Pada 6 Oktober 2022, seorang mantan polisi membunuh 36 orang, banyak dari mereka adalah anak-anak, di sebuah tempat penitipan anak di timur laut Thailand. Penembakan dan penusukan terjadi beberapa minggu setelah seorang pria bersenjata menembak dan menewaskan 17 orang di sebuah sekolah di Rusia tengah. Pada bulan Juli, teroris menyerang sebuah kebaktian gereja hari Minggu di barat daya Nigeria, menewaskan puluhan jemaat.

Amerika Serikat telah mengalami banyak penembakan massal tahun ini, termasuk pada parade 4 Juli di pinggiran kota Chicago, di mana tujuh orang terbunuh; di sebuah toko kelontong di Buffalo, New York, di mana 10 orang terbunuh; dan di sebuah sekolah dasar di Uvalde, Texas, di mana 21 orang terbunuh.

Di AS, kaum Injili kulit putih lebih mungkin memiliki senjata (41%) dan cenderung mengatakan bahwa hal itu membuat mereka merasa lebih aman (77%) daripada penganut agama lainnya di Amerika, menurut Pew Research Center. Lebih dari separuh kaum Injili kulit putih (57%) mengatakan bahwa perlindungan adalah satu-satunya alasan terpenting mereka memiliki senjata.

Studi Pew 2017 menemukan bahwa 38 persen kaum Injili kulit putih khawatir menjadi korban penembakan massal, 61 persen khawatir menjadi korban kejahatan kekerasan, dan 66 persen khawatir menjadi korban serangan teroris.

Namun orang Amerika yang menghadiri kebaktian setiap minggu lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki senjata dibandingkan mereka yang lebih jarang menghadirinya (27% vs. 31%), [hasil temuan] studi Pew. Dan orang Amerika dengan tingkat komitmen agama yang tinggi lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki senjata dibandingkan mereka yang komitmennya rendah (26% vs. 33%).

CT baru-baru ini mewawancarai para pemimpin gereja dari sembilan negara untuk mempelajari lebih lanjut tentang kepemilikan senjata di negara mereka dan pemikiran mereka tentang masalah ini, baik secara teologis maupun alkitabiah. Jawaban mereka disusun (dari atas ke bawah) dari mereka yang percaya orang Kristen boleh memiliki senjata untuk keamanan pribadi hingga mereka yang percaya bahwa hal itu tidak sesuai dengan iman mereka:

Nigeria | Steve Dangana, ketua, Pentecostal Fellowship of Nigeria (PFN), negara bagian Plateau:

Warga negara Nigeria dapat memiliki senjata selama senjata tersebut terdaftar pada pihak berwenang.

Orang-orang Kristen dipanggil untuk menjadi garda depan bagi perdamaian dan pembawa damai di dunia yang penuh dengan kekerasan dan kejahatan. Kekontrasan antara apa yang menjadi panggilan kita untuk menjadi duta Kristus dan realitas dunia kita saat ini menimbulkan tantangan untuk memiliki senjata demi pertahanan diri dan tujuan non-kekerasan lainnya. Saya pribadi percaya bahwa adalah hak orang Kristen untuk memiliki senjata dengan tujuan pertahanan diri.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Tingkat kekerasan yang meningkat di komunitas kita saat ini memiliki dimensi yang mengkhawatirkan. Kecerobohan di mana nyawa tak berdosa dibunuh setiap hari oleh individu tanpa hati nurani meninggalkan pertanyaan di hati banyak orang Kristen terkait tantangan etis atas kepemilikan senjata. Namun, Alkitab menawarkan beberapa wawasan berkenaan dengan praktik-praktik yang menginformasikan masalah ini di masa sekarang.

Pada malam Yesus dikhianati, Ia mendorong para murid-Nya untuk membawa pedang. Mereka memiliki dua pedang, yang menurut-Nya sudah cukup (Luk. 22:36-38). Akan tetapi ketika Yesus ditangkap, Petrus menghunus pedangnya dan memutuskan telinga salah satu hamba imam besar (Yoh. 18:10). Yesus menanggapi dengan menyembuhkan orang itu seketika (Luk. 22:51), kemudian memerintahkan Petrus untuk menyingkirkan pedangnya (Yoh. 18:11). Kepemilikan pedang oleh Petrus tidak dikutuk. Hanya penggunaannya dalam situasi tertentu yang mendorong Yesus untuk menahan diri.

