Ketika krisis COVID-19 berlarut-larut, banyak pemimpin gereja merasa lelah, putus asa, dan cemas terkait implikasi jangka panjang dari pandemi ini. Para pendeta bertanya-tanya bagaimana mereka dapat menerapkan peran dan tujuan yang alkitabiah untuk pelayanan pastoral dalam konteks yang berubah secara radikal seperti ini. Pekerjaan seperti demikian membutuhkan gembala yang bijak—yaitu mereka yang bersedia mengambil tanggung jawab atas tugas mereka dalam bentuk yang baru dan kekinian.

Sementara tujuan dan definisi dari pelayanan pastoral tidak berubah, namun konteks seputar penggembalaan telah bergeser secara dramatis, berubah dengan cara yang tidak mungkin kelihatan saat kita masih berada di tengah-tengahnya. Ketika pandemi mulai menyebar, para pemimpin gereja diperhadapkan pada tugas yang tidak biasa: menggembalakan orang-orang dari kejauhan. Pekerjaan tersebut, yang semestinya menuntut kehadiran personal, kini harus terjadi di dunia maya. Undangan makan malam dan kunjungan rumah sakit diganti dengan video, email, SMS, dan panggilan telepon yang tak ada habisnya. Pekerjaan yang dulunya dari satu bahu ke bahu yang lain (bahu-membahu), sekarang menjadi dari satu perangkat ke perangkat lain. Dan para pendeta diharapkan bisa beradaptasi dengan cepat dan berlanjut tanpa batas waktu.

Untuk melihat dan memenuhi kebutuhan unik jemaat mereka dengan lebih baik, para pendeta dan pemimpin awam telah memakai media sosial, dengan kreatif memelihara anggota jemaat mereka, memimpin pertemuan Zoom yang tak terhitung jumlahnya, dan mengajar di depan kamera video di ruangan kosong. Tetapi melayani seluruh jemaat bisa menjadi sangat menantang, dan efek jangka panjang terhadap gembala jemaat masih belum jelas.

The Weekly People Check-in adalah penilaian lima menit dari Gloo dan Barna yang memungkinkan orang-orang untuk berbagi pengalaman mereka tentang kepemimpinan gereja, memberikan laporan status bagi para pendeta tentang bagaimana keadaan jemaat mereka dalam hal kesehatan, relasi, pekerjaan, keuangan, dan iman mereka di tengah krisis COVID-19. Selain alat ukur seperti ini, para pendeta juga bersandar pada nasihat yang bijaksana dan batasan-batasan yang tegas untuk melayani orang-orang sambil berusaha mempertahankan level kesehatan rohani pribadi.

Memperhatikan jemaat melalui gereja yang dimobilisasi

Pada permulaan karantina wilayah di Amerika Utara, hal pertama yang ingin dicapai oleh banyak pendeta adalah memastikan jemaat mereka merasa dirangkul dengan penuh kasih. Tentu saja, kebutuhan akan pengharapan selalu ada selama ini. Berbagai bentuk penderitaan yang sudah lama ada sebelum serangan COVID-19 belumlah berhenti. Orang-orang masih menderita kanker. Pernikahan masih runtuh. Dosa masih menghancurkan.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Pandemi ini telah membawa penyebab-penyebab baru bagi keputusasaan itu sendiri: ada lebih banyak jemaat yang menghadapi penyakit fisik, lebih banyak yang berduka karena kehilangan orang yang dicintai, lebih banyak yang tertatih-tatih karena kehancuran ekonomi, lebih banyak yang dibebani kecemasan dan depresi. Kebutuhan untuk memperhatikan orang lain, dari dulu dan sekarang, selalu sama.

Tetapi kelelahan pendeta adalah hasil yang dapat diperkirakan, terutama bagi mereka yang berlari dengan kecepatan pelari jarak pendek tetapi dengan jarak tempuh seperti maraton. Menurut data Glo, para pemimpin gereja sangat ingin menyampaikan pesan iman dan harapan, tetapi sarana untuk mengomunikasikan pesan itu sulit untuk ditentukan. Tanggung jawab untuk memperhatikan dengan baik dari jauh bagi jemaat yang terluka sangatlah membebani, menguras cadangan emosi dan rohani. Ketika para pendeta tidak dapat memakai sarana-sarana yang menurut orang paling meyakinkan—menatap mata, berdoa di samping tempat tidur, dan kehadiran secara fisik—lalu berusaha menjembatani kesenjangan fisik itu di saat penghiburan sangat dibutuhkan, semua itu terasa seperti tugas yang menakutkan dan sangat mungkin gagal.

