Pada Agustus 2001, Hakim Agung Alabama, Roy Moore mendirikan sebuah monumen Sepuluh Perintah Allah yang terbuat dari granit seberat 2,5 ton di rotunda gedung Mahkamah Agung negara bagian itu. Hal itu menimbulkan badai kontroversi hukum yang berakhir dengan upaya paksa untuk merobohkan monumen tersebut dan menurunkan Moore dari jabatannya. Dalam sebuah wawancara dengan Christianity Today, Moore bersikeras, “Pengakuan akan Tuhan adalah dasar bagi masyarakat kita, hukum kita, dan moralitas kita.” Akan tetapi bagi orang lain, mencampurkan urusan agama dan keadilan publik adalah sesuatu yang keterlaluan.

Serangkaian pertanyaan yang ditimbulkan dari kontroversi ini—pertanyaan yang sangat familier bagi orang Amerika yang bergumul dengan pemisahan gereja dan negara—adalah pertanyaan yang sama yang dihadapi orang Kristen dalam banyak situasi sejarah yang berbeda. Apa peran yang tepat dari pemerintah dalam kaitannya dengan gereja? Haruskah orang Kristen berusaha mewujudkan “masyarakat kristiani”? Sejauh mana kita dapat menaruh harapan pada politisi dan proses politik untuk mencapai hal ini?

Allah telah mendirikan dua jenis pemerintahan di antara manusia…

Serangkaian pertanyaan ini muncul ke permukaan pada abad ke-16 ketika Eropa terjebak dalam pergulatan antara Gereja Katolik Roma dan gerakan Protestan yang baru muncul. Kita cenderung menganggap bahwa para reformis Protestan terutama tertarik pada isu-isu teologis semata: pembenaran oleh iman, otoritas tertinggi Kitab Suci, dan imamat semua orang percaya. Namun dalam budaya di mana kehidupan keagamaan dan kehidupan sipil sangat terkait erat—di mana Paus menggelorakan perang dan para pemimpin sekuler menunjuk para pendeta, dan di mana kehidupan rakyat jelata dibangun di seputar kepercayaan dan ritual gereja—maka tidaklah mungkin untuk melepaskan diri dari pergolakan politik untuk memutus hubungan dari kelompok Katolik arus utama.

Para reformis memang mengembangkan pandangan mereka dalam kerangka politik yang sangat berbeda dari kita, tetapi prinsip-prinsip yang mereka tetapkan terus memengaruhi keterlibatan politik Kristen di masa kini.

Gereja dan negara

Pada tahun 1517, Martin Luther mencetuskan gerakan Reformasi Protestan dengan 95 dalilnya yang menentang penjualan surat pengampunan dosa, yang diberikan gereja untuk mengurangi hukuman orang Kristen dalam api penyucian. Sementara itu, Ulrich Zwingli juga sedang memperjuangkan reformasi di Zurich, Swiss. Perbedaan yang signifikan antara kedua reformis ini akhirnya membagi Protestantisme menjadi dua cabang, Lutheran dan Reformed. Martin Bucer awalnya pernah menjadi seorang Lutheran, lalu berpindah menjadi penganut Reformed, dan menghabiskan hidupnya mencoba untuk menyatukan kedua belah pihak. Bucer secara signifikan memengaruhi John Calvin, yang menghabiskan sebagian besar pelayanannya di Jenewa (sekarang di Swiss) dan menjadi teolog Reformed yang terbesar. Keempat tokoh utama reformasi ini sering disebut “Reformis Magisterial” karena mereka memilih untuk bekerjasama dengan para magistrat (pemimpin kota) untuk melakukan reformasi.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Pada abad ke-16, gereja dan negara saling terkait erat, seperti halnya hubungan antar departemen dalam pemerintahan modern. Para reformis magisterial itu tidak mempersoalkan hal ini; mereka percaya bahwa sudah sepatutnya pemerintah mendukung agama yang benar dan menekan kesalahan. Kekristenan bukan hanya masalah pribadi tetapi juga masalah publik. Jika gerakan Reformasi ingin berhasil, maka gerakan ini harus mereformasi seluruh tatanan masyarakat, bukan hanya kepercayaan orang Kristen secara individu. Dalam rangka menghadapi otoritas tertinggi gereja Roma dan membawa perubahan yang luas, para reformis membutuhkan dukungan dari para penguasa sekuler.

Sejumlah reformis lainnya adalah para tokoh revolusioner yang percaya bahwa perseteruan final yang dijelaskan dalam kitab Wahyu akan segera terjadi dan bahwa orang-orang saleh harus mendirikan kerajaan Allah dengan paksa. Pada sisi ekstrem lainnya, kaum Anabaptis (yang menolak baptisan bayi) percaya bahwa orang Kristen seharusnya tidak boleh terlibat dalam pemerintahan sekuler sama sekali, karena penggunaan pedang untuk menjaga ketertiban dan melaksanakan hukuman bertentangan dengan teladan yang diberikan oleh Kristus. Gereja sejati selalu berada dalam konflik dengan dunia.