Pada kesempatan lain, tentara datang kepada Yohanes Pembaptis untuk dibaptis. Ketika ditanya apa yang harus dilakukan untuk hidup bagi Tuhan, Yohanes menjawab, “Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu.” (Luk. 3:14). Kita melihat Yohanes tidak memberi tahu para prajurit untuk meletakkan senjata mereka.

Jadi bisa dikatakan bahwa Alkitab tidak pernah melarang orang Kristen memiliki senjata, selama itu digunakan sesuai dengan iman dan praktik kristiani kita serta membawa kehormatan bagi Kristus, menghormati dan menghargai umat manusia, serta memuliakan Tuhan.

Orang Kristen didorong untuk taat hukum sebagai duta Kristus dan warga yang setia terhadap negaranya. Roma 13 memberi tahu kita bahwa otoritas pemerintah berasal dari Allah dan harus dipatuhi. Oleh karena itu, undang-undang senjata apa pun, serta undang-undang setempat lainnya, harus dipatuhi.

Pada akhirnya, kita melihat bahwa memiliki senjata api atau senjata lainnya bukanlah dosa atau tidak pantas, selama hal itu untuk pertahanan diri atau penggunaan non-kekerasan lainnya.

Afrika Selatan | Siki Dlanga, koordinator sebuah kampanye yang menentang kekerasan berbasis gender untuk Evangelical Alliance of South Africa:

Warga Afrika Selatan secara legal dapat memiliki hingga empat senjata pada usia 21 tahun atau lebih. Setiap senjata api harus didaftarkan, dengan aturan ketat yang sesuai saat mendaftar.

Article continues below

Mengenai apakah orang Kristen perlu memiliki senjata api atau tidak, itu adalah masalah hati nurani pribadi. Tentang senjata, Kitab Suci mengajarkan sebagai berikut: “Karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng. Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus, dan kami siap sedia juga untuk menghukum setiap kedurhakaan, bila ketaatan kamu telah menjadi sempurna” (2Kor. 10:4-6).

Kitab Suci menempatkan perlindungan orang percaya dari alam spiritual terlebih dahulu. Senjata kita bukanlah duniawi melainkan rohani. Kita tahu bahwa segala sesuatu dimulai secara rohani sebelum hal itu terwujud di alam jasmani. Kita tidak bisa melawan Iblis dengan senjata yang dia ciptakan dan berharap untuk mengalahkannya. Untuk mengalahkan kejahatan, kita diberitahu, harus menggunakan senjata rohani yang “kuat di dalam Tuhan.”

Selanjutnya, “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan dan kasih dan ketertiban” (2Tim. 1:7). Mengandalkan senjata api daripada kekuatan kasih bukanlah jalan Kristus. Senjata api telah menaburkan banyak penderitaan di dunia, sampai-sampai kita hanya bisa berharap untuk perdamaian jika kita saling mengancam dengan “kehancuran yang saling menguntungkan.” Itu bukan indikator masyarakat beradab dengan pikiran yang sehat.

Korea Selatan | Kim Seungkyeom, pendeta senior Graceforest Community Church di Yongin:

Di Korea, kepemilikan senjata sangat dibatasi. Hanya senapan berburu yang diperbolehkan. Namun Anda harus mendaftarkannya di kantor polisi.

Menurut pendapat saya, sangatlah tidak disarankan untuk memiliki senjata demi keamanan pribadi. Jika seseorang memiliki senjata untuk keamanan, orang lain akan mencoba melindungi dirinya sendiri dengan memiliki senjata yang lebih kuat. Anda dapat melihat hal ini dari perlombaan senjata nuklir. Kini terdapat semakin banyak senjata nuklir, dan semakin kuat, dan keunggulan komparatif atas negara lain dapat membuat dunia semakin berbahaya.

Pada dasarnya, masalah keamanan pribadi adalah area yang harus menjadi tanggung jawab suatu bangsa. Roma 13:4 mengatakan, “Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat.

Article continues below

Namun bagi para individu, Tuhan mengatakan ini: ”Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang” (Mat. 26:52). Sebenarnya, ini adalah pelajaran tentang balas dendam, bukan masalah keamanan pribadi, namun ini juga pelajaran dasar dalam penggunaan senjata.

Orang Kristen seharusnya tidak menyandarkan keamanan mereka pada kepemilikan senjata, melainkan dalam kasih karunia dan perlindungan Tuhan. Ironisnya, saya menaruh tongkat bisbol di samping tempat tidur saya kalau-kalau ada perampok tiba-tiba masuk.

