Jump directly to the Content

News&Reporting

Orang Kristen Generasi Z Menginginkan Pemimpin Bersikap Apa Adanya

Itu berarti melepaskan topeng dan mengakui pergumulan mereka.
|
EnglishFrançais
Orang Kristen Generasi Z Menginginkan Pemimpin Bersikap Apa Adanya
Image: Ilustrasi oleh Christianity Today / Sumber Gambar: Lightstock / Getty

Seiring bertumbuhnya para remaja Generasi Z, banyak dari mereka yang semakin menjauh dari iman Kristen dan memberi tantangan kepada para pemimpin gereja untuk beradaptasi dengan ekspektasi baru dari generasi termuda dalam jemaat mereka.

Bulan lalu, Barna Research melaporkan bahwa hampir setengah dari orang dewasa muda berusia 18 hingga 22 tahun memiliki kemungkinan besar untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Kristen dan mengikut Yesus daripada remaja berusia 13 hingga 17 tahun. Sebagian besar orang dewasa muda saat ini—52 persen—tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Kristen.

Kaum muda Generasi Z begitu beragam, berpendidikan, dan sangat paham media sosial. Dalam hal iman, mereka terbuka terhadap Yesus dan pengajaran-Nya, tetapi skeptis terhadap institusi dan pemimpin yang memakai topeng.

Kendall Johnson, usia 20 tahun, menjadi orang percaya saat di perguruan tinggi dan memantapkan imannya melalui pelayanan di kampus, tetapi yang menolongnya bertumbuh secara rohani justru adalah para wanita yang “otentik dan penuh semangat” dari gereja lokalnya di Raleigh, Carolina Utara. Meski lebih tua dari dirinya, tetapi mereka berusaha untuk berbicara dan berbagi pergumulan hidup mereka.

Keterbukaan mereka, kata Johnson, “memungkinkan saya untuk melihat seberapa besar iman dan kepercayaan yang mereka miliki di dalam Yesus. Hal ini menunjukkan kepada saya bahwa kekristenan bersifat relasional satu sama lain [dan] juga dengan Tuhan.”

Orang-orang muda Kristen seperti Johnson mengharapkan transparansi, kejujuran, dan keotentikan yang sama dari para pemimpin mereka.

“Bagi beberapa generasi, semakin mistis pemimpin rohani mereka, semakin besar mereka memercayainya,” kata Darrell Hall, penulis Speaking Across Generations: Messages That Satisfy Boomers, Xers, Millennials, Gen Z, and Beyond. “Namun Generasi Z ingin tidak ada kesenjangan antara Darrell dan Dr. Hall. Tidak ada kesenjangan dalam pribadi. Tidak ada kesenjangan antara siapa saya dan bagaimana saya menampilkan diri saya.

Untuk memupuk hubungan yang tulus, Hall mengatakan bahwa para pemimpin haruslah aksesibel bagi para siswa dari Generasi Z, mudah ditemui secara langsung, dan mengikuti media sosial serta aplikasi seperti GroupMe.

Para siswa dari Generasi Z juga menghargai percakapan dua arah di mana mereka diundang untuk berpikir keras bersama-sama dengan para pemimpin dan mengambil kesimpulan bersama. Hall telah melihat pendekatan ini berhasil di rumah dengan tiga anaknya sendiri yang juga merupakan Generasi Z. Jika ia ingin agar pekerjaan rumah tangga diselesaikan lebih cepat, maka alih-alih memberi tahu mereka apa yang harus dilakukan, ia memilih untuk menjelaskan mengapa ia ingin mereka melakukan tugas mereka sekarang dan membicarakannya sebagai sebuah saran, sehingga menciptakan dialog dengan anak-anaknya.

Dalam konteks rohani, orang-orang Kristen Generasi Z senang mendengarkan para pendeta menyampaikan kesenjangan pemahaman mereka sendiri dengan Alkitab dan mendiskusikan saat-saat ketika mereka bergumul dengan iman atau topik tertentu.

“[Untuk] menerima [saya], para penatua dan generasi Baby Boomer tidak perlu tahu saya bergumul,” kata Hall, mantan pemimpin pelayanan dewasa muda dan sekarang pendeta kampus di The Way Community Church di Conyers, Georgia.

