Reaksi terhadap kebangunan rohani yang dimulai di Asbury hampir sama menariknya dengan peristiwa itu sendiri. Pada umumnya, respons yang muncul adalah kekaguman dan harapan-karena banyak pendeta dan orang Kristen awam, termasuk saya sendiri, berbondong-bondong datang ke Wilmore untuk merasakan apa yang sedang terjadi.

Namun, ada juga banyak reaksi kritis dari berbagai penjuru budaya Kristen yang mencakup spektrum ideologi.

“Kebangunan rohani lebih dari sekadar bernyanyi dan menangis,” saya telah melihat beberapa orang berkata demikian. “Saya akan percaya ini kebangunan rohani ketika mereka mencela teologi mereka yang beracun dan kasar,” kata yang lain. Terus terang, Anda dapat menyebutkan hampir semua topik dan menemukan seseorang bercuit di Twitter atau membuat blog tentang bagaimana kebangunan rohani di Asbury sudah cukup mengatasinya atau tidak.

Ada yang bilang pertemuan itu terlalu Injili, kurang Injili, terlalu sadar sosial, kurang sadar sosial, terlalu meneguhkan LGBT, kurang meneguhkan LGBT, dan sebagainya.

Ada juga orang yang menilai peristiwa ini sepenuhnya melalui lensa polarisasi politik—menyamakan para mahasiswa Asbury dengan keluhan mereka terhadap kaum Injili kulit putih pada umumnya dan menuduh mereka bersalah karena punya kaitan dengan hal tersebut. Dan meskipun beberapa tokoh karismatik yang selaras dengan Trump telah mendukung acara tersebut, namun para pemimpin mahasiswa, yang beberapa di antaranya bahkan tidak berkulit putih, telah menyatakan tidak memiliki keterkaitan dengan mereka.

Reaksi-reaksi semacam itu telah mengungkapkan garis-garis kesalahan dalam gerakan Injili masa kini yang, secara superfisial, mewakili kegelisahan dan perang budaya saat ini. Meski demikian, pada akarnya, banyak dari kritikan ini merujuk pada kegelisahan teologis yang lebih fundamental. Dengan menanyakan apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dirayakan sebagai kebangunan rohani, kita dengan cepat mendapati diri kita bertanya apa yang merupakan Injil dan yang bukan.

Seperti yang dikatakan oleh John Frame dan Vern Poythress (dan dikembangkan lebih lanjut oleh Tim Keller), “Injil” dapat merujuk kepada salah satu dari tiga paradigma yang saling berkaitan: Injil sebagai salib, yang berfokus pada karya penebusan Allah melalui Yesus; Injil sebagai kerajaan, yang berfokus pada penciptaan segala sesuatu yang baru; atau Injil sebagai kasih karunia, yang berfokus pada pengadopsian orang-orang berdosa oleh Allah Bapa.

Menekankan salah satu aspek ini daripada yang lainnya—seperti yang cenderung dilakukan oleh aliran-aliran yang berbeda dalam gerakan Injili dan gereja secara lebih luas—memiliki efek yang kuat pada bentuk pelayanan dan jenis bahasa yang digunakan untuk menjelaskan Injil.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Misalnya, menonjolkan Injil sebagai salib dapat menghasilkan kesadaran yang lebih besar akan dosa dan kekudusan (menurut John Stott). Menyoroti Injil sebagai kerajaan dapat menuntun pada rasa tanggung jawab yang lebih kuat seputar transformasi sosial dan budaya (menurut N. T. Wright). Menggarisbawahi Injil sebagai kasih karunia dapat menciptakan komunitas yang memiliki penerimaan yang radikal (menurut Brennan Manning).

Terlalu menekankan salah satu dari perspektif Injil ini daripada yang lainnya juga memiliki kelemahan. Terlalu bersandar pada Injil sebagai salib dapat membuat Injil menjadi transaksional: “Saya mempercayai hal-hal yang benar, dan Tuhan mengampuni saya.” Dengan pemikiran ini, Anda bisa melupakan Injil sebagai pemberian, dan doktrin ortodoksi menjadi penentu siapa yang masuk dan siapa yang keluar.