Swiss | Jean-René Moret, pendeta, Evangelical Church of Cologny:

Kami diizinkan memiliki senjata di Swiss. Kami masih memiliki wajib militer, dan kebanyakan pria Swiss membawa pulang senapan serbu untuk disimpan dan latihan menembak. Senapan serbu diperbolehkan. Para pria yang telah menjalani wajib militer punya pilihan untuk membeli kembali senapan militer mereka dan menyimpannya. Pemilik senjata harus mendaftar.

(Hanya laki-laki yang wajib militer. Wanita dapat mengajukan diri untuk menjadi bagian dari tentara. Mereka yang menolak karena keberatan hati nurani akan melakukan pelayanan masyarakat.)

Ajaran dan teladan Yesus menunjukkan bahwa orang Kristen lebih baik menderita kehilangan harta benda, kehormatan, dan kehidupan mereka daripada melawan kekerasan dengan kekerasan (Mat. 5:38–42; 1Ptr. 2:20–23). Paulus dalam Roma 13:4 mengakui peran negara untuk menyandang senjata agar menekan kejahatan. Namun ini bukanlah peran individu.

Seseorang dapat mempertimbangkan apakah dapat diterima untuk memiliki senjata untuk membela orang lain yang rentan. Ini mungkin terjadi dalam situasi kegagalan negara dan pelanggaran hukum. Sekalipun bahkan dalam kasus seperti itu, seseorang harus bertanya di mana orang Kristen akan menaruh kepercayaan mereka. Akankah mereka percaya pada Tuhan, atau pada senjata, kekuatan, dan kemampuan mereka sendiri? (Yes. 30:15-17).

Kekerasan akibat senjata adalah sebuah konsekuensi, tidak hanya dari kepemilikan senjata, melainkan juga dari budaya di mana senjata dianggap memberikan keamanan dan solusi. Orang Swiss memiliki banyak senjata tetapi tidak berharap untuk menggunakannya selain berburu, menembak secara sportif, dan perang yang tidak mungkin terjadi. Bagi orang Kristen, senjata mungkin adalah berhala, sesuatu yang menuntut kepercayaan yang seharusnya hanya kita berikan kepada Tuhan.

Article continues below
Kanada | Karen Stiller, penulis, editor, dan jurnalis, Ottawa:

Kami dapat memiliki senjata, meskipun Kanada memiliki undang-undang kontrol senjata yang ketat. Diperlukan pemeriksaan latar belakang yang menyeluruh untuk hal itu. Lebih dari 1.500 jenis senjata serbu gaya militer dilarang di Kanada pada tahun 2020. Undang-undang yang lebih ketat diajukan baru-baru ini untuk lebih membatasi kepemilikan senjata.

Ayah saya adalah anggota Royal Canadian Mounted Police. Saya dibesarkan di lingkungan di mana senjata hadir dan diakui sebagai bagian yang berpotensi berbahaya tetapi penting dalam pekerjaan ayah saya. Kami menghormati ayah saya, pekerjaannya, dan seragam Royal Canadian Mounted Police. Saya senang dia memiliki pistol, karena saya tahu itu membantu melindungi dia dan orang-orang yang ia lindungi dalam pekerjaan dan panggilannya.

Tentu saja, senjata memiliki tempat di dunia, tetapi senjata bukan bagian dari kehidupan sehari-hari dan budaya di Kanada seperti di AS, atau saya duga, di banyak tempat lain di dunia. Negara kami memiliki sejarah yang berbeda, dan kami tidak memiliki Amandemen Kedua dan semua yang mewakilinya.

Peran senjata dalam kehidupan mungkin berbeda di berbagai negara bagian Kanada (saya adalah orang kota sejak kecil), tetapi saya masih tidak percaya mereka yang akan melobi untuk mengurangi kontrol kepemilikan senjata di Kanada akan sama seperti mereka yang memiliki senjata di AS. Bahkan pertanyaan Haruskah orang Kristen memiliki senjata untuk keamanan pribadi? terasa sangat Amerika. (Dan pernyataan saya itu terasa sangat Kanada.)

Tidak terpikir oleh saya jika keluarga kami, yang adalah orang Kristen, memiliki senjata yang khusus ditujukan untuk keamanan pribadi. Jika kami melakukannya, dan kami mengikuti hukum negara (yang kami percaya bahwa kami harus mengikutinya sebagai orang percaya), senjata itu akan dibongkar, dikunci, dan disimpan secara terpisah dari amunisi. Jadi, secara umum, pengaturan tidak terlalu membantu dalam hal perlindungan pribadi, tidak peduli posisi teologis seseorang.

Australia | Sam Chan, penginjil dengan City Bible Forum di Sydney:

Di Australia, Anda dapat memiliki senjata, tetapi Anda harus memiliki lisensi dan mendaftarkan senjata tersebut. Akan tetapi Anda tidak dapat membeli senjata otomatis atau semi otomatis.

Article continues below

Saya pernah tinggal di sebuah peternakan dan menyaksikan petani menembak hewan liar. Saya juga punya teman yang hobi menembak. Namun, pada umumnya, kepemilikan senjata bukanlah bagian utama dari budaya Australia.

Orang Australia mungkin merasa perlu memiliki mobil atau rumah, tetapi bukan senjata untuk keamanan pribadi. Itu bukan sesuatu yang umum di Australia. Justru yang membuat kami merasa aman di Australia adalah karena sedikitnya senjata, bukan ketersediaannya.

Di Australia kami memprioritaskan keamanan komunal, dan kami berharap pemerintah mewujudkannya. Saya pikir kami adalah negara pertama yang memberlakukan undang-undang tentang wajib sabuk pengaman untuk mobil, helm untuk pengendara sepeda, dan tes napas secara acak bagi para pengemudi.

Untuk itu, kami membatasi hak kepemilikan senjata demi keselamatan masyarakat. Belum ada penembakan massal besar-besaran sejak tahun 1996.

Paulus juga menghimbau hal ini dalam 1 Korintus 10:23–24: “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun. Jangan seorangpun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain."

Paulus mengatakan bahwa kita memiliki hak individu, tetapi kita juga memiliki tanggung jawab pribadi untuk melakukan yang terbaik bagi masyarakat.

Honduras | Miguel lvarez, presiden dari Central American Biblical Pentecostal Seminary di Quetzaltenango, Guatemala:

Di Honduras, orang-orang dapat membawa senjata, tetapi untuk melakukannya mereka harus mendaftar, sesuai dengan persyaratan yang diminta oleh departemen pertahanan. Sayangnya, bahkan dalam proses yang bermaksud baik ini, mungkin ada tanda-tanda korupsi. Namun demikian, undang-undang itu ketat bagi mereka yang memilih untuk membawa senjata.

Saya tidak yakin bahwa orang percaya di dalam Kristus harus membawa senjata. Membawa senjata bertentangan dengan pesan Injil. Tidak ada alasan teologis atau alkitabiah yang membenarkan penggunaan senjata. Panggilan orang percaya di dalam Kristus adalah membawa damai, bukan berperang. Tuhan telah memberi kita kemampuan untuk berdialog sebagai makhluk beradab tentang perbedaan kita untuk menyelesaikan kontroversi dengan cara damai. Setiap orang percaya yang membawa senjata jelas meragukan kekuatan rohani yang ada di dalam dirinya.

Menurut Yakobus 3:17, “Tetapi hikmat yang dari atas ... pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik.” Selanjutnya, menurut Roma 12:18, “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” Tuhan memanggil kita untuk hidup dalam damai. Kehadiran senjata bertentangan dengan perdamaian. Tidak ada pembenaran alkitabiah atau teologis untuk penggunaan senjata.

Article continues below

Orang-orang yang bersikeras untuk mengangkat senjata tidak mengenal damai Tuhan, mereka juga tidak dapat memahami keadilan Tuhan. Oleh karena itu, penting untuk menyatakan diri sebagai orang yang menentang perang dan penggunaan senjata untuk menyelesaikan konflik manusia serta menyatakan diri mendukung perdamaian dan keadilan.

Filipina | Emil Jonathan Soriano, pendeta Gereja @ No. 71, San Pedro, Laguna:

Di Filipina, orang bisa memiliki senjata secara legal, meski sulit. Pemerintah memiliki persyaratan yang sangat ketat. Namun demikian, saya pribadi mengenal orang Kristen yang memiliki izin untuk membawa senjata untuk tujuan rekreasi.

Saya rasa orang Kristen tidak harus memiliki senjata untuk keamanan pribadi. Pekerjaan Tuhan di dunia adalah untuk menghasilkan kehidupan dalam segala kelimpahannya (Yoh. 10:10) dan menaklukkan kematian (1Kor. 15). Senjata bertentangan dengan pekerjaan Tuhan karena senjata adalah alat kematian yang dirancang untuk membunuh. Di Filipina, senjata api lepas digunakan untuk kejahatan dan pembunuhan di luar proses hukum, yang telah menyebabkan pembunuhan gaya main hakim sendiri di masa lalu. Kitab Suci menegaskan bahwa alat-alat kematian harus dibongkar dan diubah menjadi alat-alat produksi dan penghidupan (Yes. 2:4; Mi. 4:3).

Lebih penting lagi, Yesus mencontohkan etika antikekerasan, yang Ia tunjukkan melalui kasih yang memberi dan rela menderita bersama kita. Kasih inilah yang memanggil kita untuk mempersembahkan hidup agar orang lain dapat hidup (Mat. 5:38–48; Rm. 12). Dalam Yesus, kita melihat bahwa seseorang tidak membutuhkan senjata untuk membela diri dan menjadi aman. Orang Kristen mula-mula mengikuti teladan-Nya; mereka tidak berusaha membela diri dengan mengangkat senjata tetapi sebaliknya dengan rela menyerahkan hidup mereka sebagai saksi Injil. Ini tidak berarti bahwa orang Kristen harus menjadi martir dan tidak mengambil tindakan pencegahan. Orang-orang Kristen diundang untuk hidup dengan berhikmat sambil berusaha untuk mengubah dunia menjadi dunia yang didasarkan pada perdamaian. Seperti yang pernah dikatakan Clement dari Alexandria, seorang bapa Gereja mula-mula, “Para saudari yang sederhana dan pendiam, kedamaian dan kasih tidak memerlukan senjata. Karena kita dilatih bukan dalam perang, melainkan dalam damai.”

Article continues below
Singapura | Edric Sng, pendiri dan editor Salt&Light dan Thir.st:

Di Singapura, penggunaan senjata dikontrol secara ketat di bawah undang-undang Arms Offences Act. Selain polisi dan angkatan bersenjata, kami hampir tidak mengetahui siapa pun yang terlihat membawa atau menggunakan senjata. Kalau ada yang melakukannya akan segera menjadi berita utama di halaman depan.

Ini berarti kami di Singapura dapat menjalani hidup tanpa pernah mengkhawatirkan ancaman kekerasan senjata.

Dalam Lukas 22, tepat setelah Perjamuan Terakhir, Yesus mempersiapkan murid-murid-Nya untuk masa yang akan datang ketika mereka harus menjalankan misi tanpa guru mereka. “Siapa yang tidak mempunyainya [pedang] hendaklah ia menjual jubahnya dan membeli pedang,” kata Yesus kepada mereka di ayat 36. Pedang pada masa itu akan berguna untuk banyak hal. Untuk berburu. Untuk memanen. Sebagai alat serbaguna.

Dan, ya, itu adalah senjata—tetapi jelas itu bukan maksud Yesus. Jika Yesus bermaksud agar para murid membawa senjata untuk berperang, Dia tidak akan mengatakan kepada mereka bahwa dua pedang di antara mereka sudah cukup (ay. 38). Dia akan memberitahu mereka untuk membawa lebih banyak! Semakin banyak semakin aman!

Akan tetapi jelas pedang itu bukan untuk menyerang atau membela diri. Dalam beberapa jam selanjutnya, dalam Lukas 22:49–51, Yesus ditangkap. Petrus menghunus pedangnya untuk menghalangi rombongan yang dipimpin oleh Yudas si pengkhianat. Namun alih-alih pujian, dia malah mendapatkan teguran Yesus: “Sarungkan pedangmu itu!” (menurut Yohanes 18:11).

Apakah suatu kebodohan untuk menjadi tidak berdaya di dunia yang jahat, di mana semua orang membawa senjata? Menurut manusia, mungkin. Akan tetapi apakah lebih bijaksana menurut Tuhan untuk memegang senjata yang dapat dengan mudah merenggut nyawa orang lain, sekalipun untuk membela diri? Mengapa membayangkan kehidupan Anda atau keluarga Anda—lebih berharga daripada kehidupan orang lain?

Jika dunia dipersenjatai, haruskah kita mengikuti—atau apakah itu akan membuat kita seperti dunia?

Dengan bantuan laporan dari Jennifer Park

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

-

[ This article is also available in English Português Français 简体中文 한국어 繁體中文 русский, and Українська. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]