Foniks Bangkit Setelah Perbudakan ISIS

Middle East
33.2232° N, 43.6793° E
Bagaimana Perjalanan Seorang Wanita Membawanya dari Tangan ISIS kepada Pengharapan di dalam Yesus.
Cerita ini mengandung konten yang mungkin dianggap mengganggu oleh sebagian orang.
Oleh Hany Estmalek

atahari sedang terik-teriknya di pinggiran kota Mosul. Saat itu tahun 2018, dan pasukan koalisi sedang menuju tempat persembunyian ISIS. Suasana terasa mencekam. Ada laporan-laporan tentang para pengebom bunuh diri yang menyergap pasukan koalisi dalam keputusasaan mereka untuk menghidupkan kembali impian Khilafah yang memudar.

Ketika para tentara mendobrak masuk ke rumah persembunyian itu, mereka tidak menemukan tentara ISIS melainkan puluhan wanita dan anak-anak yang dirantai ke dinding. ISIS memakai mereka sebagai tameng manusia atau pelaku bom bunuh diri. Para prajurit meyakinkan para tahanan bahwa mereka sekarang aman, dan ISIS tidak bisa lagi menyakiti mereka. Mereka membawa para wanita dan anak-anak itu ke pusat trauma di kota terdekat. Di tempat inilah pertama kali kami bertemu Nora.

Ia berjalan ke ruang tamu dan berdiri di depan kami dengan penuh kesakitan. Ia gemetaran, berlumuran kotoran, keringat, dan darah. Air mata mengalir di wajahnya. Dia tampak seperti tidak makan selama berhari-hari, namun satu-satunya hal yang menjadi perhatiannya adalah bagaimana menutupi tubuh lusuhnya dengan kain rombeng dari bekas pakaian.

Pada tahun 2014, pasukan ISIS yang menyerbu Irak barat datang ke desa tempat Nora tinggal dan menyatakan seluruh penduduk desa sebagai kafir. Sebagian besar sejarawan negara Islam setuju bahwa ISIS didirikan oleh para jihadis yang ingin mengobarkan perang antara Sunni dan Syiah di Irak dan mendirikan kekhalifahan Islam yang pada akhirnya akan mengambil alih dunia. ISIS percaya bahwa versi Islam ekstremis mereka adalah satu-satunya jalan yang benar. Mereka membunuh atau memenjarakan siapa saja yang tidak setuju—bahkan termasuk juga sesama Muslim yang berpandangan moderat tentang Islam.

Ketika milisi ISIS menyerbu ke daerah tempat tinggal Nora, mereka menangkap ribuan wanita dan anak perempuan sebagai budak seks dan membantai banyak pria. Diculik dari rumahnya, Nora pun menyaksikan pembunuhan beberapa anggota keluarganya di jalan-jalan desa. Dia tinggal di markas ISIS di Mosul sampai pasukan koalisi membebaskannya empat tahun kemudian.

Setelah datang ke pusat trauma milik pemerintah, Nora menerima pakaian, selimut, perlengkapan mandi, dan makanan dari tim Impact Middle East (IME) kami. Ia pun bisa terhubung kembali dengan keluarga besarnya, dan mereka pergi untuk tinggal di tenda darurat sebuah kamp pengungsi di Irak Utara.

Selama pengambilalihan ISIS atas Irak dan Suriah, sekitar 7.000 anak-anak dan wanita Muslim, Yazidi, dan Kristen seperti Nora diambil sebagai budak. Meski banyak yang telah diselamatkan, 2.768 orang masih belum ditemukan. Bersama dengan IME Center, banyak pelayanan Kristen lainnya membantu para korban untuk menangani kebutuhan emosional, mental, dan fisik mereka.

Melalui perjalanan hidup yang berliku dan menyakitkan, Nora menghabiskan hari-harinya di dalam tenda, dengan sisa harapan yang semakin menipis dari hari ke hari. Bagaimana ia bisa tahu bahwa di tengah kesedihannya, menunggu hari-harinya di tenda pengungsian, hidupnya akan berubah?

Pada suatu hari yang terik, ketika pasir berhamburan dan bercampur dengan angin, seorang Kristen Arab bernama Jamila tiba di kamp itu dengan satu tujuan saja yaitu mengunjungi Nora.

Bertahun-tahun sebelumnya, Jamila telah meninggalkan pekerjaan bergaji tinggi di negaranya dan pindah ke Irak untuk bekerja dengan para mantan budak seks di kamp-kamp pengungsi. Didorong oleh keinginan yang membara untuk melihat Tuhan menyembuhkan orang yang patah hati, dia mempelajari perawatan dan konseling trauma. Sekarang Jamila adalah anggota staf IME yang menjalankan misinya untuk bekerja dengan gereja lokal di pusat komunitas terdekat.

Ketika Jamila bertemu Nora, ia mengundangnya ke sebuah pelatihan menjahit dan kelompok pemulihan trauma di mana tim dari gereja mengajari Nora keterampilan menjahit dan memberinya pinjaman untuk memulai bisnis kecil-kecilan. Setelah sesi menjahit, para wanita akan berkumpul dengan Jamila dalam terapi kelompok dan sesi konseling tatap muka.