Ketergantungan yang berlebihan pada Injil sebagai kerajaan dapat berubah menjadi semacam legalismenya sendiri, di mana siapa pun yang tidak mengabdi pada tujuan sosial tertentu berarti menyangkali iman. Dan jika Injil sebagai kasih karunia dibingkai dengan cara yang menutupi dua pendekatan lainnya, kita dapat kehilangan pandangan akan ortodoksi atau menemukan diri kita mendukung semangat antinomian yang berpikir, “mari kita ‘terus berbuat dosa sehingga kasih karunia dapat bertambah’” (Rm. 6:1).

Lensa-lensa ini dapat membantu dalam memikirkan berbagai reaksi terhadap kebangunan rohani di Asbury.

Mereka yang memiliki mentalitas Injil sebagai salib mungkin merasa cemas tentang apakah dosa dan kekudusan cukup dikonfrontasi atau apakah ortodoksi doktrinal cukup diawasi. Mereka yang memiliki pola pikir Injil sebagai kerajaan mungkin khawatir tentang bagaimana kebangunan rohani di Asbury mencerminkan atau berdampak pada isu-isu sosial lain yang relevan, yang mengganggu komunitas Injili saat ini seperti rasisme, otoritarianisme politik, krisis kepemimpinan, dan pelecehan di dalam gereja.

Menurut saya, orang-orang yang memercayai Injil sebagai kasih karunia cukup puas dengan peristiwa akhir-akhir ini, dan mungkin hal ini menambah satu alasan lagi bagi dua kelompok lainnya untuk bersikap kritis.

Kini, ada versi iman yang baik dan iman yang buruk dari semua kritik ini. Selalu ada baiknya untuk menanyakan apakah suatu kebangunan rohani berpusat pada Yesus dan menghadirkan Dia sebagai satu-satunya pengharapan dalam hidup dan mati kita. Dan dalam waktu yang saya habiskan di pertemuan itu, saya menemukan hal ini sangat jelas.

Article continues below

Mungkin kritik yang paling menggelitik bagi saya berasal dari kaum Injili yang kecewa—sebuah komunitas yang sangat saya sayangi, karena dalam banyak hal, saya termasuk di antara mereka.

Saya seorang anak era 80-an dan 90-an. Saya pergi ke acara doa See You at the Pole, mengisi kartu komitmen kesucian True Love Waits, dan berpartisipasi dalam banyak pertemuan ibadah dengan intensitas yang lebih tinggi daripada yang bisa saya hitung. Saya bahkan pernah mengalami beberapa pengalaman dengan peristiwa karismatik gelombang ketiga, menyaksikan segala sesuatu mulai dari janji-janji kesembuhan hingga gonggongan kudus.

Baik dan buruknya, saya telah mengalami segala pengalaman "puncak gunung" yang menggugah emosi yang ditawarkan oleh dunia Injili.

Peristiwa-peristiwa yang penuh sensasi seperti ini memang memiliki reputasi yang buruk akhir-akhir ini, terutama bagi mereka yang masih terguncang oleh skandal pelecehan dan perebutan kekuasaan politik. Dengan demikian, sejumlah kecurigaan tentang peristiwa semacam itu dapat dibenarkan.

Akan tetapi di zaman kita, skeptisisme juga tidak dapat dihindari, karena kita hidup dalam apa yang disebut oleh filsuf Charles Taylor sebagai “tekanan silang”—persimpangan dari banyak pertimbangan kepercayaan dan ketidakpercayaan. Sementara pergumulan antara iman dan keraguan bukanlah hal baru, zaman di mana kita hidup telah memperkuatnya dengan menjadikan keraguan terhadap hal-hal yang supranatural sebagai pengaturan bawaan, artinya imajinasi dan naluri kita cenderung meragukan berbagai hal dengan cara modern yang unik.

Bagi orang Kristen yang imannya terdisrupsi oleh penderitaan atau duka, narasi “kecewa” itu memiliki intensitas yang tidak hanya mempertanyakan pengalaman kita sendiri, melainkan juga mempertanyakan kemungkinan adanya pengalaman spiritual. Ada garis tipis antara ketajaman yang benar dan sinisme yang tidak semestinya—dan bagi kita yang berpegang teguh pada iman di saat mengalami duka dan kehilangan, perbedaan itu sangatlah penting.

