengampuni bangsa Niniwe begitu ada tanda pertobatan.

Bagaimanapun, bangsa Asyur adalah anak-anak Tuhan juga. Saya ingat kembali di gereja yang sama di Ohio, nada keras yang dilontarkan salah satu penatua untuk meremehkan “orang Jepang,” yang kecerdasan industrialnya mengancam stabilitas industri Amerika Serikat. Namun mereka pun adalah anak-anak yang diciptakan Tuhan. Demikian pula ketika akhir-akhir ini banyak orang Kristen menunjukkan kemarahan kepada orang-orang Muslim di sekitar kita, merasa terancam oleh kehadiran mereka, takut mereka akan mengambil alih negara. Namun orang-orang Muslim ini juga adalah anak-anak yang diciptakan Tuhan. Perjanjian Lama penuh dengan musuh bangsa Israel, dan kita juga memiliki banyak musuh menentang negara kita dan cara hidup kita. Kitab Yunus mengingatkan kita bahwa kasih sayang Tuhan yang keibuan menjangkau bahkan kepada musuh kita, karena kita semua adalah anak-anak Tuhan.

Article continues below

Tentu saja, para ibu bukan hanya orang-orang di kehidupan kita yang bisa memaafkan kita atas suatu kesalahan. Mereka juga siap membela kita pada saat-saat yang sulit. Ibu saya sendiri seperti itu. Saya ingat ketika saya dan saudari-saudari saya masih muda, pihak bank mempersulit kami ketika kami mencoba menyetor uang ke rekening tabungan Natal tanpa adanya tanda pengenal apa pun. Ibu saya membawa kami ke kantor wakil presiden bank tersebut dan menjelaskan bahwa kami adalah anak-anaknya dan dia berharap kami diperlakukan dengan lebih baik. Kami tidak memiliki masalah lagi setelah itu.

Pemazmur yang mendoakan Mazmur 86 berseru kepada Tuhan untuk mengungkapkan kasih sayang yang keibuan dengan cara yang sama, meskipun masalah si pemazmur pasti melebihi insiden kecil yang kami alami di bank tersebut. Pemazmur mengetahui pengampunan Tuhan (Mzm. 86:5), tetapi ia datang kepada Tuhan untuk memelihara nyawanya (ay. 2), untuk menjawab dalam kesesakannya (ay. 7) karena musuh yang menyerang, “orang-orang yang sombong ingin mencabut nyawaku”(ay. 14). Dan saat pemazmur menatap wajah musuh-musuhnya yang sombong itu, ia juga mengingat klaim yang kuat ini, yang bergema di Israel dan sekitarnya: “Tetapi Engkau, ya Tuhan, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih dan setia” (ay. 15).

Pemazmur tahu bahwa Tuhan melihat situasinya dengan kasih sayang yang keibuan, yang menggerakkan-Nya untuk menolong anak kecil dari rumah yang terbakar, yang rela mengorbankan nyawa-Nya untuk menyelamatkan buah dari kandungan-Nya. Kasih sayang yang keibuan bergejolak dalam pembelaan yang penuh gairah untuk melindungi nyawa orang yang Anda lahirkan, untuk menangkis si penyerang dan memberikan tempat yang aman dalam dunia yang penuh dengan kekerasan. Demikian pula Tuhan Perjanjian Lama, Tuhan kita, yang dengan kasih sayang yang keibuan datang untuk menyelamatkan (ay. 16).

Pergi dan Mengasihi Juga

Jika Anda melihat bahasa Ibrani di balik istilah ini dalam Strong’s Concordance, Anda akan melihat bahwa berbagai bentuk “kasih sayang yang keibuan” ini muncul sekitar 150 kali di Perjanjian Lama. Alih-alih mengabaikan tema besar tentang kasih sayang yang keibuan karena kita melihat murka dan dendam Tuhan Perjanjian Lama yang entah bagaimana bukan Tuhan yang sama yang dinyatakan dalam Yesus Kristus, bagaimana jika gereja kita melakukan perjalanan penggalian firman selama setahun dari 150 kemunculan istilah "kasih sayang yang keibuan" ini sehingga hal tersebut menjadi bagian makanan tetap kita dari Kitab Suci?

Article continues below

Mudah-mudahan, satu hal yang akan terjadi adalah bahwa kita dapat datang beribadah dan berdoa dengan rasa syukur yang lebih besar kepada Tuhan kita, yang “tetap sama kemarin maupun hari ini dan sampai selamanya” (Ibr. 13:8). Ketika kita mengikuti Perjamuan Kudus, kita akan melihat bahwa ekspresi pengampunan Tuhan di dalam Yesus adalah karya terkini dari kasih sayang Tuhan yang keibuan untuk semua anak-anak Allah, yang telah Tuhan kasihi sejak kelahiran anak pertama di Taman Eden. Dan di dalam roti dan anggur yang sama yang Yesus tawarkan, kita akan melihat bahwa tindakan pembebasan dari kuasa dosa dan kematian di dalam Yesus adalah puncak dari berbagai tindakan penyelamatan dari para musuh, yang telah Tuhan lakukan berkali-kali untuk anak-anak-Nya.

Dan semoga gereja-gereja kita akan menjadi tempat yang lebih bisa menyambut umat manusia yang rusak, sebagaimana yang Tuhan kehendaki untuk dilakukan oleh gereja. Ketika kita melihat setiap tempat di Perjanjian Lama di mana Tuhan mengekspresikan kasih sayang yang keibuan—dan umat Israel mengikutinya—Tidakkah kita akan tergerak untuk membereskan masa lalu kita yang terlalu mudah membenarkan diri dan terlalu mudah untuk memfitnah musuh-musuh kita, serta membuka komunitas kita bagi semua anak Tuhan dengan sambutan yang penuh kasih sayang? Tidakkah kita akan tergerak untuk melindungi nyawa orang-orang yang terancam oleh kematian di kota dan komunitas kita?

Mungkin kita akan menyadari bahwa kita telah membiarkan kesan pertama menyesatkan kita dan bahwa Tuhan Perjanjian Lama lebih kompleks dan bersemangat serta, tentu saja, keibuan, daripada yang kita ketahui. Mungkin kita akan berhenti mengatakan “Tuhan Perjanjian Lama” dan hanya mengatakan “Tuhan kita.”

Robert L. Foster adalah dosen Perjanjian Baru dan Agama di University of Georgia. Dia adalah penulis We Have Heard, O Lord: An Introduction to the Theology of the Psalter (Fortress Academic).

[ This article is also available in English español Português Français 简体中文 한국어 繁體中文 català, and Galego. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]