Saat Jamila dan Nora menjalin hubungan yang lebih erat, Nora pun mulai terbuka tentang kengerian yang pernah dia alami. “Pasukan ISIS menempatkan kami di kurungan-kurungan dan mengadakan lelang untuk menjual kami kepada penawar tertinggi. Mereka menyebut kami budak perempuan. Kami direduksi dari manusia menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan.” Nora mengungkapkan isi hatinya pada Jamila tentang bagaimana ia dijual atau dihadiahkan dari satu jihadis ke jihadis lainnya dan bagaimana mereka memperkosa dan memukulinya, menyebutnya sebagai kafir.

Saat Nora membagikan ceritanya yang mengerikan itu, Jamila bisa melihat dengan jelas bagaimana Nora menyalahkan dirinya sendiri atas pelecehan yang terjadi padanya, dan bagaimana dia bergumul dengan kebingungan yang mendalam dan bahkan berpikir untuk bunuh diri. Nora telah meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia mungkin telah melakukan sesuatu yang salah—atau kurang berusaha untuk menghentikan pelecehan terhadap dirinya. Dengan beban ini, Jamila terdorong untuk berlutut mendoakan Nora setiap hari.

Levi Meir Clancy

Saat Jamila memimpin kelas menjahit, sambil mendengar kisah-kisah mantan budak ISIS, ia mengajari mereka bagaimana memahami trauma mereka dan membangun ketahanan emosional. Ia menawarkan mereka harapan bahwa pemulihan sangatlah mungkin terjadi. Selama sekian bulan, banyak wanita menunjukkan peningkatan yang luar biasa dan keinginan yang tulus untuk mendapatkan kembali kemandirian mereka.

Namun, Nora terus bergumul. Wajah-wajah keluarganya yang terbunuh terus menghantui dalam mimpi-mimpinya. Dia sering pingsan dan jatuh selama kelas menjahit, membenturkan kepalanya ke tanah. Jamila merasa sangat sedih terhadap Nora. Suatu malam, Jamila kembali dari kamp pengungsi ke rumahnya dan mengunci diri di kamarnya selama berjam-jam, menangis dan berseru kepada Tuhan.

Keesokan paginya, Jamila kembali ke IME Center dan meminta Nora untuk tetap tinggal setelah kelas selesai. Jamila meminta izin untuk mendoakannya dalam nama Yesus. Nora tahu tentang Yesus, tetapi percaya Yesus tidak lebih dari seorang nabi. Meskipun demikian, karena keinginannya yang besar untuk sembuh, Nora setuju. Jamila memegang tangannya dan memejamkan mata. Saat mereka berdoa, Jamila mengalami apa yang dia anggap sebagai penglihatan dari Tuhan. Dia melihat Nora berdiri di tendanya dengan pisau di pergelangan tangannya, mencoba untuk bunuh diri.

Jamila segera berhenti berdoa dan bertanya pada Nora apakah dia mencoba bunuh diri. Jamila menjelaskan gambaran yang ia lihat, pakaian yang dikenakan Nora, dan ruangan tempat dia berada. Nora ketakutan karena rahasianya terbongkar. Dia selalu mengenakan baju lengan panjang untuk menyembunyikan bekas luka dari usaha bunuh dirinya. Sambil menangis, dia bertanya pada Jamila dengan tidak percaya, “Bagaimana kamu bisa tahu tentang hal itu? Bagaimana kamu bisa melihat itu?”

Jamila menjawab, “Tuhan kita adalah Bapa yang pengasih. Dia melihatmu. Dia melihat rasa sakit dan penderitaanmu, dan Dia peduli padamu. Dia ingin kamu tahu bahwa Dia bersamamu di tenda malam itu saat kamu mencoba bunuh diri.”

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Nora berdoa kepada Tuhan sebagai Bapanya. Dia telah diajari sejak kecil untuk menganggap Tuhan sebagai tuan yang menuntut, tetapi malam itu dia mengalami kasih tanpa syarat dari Bapa surgawi untuk melakukan mujizat dalam hidupnya di tengah rasa sakit dan penderitaan yang luar biasa. Pada minggu-minggu berikutnya, Jamila mulai memuridkan Nora, mengajarinya tentang kasih sayang dan perhatian Tuhan untuknya.

Pada awal perjalanannya dengan iman yang baru, Nora masih bergumul dengan pertanyaan, “Di mana Tuhan saat ISIS menyerang desa saya? Bagaimana mungkin Bapa yang pengasih membiarkan begitu banyak kejahatan dan penderitaan?” Jamila mendampingi Nora dalam memahami konsekuensi dari kehendak bebas dan penderitaan karena dosa. Tuhan tidak hanya peduli dengan rasa sakit kita, kata Jamila, Dia juga menderita bersama kita.

Kata-kata pewahyuan bergema dengan harapan di dalam diri Nora yang terluka, suatu janji bahwa akan tiba waktunya di mana Tuhan akan menghapus segala air mata, dan “maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Why. 21:4).

Setelah beberapa bulan mengalami pewahyuan kasih ilahi ini, Nora berdoa bersama Jamila dari lubuk hati terdalam: “Abba mengajari saya bahwa saya dicintai, bahwa saya cantik, bahwa saya berharga. Ia memberitahu saya bahwa Ia adalah seniman ulung yang mampu memulihkan orang yang patah hati, membebaskan para tawanan, dan membuat sesuatu yang indah dari seonggok abu.”

Foto Sampul oleh Isaak Alexandre Karslian
Diterjemahkan oleh: George Hadi Santoso

Enjoying the Globe Issue?
Order your Deluxe
Print Edition
Today!

Share Article