Tekanan silang juga dapat membuat kita memperkuat pandangan kita sendiri dan menghindarkan kita dari tantangan-tantangan yang sehat terhadap titik-titik buta teologis kita. Dengan mendefinisikan iman sebagai doktrin yang benar, praktik yang benar, atau politik yang benar, kita mereduksi iman itu menjadi sesuatu yang dapat diatur. Kita juga membangun batas-batas yang dapat dengan jelas menentukan siapa yang “masuk” dan siapa yang “keluar.”

Article continues below

Akan tetapi kasih karunia bukanlah hal yang jinak, hanya konsisten dalam kecenderungannya untuk menentang nalar dan menertawakan harapan kita. Ada kemewahan di dalamnya, baik dalam kecenderungan Tuhan untuk menyelamatkan “orang yang paling berdosa” atau dalam cara Yesus yang tidak pandang bulu dalam memberikan mukjizat dan belas kasihan dalam pelayanan-Nya.

Menyadari fakta ini tidak berarti kita harus menepis keprihatinan tentang doktrin-doktrin di dalam gereja maupun aksi sosial di luar gereja. Sejarah kebangunan rohani seharusnya mengingatkan kita bahwa kedua hal tersebut penting dalam “kesuksesan” jangka panjang dari setiap gerakan.

Namun itu berarti kita harus memiliki kerendahan hati ketika kasih karunia muncul dengan cara yang tidak kita duga, serta kesabaran terhadap karya Tuhan yang mungkin mengikutinya.

Perlu juga ditanyakan apakah—seperti banyak hal lain dalam hidup—"puncak gunung" (pengalaman yang menggugah emosi) pada umumnya harus dipandang dengan kecurigaan. Atau, dengan kata lain, apa peran dari peristiwa-peristiwa besar, seperti berkumpulnya para mahasiswa di Kapel Hughes, dalam kehidupan Kristen?

Beberapa "puncak gunung" ada yang direkayasa, dan pada waktunya runtuh dan mengecewakan. Namun tidak semuanya. Faktanya adalah bahwa Tuhan tampaknya menyukai pengalaman puncak ini. Ia menunjukkan kemuliaan-Nya di langit penuh bintang kepada Abraham dan dalam api serta asap di puncak gunung Sinai. Yakub bergumul dengan hadirat Allah dan ia menjadi pribadi yang tidak pernah sama lagi. Petrus, Yakobus, dan Yohanes melihat Yesus dalam segala kemuliaan-Nya pada peristiwa Transfigurasi. Paulus diangkat ke “tingkat yang ketiga dari surga” (apa pun artinya itu).

Hikmat juga memperhatikan sejarah gereja, di mana tokoh-tokoh seperti Teresa dari Avila memiliki pengalaman keintiman yang mendalam dengan Tuhan, atau di mana John dan Charles Wesley mengalami kebangkitan religius di usia paruh baya saat sudah melayani dan bekerja dalam pelayanan.

Ada kalanya Tuhan menunjukkan diri-Nya di hidup kita dengan cara yang unik, beraneka, penuh kuasa, dan sederhana. Semua itu tidak dapat diprediksi dan sering kali cepat berlalu, tetapi tampaknya semua itu menjadi bagian dari cara Dia bekerja dalam kehidupan orang percaya. Kita harus menyambut semua itu untuk diri kita sendiri dan orang lain, dan kita harus menahan diri agar tidak menanggapinya dengan sikap yang pesimis.

Article continues below

Mungkin hal terpenting yang harus kita berikan kepada mereka yang telah berkumpul di dalam Kapel Hughes adalah perhatian kita.

Ketika saya berada di sana, saya melihat bahwa para pemimpin telah membuat keputusan yang disengaja untuk hanya memperkuat suara para mahasiswa dan pemimpin di kampus. Mereka menolak para selebritas Kristen yang bermaksud baik maupun para penjaja barang yang murah hati. Tidak ada lampu sorot, asap, ataupun laser. Yang ada hanyalah banyak doa, Firman Tuhan, dan kesaksian. Tidak seperti keluhan beberapa orang di media sosial, banyak yang berbicara tentang kekudusan Allah, keberdosaan kita, dan karya keselamatan dari Kristus di kayu salib.

