Dari Church of the Advent di seberang sungai Charles, berdirilah Harvard yang sangat besar. Di sanalah, profesor psikologi terkenal, Steven Pinker, menganggap dunia semakin baik. Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, ia membuat pernyataan bahwa berkat abad pencerahan terutama sains, kehidupan di bumi membaik. Ia membenarkan bahwa manusia memang “cenderung tergelincir ke dalam irasionalitas,” tetapi secara keseluruhan, menurut dia, data menunjukkan bahwa kita sedang membuat kemajuan. Pinker tidak mengabaikan kejahatan manusia, tetapi dia benar-benar percaya bahwa kemajuan manusia tidak dapat dihentikan dan bahwa sains serta teknologi dapat menyelesaikan segala masalah kita jika kita menjadi orang-orang yang rasional dan berpikiran maju—barangkali menjadi orang-orang seperti dirinya.

Alkitab menentang optimisme kenaifan Pinker dan orang-orang seperti dia. Alkitab adalah sebuah kisah, bukan dokumen ilmiah atau kumpulan prinsip-prinsip rohani. Alkitab memberi tahu kita bagaimana menjadi diri kita sendiri di dunia ini, bagaimana kita telah merusak citra Allah dalam diri kita melalui pemberontakan kita, dan bagaimana Pencipta kita datang dalam pribadi-Nya sendiri untuk mentransfigurasi kita menjadi serupa dengan Sang Putra, yang menjelma dalam rupa manusia. Alkitab memberi tahu kita tentang kuasa dosa dan kematian serta cengkeramannya atas kita.

Kisah Alkitab sungguh-sungguh tidak sentimentil. Alkitab tidak menawarkan optimisme. Alkitab juga tidak menawarkan “pemikiran positif.” Alkitab melihat secara mendalam tentang kesengsaraan, kebodohan, penderitaan, dan kekecewaan manusia pada umumnya. Saya suka apa yang dikatakan penulis Lance Morrow tentang era perang dunia dan genosida abad ke-20: “Alih-alih melihatnya sebagai abad pencerahan yang berkembang, ini lebih terlihat seperti abad kegelapan.”

Masa Adven, bila dipahami dengan baik, dirancang untuk membantu kita memahami “abad kegelapan” ini. Masa ini memperkuat kita untuk hidup di dunia nyata, di mana ada kekuatan jahat yang secara aktif bekerja melawan kesejahteraan manusia dan tujuan ilahi Tuhan. Ini adalah dunia di mana tak seorang pun tampaknya tahu apa yang harus dilakukan terhadap bencana kelaparan di Yaman. Ini adalah dunia di mana janji kebebasan dan demokrasi di Polandia dan Hongaria bergeser di depan mata dunia menjadi penindasan dan otokrasi. Ini adalah dunia di mana niat terbaik kita berbalik melawan kita.

Adven selalu dimulai di dalam kegelapan. Namun ada “tetapi,” dan kita menemukannya terungkap dalam kisah yang diceritakan Alkitab.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Secara umum, segala sesuatu di dalam Alkitab dapat dipahami sebagai masa sebelum dan sesudah pembuangan. Sebelum bangsa Babel datang dan menaklukkan bangsa Yahudi, menghancurkan bait suci, dan membawa orang-orang jauh ke pembuangan di negeri penyembah berhala, janji-janji Allah tampak terjamin. Tanah susu dan madu ada di tangan mereka.

Akan tetapi umat Tuhan tidak hidup menurut kehendak Tuhan. Mereka menjadi acuh tak acuh terhadap orang miskin, memutarbalikkan sistem keadilan, dan berpaling kepada dewa-dewa asing. Penghakiman Tuhan, yang telah lama tertunda oleh belas kasihan-Nya, turun ke atas mereka dalam bentuk gerombolan orang Babel, dan mereka dibawa pergi ke negeri tempat dewa-dewa asing itu berkuasa. Atau tampaknya seperti itu. Tantangan terhadap supremasi—bahkan keberadaan Allah Israel itu sendiri—sangat memberatkan. Seluruh kejayaan bangsa Yahudi tampaknya akan berakhir.

Situasi historis ini digambarkan dalam delapan pasal pertama kitab Zakharia. Nabi itu mencari seorang raja yang akan memulihkan kejayaan Israel, tetapi dia bernubuat tentang raja manusia di bumi, Zerubabel. Pandangan ini tipikal dari mentalitas sebelum masa pembuangan di Alkitab: Janji-janji Allah akan terjadi dalam sejarah.