Bagaimana para pendeta menghadapi keadaan yang seperti itu? Jawabannya, setidaknya sebagian, terletak pada gereja yang dimobilisasi. Satu orang pendeta atau satu program tidaklah cukup—kita membutuhkan setiap anggota yang ditugasi untuk saling memperhatikan, baik melalui doa, komunikasi, catatan penyemangat, atau tindakan pelayanan lainnya. Dwayne Milioni, pendeta Open Door Baptist Church di Raleigh, Carolina Utara, dan ketua dewan The Pillar Church Planting Network, telah mengalami dampak positif dari usaha gerejanya yang dilakukan secara intensional: “Kami benar-benar menemukan diri kami lebih terhubung dengan para anggota jemaat kami selama karantina.” Para pendeta mencurahkan diri mereka bagi para anggota jemaat, dan para anggota jemaat ini mengikuti dengan cara memperhatikan orang lain. Kesehatan rohani pun terjaga ketika kita melibatkan jemaat.

Banyak gereja telah bersatu padu menghadapi krisis, dan menemukan lebih banyak cara untuk memberdayakan para anggotanya. Clint Darst, pendeta dari King’s Cross Church di Greensboro, Carolina Utara, memiliki harapan atas keterlibatan jemaatnya. “Saya terdorong oleh kreativitas jemaat kami dalam menemukan cara-cara untuk melayani satu sama lain,” katanya. “Mobil-mobil berjajar di depan rumah-rumah untuk mengucapkan selamat ulang tahun, para mahasiswa menawarkan bantuan belanja ke toko kelontong bagi para orang tua, orang Kristen yang lebih tua memberi teladan untuk tetap mengucap syukur dan beriman bagi orang-orang Kristen yang lebih muda melalui platform daring yang belum pernah mereka gunakan sebelumnya, kemurahan hati dalam memberi untuk dana diakonia kami, memberikan perhatian lewat telepon kepada orang-orang Kristen di panti jompo. Saya bisa tambahkan daftarnya lebih panjang lagi.”

Article continues below

Kegiatan yang berfokus dari anggota ke anggota ini melindungi para pendeta agar tidak memikul beban berat sendirian dalam memperhatikan jemaat selama krisis. Daya tahan para pendeta meningkat ketika mereka tidak terlalu bergantung pada diri sendiri dan bentuk pemerhatian yang terprogram, serta mulai mempercayakan umat Tuhan untuk pemerhatian anggota jemaat yang termobilisasi untuk menemukan cara-cara strategis dalam menanggung beban di sekitar mereka.

Pemuridan melalui para pemimpin yang diperlengkapi

Karena pandemi ini membutuhkan lebih banyak usaha untuk terhubung, maka jelas bahwa pelayanan pribadi ke pribadi dari pemimpin hingga anggota jemaat, baik secara tatap muka atau virtual, adalah cara yang diperlukan untuk memuridkan di masa kini. Namun, terlalu sering, definisi pemimpin identik dengan jabatan pendeta, yang memberi kesan akan tanggung jawab yang menekan dan membebani mereka yang memegang peran itu. Agar para pendeta memiliki hubungan yang sehat dan berkelanjutan dengan jemaatnya, maka diperlukan lebih banyak pemimpin awam—bukan pendeta—untuk mengambil tanggung jawab rohani bagi pertumbuhan dan pendewasaan orang-orang lain.

Pada saat ini, sebagian besar tugas pendeta adalah memperlengkapi para pemimpin awam untuk mengembangkan pemuridan melalui teknologi atau percakapan empat mata dengan sesama anggota. Pekerjaan ini terletak tepat dalam lingkup tanggung jawab pastoral untuk “memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh [Kristus]” (Ef. 4:12). Pada akhirnya, mereka yang mengalami kemacetan dalam pelayanan karena menyerahkan fungsi pelayanan hanya kepada segelintir pemimpin terpilih, kini benar-benar bergumul, sementara mereka yang memperlengkapi dan memberdayakan lebih banyak pemimpin, justru berkembang pesat. Untuk menjalankan tingkat tanggung jawab yang lebih tinggi di tengah masa ini, para pemimpin dapat memanfaatkan relasi-relasi dan struktur yang sudah ada dalam memberikan pemerhatian dan keterhubungan bagi para anggota jemaat, seperti melalui kelompok kecil atau pelayanan Sekolah Minggu.

Article continues below

Ya, dibutuhkan lebih banyak upaya untuk melatih para pemimpin tentang bagaimana mengajar dan melatih orang lain daripada menulis khotbah eksposisi yang jelas, tetapi upaya ini akan melipatgandakan pengaruh dalam jangka panjang. Untuk menghindari kelelahan di kemudian hari, sebagai pendeta, kita sekarang harus mengembangkan diri kita ketika berbicara dengan para calon pemimpin dan murid, serta berdoa bersama orang-orang yang dapat kita pengaruhi. Setelah para pemimpin ini diperlengkapi, kita dapat yakin bahwa para pemimpin kita menyuarakan kebenaran satu sama lain melalui pertemuan Zoom, pesan teks, dan saat berjalan-jalan di sekitar lingkungan, bahkan ketika gereja tidak dapat berkumpul secara langsung.