Tidak ada pembicaraan tentang perang budaya, tidak ada pemuasan terhadap permusuhan identitas. Sebaliknya, para mahasiswa berseru kepada Tuhan untuk kelegaan dari depresi, kecemasan, pikiran bunuh diri, dan kecanduan. Mereka berdoa untuk teman dan anggota keluarga mereka yang terhilang. Mereka mengakui dosa mereka sendiri dan memohon akan kekudusan. Kata “kerendahan hati” muncul berulang-ulang kali.

Dan inilah yang membuat hati saya hancur.

Begitu banyak kehidupan di gereja modern dirancang untuk bersaing dengan kebisingan dan kekuatan dunia di sekitarnya: selebritas, produksi, sensasi, konsumsi barang-barang Kristen yang mencolok. Di Asbury, saya menyaksikan komunitas anak muda yang menemukan apa yang mereka cari di tempat yang sama sekali berbeda. Mereka mendengar cerita tentang kebangunan rohani di Asbury beberapa dekade sebelumnya, berlutut, dan memohon kepada Tuhan, “Lakukanlah lagi. Lakukan dengan generasi kami. Lakukanlah di sini.”

Itu mengingatkan saya pada pengalaman "puncak gunung" terbaik saya, yang tidak terjadi di konser besar atau retret yang terencana dengan baik. Sebaliknya, itu terjadi di tempat-tempat biasa atau sunyi: kebaktian Rabu Abu, ruang tamu, atau ruang bawah tanah biara. Seperti orang-orang yang saya temui di Asbury, saya tidak memiliki kata-kata untuk menggambarkan pengalaman-pengalaman itu selain mengatakan bahwa semua itu mengubah saya dan membuat saya merasakan kasih karunia, kehadiran, dan kebaikan Tuhan yang lebih mendalam.

Pihak Asbury telah memilih untuk mengembalikan kampus kepada ritme regulernya. Mereka telah mendorong gereja dan pelayanan lain untuk membawa semangat kebangunan rohani itu ke tempat mereka masing-masing, menghidupkan kembali komunitas mereka sendiri dengan komitmen baru untuk berdoa dan beribadah. Para mahasiswa akan kembali ke kelas, layar raksasa di halaman akan diturunkan, dan bus serta mobil-mobil rumah akan meninggalkan tempat itu.

Article continues below

Harapan saya adalah bahwa hal ini akan tetap menjadi tonggak sejarah bagi mereka yang berkumpul di sana dan berjumpa Yesus melalui nyanyian, doa, dan air mata. Saya berharap kita akan terus melihat buah kebangunan rohani—komitmen yang diperbarui untuk memberitakan Injil, untuk mengasihi sesama kita, untuk mengusahakan keadilan bagi yang miskin dan tertindas.

Mungkin apa yang dicemooh oleh sebagian orang sebagai kebodohan anak muda hanyalah kesungguhan mereka. Mungkin suara hati yang mengolok-olok kenaifan mereka adalah suara iblis. Mungkin kita tidak tahu kisah orang-orang muda di ruangan itu dan apa yang telah mereka derita.

Dan mungkin kita tidak tahu seberapa banyak pengalaman "puncak gunung" kita yang telah menopang iman kita selama bertahun-tahun—bahkan di saat kita kehilangan dan berduka.

Betapa pun mengecewakannya dekade terakhir ini, sewaspada apa pun kita terhadap krisis kepemimpinan dan pelecehan yang terjadi di gereja, Asbury seharusnya menjadi pengingat bagi kita bahwa kita tidak dapat memprediksi apa yang mungkin dilakukan Allah pada waktu tertentu—dan bahwa kemungkinan terjadinya kebangunan rohani tidak pernah tertutup bagi gereja. Saya berharap dan berdoa agar kita semua memiliki percikan harapan untuk mengingat perjumpaan kita di masa lalu dengan rahmat Tuhan dan berdoa, “Tuhan, lakukanlah lagi. Lakukan di sini. Lakukanlah dengan saya.”

Mike Cosper adalah direktur CT Media. Dia adalah pembawa acara The Rise and Fall of Mars Hill dan siniar The Bulletin.

Diterjemahkan oleh George Hadi Santoso.

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]