Namun, setelah pasal 8, kita berada di dunia sesudah masa pembuangan, dan teologi biblika pun berubah. Pasal-pasal pada bagian kedua kitab ini membawa kita kepada suatu pandangan dunia yang berbeda, yang kita sebut apokaliptik. Jangan terkecoh oleh kata ini; artinya tidak sama seperti dalam budaya kita. Ini sebenarnya adalah kata yang alkitabiah. Dalam bahasa Yunani kata apocalypse berarti pewahyuan.

Sebelum masa pembuangan, para pemikir Israel melihat sejarah untuk harapan masa depan mereka. Mereka memiliki banyak data yang memperkuat keyakinan mereka tentang kesetiaan Tuhan dalam sejarah bangsanya. Mereka percaya diri, merasa aman, melenturkan otot mereka, yakin akan kedudukan mereka, tidak menghiraukan peringatan dari nabi-nabi sebelum masa pembuangan seperti Yeremia. Setelah masa pembuangan, para nabi mulai menulis dengan gaya yang berbeda. Perkembangan bagian kedua dalam pemikiran alkitabiah inilah yang menjadi dasar teologi yang memperkuat pemahaman tentang masa Adven.

Setelah masa pembuangan, para pemikir Israel berhenti bergantung pada sejarah sebagai sumber terpercaya bagi masa depan umat manusia. Masa Adven mewakili gerakan teologis besar yang mengarahkan pandangannya ke arah masa depan dari Allah, bukan manusia. Bagian awal kitab Zakharia mencari pembenaran secara sejarah, tetapi hal itu tidak terjadi. Setelah itu, seluruh Alkitab bergerak ke arah masa depan: Hari Tuhan yang akan datang.

Article continues below

Inilah alasan utama mengapa Alkitab orang Kristen disusun secara berbeda dari Alkitab Ibrani. Kitab-kitabnya persis sama, tetapi dalam bagian Perjanjian Lama dari Alkitab Kristen, literatur hikmat/puisi berada di tengah dan para nabi berada di akhir, memandang ke depan kepada campur tangan Tuhan yang melampaui dan di luar sejarah.

Perubahan ini sangatlah penting. Di sinilah kita mulai mendengar nubuatan tentang Mesias yang akan datang “dengan awan-awan di langit” (Dan. 7:13–14). Kata-kata terakhir dari Perjanjian Lama mengarahkan kita ke depan, bukan pada data ilmiah tentang kemampuan manusia, melainkan pada janji-janji Allah di tengah ketidakpastian manusia. Ketika harapan dan potensi manusia telah gagal, sang nabi memberi tahu kita tentang kejadian-kejadian kosmik, dengan pergerakan gunung-gunung dan lembah-lembah—“Setiap lembah harus ditutup, dan setiap gunung dan bukit diratakan...” (Yes. 40:4, ITB).

Dalam pergerakan terakhir dari Tuhan itu bagi keselamatan dunia, “...tidak akan ada lagi udara dingin atau keadaan beku, tetapi akan ada satu hari, hari itu diketahui oleh TUHAN dengan tidak ada pergantian siang dan malam, dan malam pun menjadi siang” (Zak. 14:6–7, ITB).

Saya suka pekuburan yang batu nisannya ditulisi ayat-ayat Alkitab. Pada salah satu pekuburan di mana anggota keluarga kami dimakamkan pada abad ke-19, ada sebuah batu nisan bertuliskan, “Dan malam pun menjadi siang” Saya kira syair itu berasal dari puisi zaman Victoria yang sarat emosi. Namun sungguh sangat mengejutkan, seperti suara petir, saya tersadar bahwa itu berasal dari perikop apokaliptik di kitab Zakharia, di mana ciptaan baru dari Tuhan dijadikan! Ini bukan soal kematian seseorang yang sudah tua yang pergi menyelinap meninggalkan senja. Ini adalah tentang penebusan seluruh umat manusia dan alam semesta ciptaan-Nya, yang diubahkan oleh campur tangan Tuhan yang perkasa. Mereka yang ditebus oleh Allah “...tidak memerlukan cahaya lampu dan cahaya matahari, sebab Tuhan Allah akan menerangi mereka, dan mereka akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya” (Why. 22:5).