Ketika pembatasan jarak sosial dihapus, para pemimpin yang diberdayakan ini juga memberikan harapan melalui banyak pertemuan yang lebih kecil, mungkin di rumah-rumah, sampai kelonggaran dibuat untuk pertemuan komunal yang lebih besar. Agar hal ini terjadi, para pendeta harus mendorong para pemimpin untuk memelihara hubungan rohani yang membangun—ini tugas yang membutuhkan kerendahan hati dan kebijaksanaan yang besar dari pendeta yang sering menjadi pusat dari berbagai pembinaan pemuridan yang terjadi di gereja. Namun, langkah-langkah seperti itu penting untuk keberlanjutan pastoral. Pendelegasian itu memang sulit, tetapi tanpa pemimpin yang banyak, maka beban pelayanan di masa ini akan terlalu banyak yang ditanggung. Dan menemukan cara-cara kreatif untuk melatih sekumpulan anggota gereja agar menanggung beban pelayanan gereja bersama-sama pasti akan membantu kesehatan gereja setelah pandemi berlalu.

Pelatihan melalui sarana yang dapat diperbanyak

Terakhir, pertimbangkan nilai dari format baru dan sarana-sarana yang dapat diperbanyak. Format khotbah mingguan harus disesuaikan dengan momen kita saat ini. Karena kebutuhan, sebagian besar gereja membuat ibadah mereka secara daring—tugas yang menakutkan bagi banyak gereja. Tetapi tanpa adanya umpan balik atas jalannya kebaktian dan percakapan-percakapan yang terjadi setelah kebaktian, maka berkhotbah secara daring membuat banyak orang bertanya-tanya bagaimana membedakan yang efektif: Pesannya atau medianya? Kekosongan seperti itu dapat membuat para pendeta kecewa.

Article continues below

Pertanyaan yang lebih sulit muncul ketika para pendeta bergumul dengan tantangan mengenai bentuk seperti apa yang perlu dipakai dalam kegiatan secara daring ini untuk jangka panjang: Haruskah kegiatan ini berisi pertemuan mingguan sebanyak mungkin, atau haruskah berfungsi sebagai pengisi saja untuk menunggu waktu sampai gereja dapat berkumpul bersama lagi secara fisik? Semakin lama potensi waktu menunggu sampai gereja dapat berkumpul kembali sepenuhnya, semakin besar kemungkinan para pendeta akan memilih untuk menawarkan pengganti yang sesuai untuk berbagai elemen, seperti waktu tanya jawab secara langsung sebelum atau sesudah khotbah, webinar daring tentang topik-topik seperti depresi dan kecemasan, kutipan renungan harian atau mingguan dari pemimpin pastoral, kebaktian secara drive-in (kebaktian yang dilakukan di lapangan parkir dan jemaat beribadah dari dalam mobil masing-masing), atau bahkan khotbah siaran langsung oleh pendeta atau pemimpin awam untuk pertemuan di rumah-rumah. Setiap gereja, dan para pendeta yang dipercayakan untuk pemeliharaannya, harus menentukan sejauh mana kegiatan-kegiatan daring atau pertemuan rumahan ini akan berlanjut ketika pertemuan masyarakat diizinkan untuk dibuka kembali.

Meski demikian, oleh anugerah Tuhan, pembicaraan ini akan bergerak jauh melampaui soal apakah mempertahankan atau meningkatkan kehadiran seseorang secara daring sebagai gereja. Masa disorientasi ini dapat menumbuhkan kecerdikan dan kreativitas terkait cara kita melatih para murid—salah satu tema umum dari gereja yang sukses dan berkembang adalah keinginan untuk menemukan cara sederhana dalam menyaring kebenaran. Kelompok-kelompok kecil berkumpul dan membahas seputar tema dasar kebenaran Injil dan menghubungkan kebenaran itu dengan komunitas gereja, konteks saat ini, dan misi mereka di dunia. Beberapa sarana terbaik untuk melatih orang-orang adalah sarana-sarana yang mudah dipahami, diterapkan, dan diduplikasi. Sekali lagi, ini adalah catatan yang penuh harapan untuk masa depan gereja. Dengan memproduksi konten sederhana dan dapat direproduksi, yang dapat mengerti dan dibagikan kepada orang lain oleh rata-rata anggota, pasti akan meningkatkan budaya pemuridan.

Tugas seorang gembala tidak pernah mudah. Tetapi kita tidak perlu putus asa, juga tidak perlu berusaha memikul beban itu sendiri. Pemahaman teologi menjadi penghiburan terbesar kita. Kita tidak menggembalakan sendirian. Gembala kita yang baik—Pribadi yang telah memberikan nyawa untuk para domba-Nya—adalah Pribadi yang mencintai gereja-Nya jauh melebihi kita, dan Dia, persis pada saat ini, memimpin gereja-Nya dan memanggil kita untuk memiliki iman dan mengikuti kemana pun Ia memimpin.

Article continues below

Matt Rogers, PhD adalah seorang pendeta di Greenville, SC yang juga menjabat sebagai Asisten Profesor Perintisan Gereja Amerika Utara di Southeastern Baptist Theological Seminary dan Ahli Strategi Kesehatan Gereja bersama The Pillar Network. Ia juga adalah penulis sejumlah sarana pemuridan yang dapat direproduksi seperti Seven Arrows for Bible Reading.

Penerjemah: Budi M. Winata

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]

Posted: