Terkadang dibutuhkan kengerian perang yang baru untuk mengingatkan kita kembali bahwa dunia kita ini bukanlah tempat yang damai. Dengan latar belakang kekerasan yang telah berlangsung lama di Myanmar, Yaman, Suriah, Etiopia, Somalia, Afganistan, dan sekitarnya, agresi Rusia di Ukraina menjadi pusat perhatian selama berbulan-bulan di tahun 2022.

Sebagai umat Kristen, kita percaya bahwa dunia seharusnya damai dan suatu hari nanti akan benar-benar damai. Ketika Yohanes Pembaptis lahir dan ayahnya, Zakharia, dipenuhi dengan Roh Kudus serta menubuatkan akan hadirnya penebusan dari Allah, nubuat itu mencapai klimaksnya dengan adanya penglihatan akan perdamaian (Luk. 1:67-79). Zakharia menyatakan bahwa Allah “telah melawat umat-Nya dan membawa kelepasan baginya” dari “dalam kegelapan dan dalam naungan maut.” Dia akan “mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera.”

Ketika para gembala mendengar tentang kelahiran Yesus, pemberitaan itu pun disertai seruan tentang damai sejahtera. Sejumlah besar malaikat memuliakan Allah, dan dari segala berkat yang dapat diberikan pada inkarnasi Kristus, mereka memberitakan “damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk. 2:14).

Pesan yang Tuhan nyatakan kepada orang-orang Yahudi, seperti yang kemudian diringkas oleh rasul Petrus, adalah “Kabar Baik tentang damai melalui Yesus Kristus” (Kis. 10:36 BIS). Sebagai umat Kristen, kita memiliki Injil damai sejahtera (Ef. 6:15), Raja Damai (Yes. 9:5), damai sejahtera Allah maupun Allah sumber damai sejahtera (Flp. 4:7, 9), dan harapan terakhir akan kedamaian di dunia baru tanpa ada perkabungan atau ratap tangis, atau dukacita (Why. 21:3–4).

Harapan itu tidak hanya untuk masa depan. Perdamaian tidak hanya berlaku untuk akhir zaman, tetapi justru hal inilah yang terlalu sering dibicarakan oleh orang-orang Injili.

Kita cenderung berbicara seolah-olah mendambakan perdamaian dan mengejarnya adalah urusannya Neville Chamberlain, Jimmy Carter, dan John Lennon, bagaikan suatu tanda kelemahan dalam diri orang-orang yang anti perang dan yang cenderung mengalah demi perdamaian, yang tidak memahami kejahatan yang menimpa kita atau tidak memiliki kemampuan moral untuk melawannya. Saya pernah mendengar bahwa “deru perang dan kabar-kabar tentang perang” (Mat. 24:6) lebih sering dirujuk sebagai pembuktian teks Alkitab bahwa kerusuhan dan kekacauan adalah keadaan yang normal. Hal ini lebih sering saya jumpai daripada tentang keyakinan pengharapan Kristen akan damai sejahtera Allah.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Ketika “sudah tiba waktunya, Yesus benar-benar akan datang kembali, mengakhiri semua perang,” kata penginjil Jerry Falwell dalam esainya yang provokatif di tahun 2004 “God is pro-war” yang mempromosikan Perang Irak. Untuk saat ini, ujarnya, kita “terus hidup dalam masa yang penuh kekerasan.” Falwell berpendapat, Alkitab memberi tahu kita bahwa perang akan menjadi realitas yang berkelanjutan sampai kedatangan Kristus yang kedua kali, dan bahwa saling menanggung beban berarti memilih perang, bukan perdamaian.

Tampaknya kaum Injili memakai ungkapan terkenal dari Chamberlain yaitu “kedamaian di zaman kita” lebih sering sebagai ejekan, bukan sebagai harapan yang tulus. Kita berbicara tentang kedamaian di Natal karena hal itu ada di Alkitab, tetapi kita tidak benar-benar berharap untuk melihatnya dalam waktu dekat, dan kita menjadi sedikit curiga pada diri kita sendiri jika mengharapkan demikian.

Salah satu alasan mengapa ungkapan Chamberlain melekat begitu kuat dalam pemikiran modern adalah karena ungkapan tersebut menggemakan istilah yang umum dari Buku Doa Umum Gereja Inggris tahun 1662. Kumpulan Doa Pagi, yang dipanjatkan setiap hari sepanjang tahun, menghubungkan perdamaian sebagai hal yang tidak terpisahkan dengan rencana keselamatan Allah seperti yang tertulis dalam Injil Lukas.

“Ya Tuhan, selamatkanlah umat-Mu,” kata pemimpin doa, “Berilah kedamaian di zaman kami.” Kemudian jemaat menjawab: “Karena tidak ada yang lain yang berperang untuk kami, selain Engkau, ya Allah.”

Saya memikirkan doa itu pada musim gugur dan masa Adven ini, setelah selama setahun berita-berita utama didominasi oleh perang antara dua negara di mana kelompok agama terbesarnya adalah penganut agama Kristen. (Mayoritas orang Ukraina dan Rusia—termasuk presiden Rusia Vladimir Putin—mengidentifikasi diri sebagai penganut Katolik Ortodoks)

Sangatlah mudah untuk bersikap sinis tentang “kedamaian di zaman kita” di saat seperti ini, atau meremehkan kata-kata Zakharia dan para malaikat sebagai hal yang tidak ada artinya selain sekadar pemberitahuan awal dari pengharapan yang masih jauh.

Doa tersebut di atas bukan berarti mengambil jalan yang mudah. Doa itu mengasumsikan sebuah dunia seperti yang kita pikirkan, di mana perdamaian sangat dibutuhkan dan kita sering tidak dapat mencapai kedamaian yang kita cari dengan kekuatan kita sendiri. Namun, dengan semua kenyataan itu, doa tersebut tidak menyerah untuk mengusahakan perdamaian di hari esok dan menerima kenyataan bahwa perang dan perselisihan memang sesuatu yang harus kita terima hari ini. Kita juga seharusnya bersikap demikian.

Article continues below

Tuhan telah melawat umat-Nya dan menebus mereka. Ia ingin “mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera” dan Dia lebih dari mampu untuk memberikan kedamaian di zaman kita.

Bonnie Kristian adalah seorang kolumnis di Christianity Today dan wakil editor di The Week. Dia adalah penulis A Flexible Faith: Rethinking What It Means to Follow Jesus Today (2018) and Untrustworthy: The Knowledge Crisis Breaking Our Brains, Polluting Our Politics, and Corrupting Christian Community (2022).

Diterjemahkan oleh George H.S.

[ This article is also available in English Português 简体中文, and 繁體中文. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]