Semua nubuatan agung tentang akhir dari sejarah manusia ini terwujud dengan cara yang tak terbayangkan oleh manusia: seorang bayi terlahir dengan cara yang biasa, dalam keadaan yang paling hina. Dia disambut oleh sebagian besar warga dunia dengan ketidakpedulian, oleh beberapa orang dengan ancaman pembunuhan (Herodes), tetapi oleh segelintir orang dengan kekaguman bahwa surga telah datang ke bumi. Tuhan datang ke bumi, bukan sebaliknya. Pergerakan Dia, tujuan Dia, janji Dia digenapi. Karya Tuhan, bukan karya kita. Kita tidak bisa mencapai semua ini dengan seluruh pembelajaran dan pencapaian kita. Hanya Tuhan yang bisa melakukannya.

Article continues below

Penulisan Alkitab pasca-pembuangan selalu menjadi ancaman bagi mereka yang menganggap baik potensi manusia. Sejak zaman Adam dan Hawa, kita selalu berpikir bahwa kita dapat menyelesaikan rancangan ini sendirian. Meski demikian, Adven dimulai dalam kegelapan, di mana segala kemungkinan dan harapan manusia dibingungkan. Sebagaimana yang ditulis Yesaya, “ Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar” (Yes. 9:1).

Pada titik ini pertanyaan yang sama selalu muncul: Jadi apa yang harus kita lakukan? Jika Tuhan akan melakukan penyelamatan ini, peran apa yang bisa kita mainkan? Ini adalah keluhan berulang-ulang dari natur manusia. Sekali lagi, kita ingin pujian. Kita terus-menerus menolak gagasan tentang anugerah Tuhan yang gratis, cuma-cuma, dan terlaksana dengan sendirinya tanpa bergantung pada kontribusi kita. Jika memang Injil yang menjadi inti dari keajaiban Natal, lalu apa yang harus kita lakukan dalam kegelapan Adven?

Berikut ini adalah cerita yang relevan: Tiga tahun setelah serangan teroris 2015 di Paris yang menewaskan 130 orang dan melukai hampir 500 orang, kota itu berkumpul untuk upacara perkabungan yang suram. Dua reporter surat kabar Amerika mengumpulkan kesaksian dari mereka yang berusaha memproses kemarahan dan kesedihan mereka melalui seni. Artikel tersebut secara khusus berfokus pada satu proyek, sebuah film dokumenter karya dua bersaudara bernama Jules dan Gédéon Naudet, lahir di Prancis, tinggal di New York.

Dua bersaudara ini, sebagaimana yang terjadinya, sebelumnya sedang syuting di Manhattan pada 11 September dan hanya merekalah yang merekam video secara jelas dari pesawat jet pertama yang menabrak Menara Utara. Film dokumenter mereka tentang 9/11 adalah film klasik, ditayangkan secara streaming di sebuah museum di New York. Film dokumenter mereka yang terbaru disebut “November 13: Attack on Paris.”

Saat diwawancarai tentang pengalaman membuat film dokumenter kota Paris itu, Jules Naudet mengatakan bahwa mereka ingin membuat film yang berbeda dari film tragedi 9/11. Kedua bersaudara itu menjelaskan bahwa, alih-alih berfokus pada pengeboman, pembantaian, kengerian, dan kehancuran, mereka mencari orang-orang yang selamat. Mereka mengatakan bahwa kali ini mereka ingin menciptakan kembali efek dari serangan tersebut “dengan memahami isi kepala” orang-orang yang mereka wawancarai.

Article continues below

Mereka terkejut dengan apa yang mereka temukan. Dalam kata-kata mereka, Anda akan melihat hubungannya dengan pesan Adven dan respons manusiawi kita saat kita hidup dalam iman dan pengharapan. Inilah yang dikatakan Gédéon Naudet:

Tak seorang pun dari yang selamat itu berbicara tentang kebencian, balas dendam, dan pembunuhan. Anda punya pilihan: Anda berjalan di jalan gelap atau Anda berjalan dengan [cahaya].

Dalam firman apokaliptik dari Kristus yang dicatat di Injil Lukas, kita mendengar ajakan yang serupa. Yesus berbicara tentang “kebingungan bangsa-bangsa” serta “ketakutan dan kecemasan.” Namun di tengah semua ini, kita diundang untuk “bangkitlah dan angkatlah muka [kita], karena penyelamatan [kita] sudah dekat” (Luk. 21:25, 28).

Itulah pesan Adven: Dalam dunia yang penuh kegelapan dan ketakutan, dosa dan kejahatan merajalela, kita memandang kepada satu terang sejati—Kristus Yesus, Anak Allah.

Fleming Rutledge adalah seorang pendeta Episkopal dan penulis terkenal. Tulisan ini diadaptasi dari khotbah yang disampaikan di masa Adven di Church of the Advent di Boston, Massachusetts.

Diterjemahkan oleh: Vika Rahelia.

-

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]