“Generasi Z tidak ingin hanya mendengar saran ‘Inilah yang Alkitab katakan , dan inilah yang harus saya katakan tentang hal tersebut.’ Generasi Z ingin mendengar apa yang saya rasakan terkait firman itu, bagaimana pergumulan saya untuk mempercayainya, di bagian [mana] terdapat kesenjangan dalam pemahaman saya, langkah-langkah apa yang saya ambil untuk bertumbuh dalam iman, dan apa yang saya lakukan dalam kehidupan sehari-hari, pertama-tama bukan sebagai pendeta Anda, melainkan sebagai seorang pribadi terlebih dahulu.”

Orang-orang Kristen Generasi Z memberi tahu CT bagaimana kerinduan mereka akan relasi yang otentik berasal dari pergumulan mereka terhadap skeptisisme dan kemunafikan dalam kepemimpinan. Riset pemasaran telah berulang kali menunjukkan bahwa kelompok usia ini paling skeptis terhadap merek, pemerintah, dan institusi-institusi besar lainnya; mereka menyadari prevalensi dari misinformasi serta sensasi promosional yang berlebihan, dan sebagian besar memercayai diri mereka sendiri untuk memahami sesuatu.

Sikap itu juga berlaku di gereja, dengan kaum muda Kristen yang waspada terhadap pelecehan rohani serta prevalensi seksisme dan rasisme. Jadi mereka cenderung lebih mementingkan jemaat dan pengajaran yang mereka temukan di gereja daripada nama atau tradisi gereja.

Johnson di North Carolina lebih suka bergaul dengan para wanita di gerejanya daripada diskusi terstruktur di pertemuan pelayanan kampus, yang terasa seperti mengisi checklist.

Seorang wanita dari gerejanya, Hosea Church, mengundang dia untuk bersama-sama membahas Alkitab. Mereka mendiskusikan ayat-ayat Alkitab dengan putri dari wanita tersebut. Jika ada pertanyaan yang tidak dapat mereka jawab, wanita itu akan meminta bantuan suaminya. Mereka belajar bersama dan memperlakukannya seperti seorang teman, bukan “hanya” seorang mahasiswa.

“Mereka hanyalah orang-orang baik yang ingin melihat saya bertumbuh dan mencurahkan waktu mereka untuk saya,” katanya. “Rasanya seperti orang normal yang hanya mencintai saya, bukan dengan niat buruk atau proyek sampingan apa pun.”

Orang-orang Kristen Generasi Z terkadang bisa merasa kesal ketika diremehkan atau dihakimi karena norma-norma generasi mereka. Misalnya, seorang mahasiswi tingkat tiga di Universitas Liberty, Olivia Denny, 19 tahun, dikritik “tidak sopan” oleh anggota gereja yang lebih tua karena mengenakan celana pendek atau tank top ke gereja.

“Hanya karena seseorang berbuat dosa dengan cara yang tidak Anda setujui, bukan berarti Anda harus memberi tahunya untuk tidak datang ke gereja atau mengatakan hal-hal yang buruk,” kata Denny. “Sebenarnya, [cobalah] untuk membantu mereka.”

Ia mengatakan bahwa generasi yang lebih dewasa perlu menyeimbangkan antara kasih dan kebenaran dalam cara mereka merespons pergumulan dosa Generasi Z. Mereka harus berbicara dengan lebih banyak orang seusianya untuk lebih memahami budaya yang dianut oleh Generasi Z, termasuk prevalensi identitas LGBT.

Orang muda Kristen bisa menjadi frustrasi dengan jawaban yang tidak jelas atau yang berisi jargon-jargon Kristen; mereka membutuhkan pemimpin yang memahami pergumulan mereka dan menjelaskan jawabannya secara transparan, kata Andrew Root, profesor dan Carrie Olson Baalson Chair of Youth and Family Ministry di Seminari Luther.

Respons-respons yang mengabaikan pertanyaan atau tantangan nyata dalam hidup Generasi Z akan terlihat munafik dan dapat membuat mereka menjadi lebih sinis. Namun, membangun hubungan yang tulus dengan para mentor dan pemimpin gereja dapat menjadi penangkal yang ampuh.

“Mereka ingin terhubung dengan cara yang lebih luas dan merasakan ketertarikan terhadap tujuan yang berasal dari sesuatu di luar mereka, tetapi mereka tidak akan memercayainya begitu saja,” kata Root. “[Para pemimpin harusnya] tidak memanfaatkan relasi mereka dengan mahasiswa hanya demi mencapai tujuan tertentu. … Milikilah relasi demi sebuah relasi yang tulus.”

Diterjemahkan oleh David A. Aden.

[ This article is also available in English and Français. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]

March
Support Our Work

Subscribe to CT for less than $4.25/month

Read These Next

close