Para reformis magisterial menolak kedua ekstrem ini. Akan tetapi mereka juga tidak selalu sepakat tentang bagaimana menggunakan politik untuk mencapai tujuan rohani mereka.

Luther: Dua kerajaan

Luther mengajarkan bahwa ada dua “kerajaan” atau “ranah.” Ranah spiritual terkait masalah kehidupan kekal dan keselamatan, yang menjadi perhatian gereja. Ranah temporal terkait isu-isu dunia ini, seperti politik dan ekonomi, yang menjadi perhatian pemerintah. Ranah spiritual didasarkan pada wahyu Allah, ranah temporal didasarkan pada hukum alam. “Allah telah mendirikan dua macam pemerintahan di antara manusia,” tulis Luther, “yang satu bersifat spiritual, yang tidak memiliki pedang tetapi memiliki Firman yang memampukan manusia ... dapat memperoleh kehidupan kekal. Yang lainnya adalah pemerintahan duniawi yang menggunakan pedang, yang bertujuan untuk menjaga perdamaian di antara manusia, dan ini dikaruniai Allah dengan berkat temporal.” Selama dosa masih ada, baik Injil maupun pemerintah, keduanya sangat diperlukan.

Article continues below

Bagi Luther, adalah tepat bagi orang Kristen untuk mengampu jabatan publik: “Jika Anda melihat bahwa ada kekurangan algojo, polisi, hakim, penguasa atau pangeran, sementara Anda memenuhi syarat, ajukanlah diri Anda untuk pekerjaan tersebut.” Akan tetapi negara memiliki peran yang sangat tegas dan terbatas—mencegah dosa (Rm. 13:4) dan menjaga agar anarki tidak terjadi, dengan menjaga hukum dan ketertiban (1Tim. 2:1-2).

Orang Kristen harus menjadi warga negara yang setia, tetapi mereka tidak boleh jatuh ke dalam perangkap imajinasi bahwa negara dapat benar-benar menjadi kristiani di dunia yang telah jatuh dalam dosa ini. Luther memandang negara sebagai realitas sekuler—bukan dalam pengertian bahwa negara netral secara agama, bukan pula dalam arti bahwa negara tidak boleh menghukum mereka yang merusak agama yang benar, melainkan dalam pengertian bahwa kita tidak boleh mengandalkan negara untuk mewujudkan kerajaan Allah.

Zwingli: Alkitab dan pedang

Luther menentang penggunaan kekuatan militer untuk membela, apalagi menyebarkan, Reformasi. Dalam perjalanannya ke Roma di tahun 1510, ia sangat terkejut melihat Paus Julius II mengenakan baju besi memimpin pasukannya ke medan perang. Bukan hal ini yang ia harapkan dari seorang pemimpin Kristen. Kemudian ia juga melihat sesama rekan reformisnya, Ulrich Zwingli melakukan hal yang sama.

Pada tahun 1525, reformasi gereja yang dilakukan Zwingli di Zurich sebagian besar telah selesai. Misa Katolik dihapuskan dan diganti dengan kebaktian Perjamuan Kudus yang sederhana. Cita-citanya untuk menyatukan kalangan Injili Swiss tampaknya juga hampir terwujud. Namun ketika ia membangun aliansi kanton Protestan (negara bagian Swiss), kanton Katolik Roma merasa terancam dan membentuk aliansi saingan. Hasilnya adalah perang pada tahun 1529. Setelah jeda, pertempuran pecah lagi pada tahun 1531, dan Zwingli terbunuh di medan perang.

Luther menafsirkan kematian Zwingli sebagai penghakiman dari Allah. Gambar Zwingli dengan Alkitab di satu tangan dan pedang di tangan yang lain (seperti yang digambarkan patungnya saat ini di Zurich), bagi Luther merupakan suatu kontradiksi. Para penganut Lutheran pada umumnya lebih tunduk kepada negara. Ketika para penguasa membuat tuntutan yang bertentangan dengan hati nurani mereka (seperti memaksakan agama Katolik Roma), mereka percaya pada ketidaktaatan pasif, bukan pemberontakan. Mereka bukan kaum pasifis—mereka percaya pada hak negara untuk menghukum bidat—tetapi mereka menghormati otoritas yang ada sebagaimana yang telah Tuhan tetapkan.

Article continues below

Pada sisi lain, banyak pihak dalam tradisi Reformed menerima legitimasi pemberontakan bersenjata melawan rezim tirani. Di Belanda, mereka berjuang untuk mengusir Spanyol; di Skotlandia, mereka berjuang untuk melindungi Reformasi; di Inggris, mereka berperang melawan seorang raja dan akhirnya mengeksekusinya; dan di koloni-koloni Amerika, di mana pengaruh Puritan (Reformed) sangat kuat, mereka memberontak melawan Inggris.

Bucer: Kerangka kerja terperinci untuk masyarakat Kristen

Zwingli, Bucer, dan Calvin memandang peran negara lebih positif daripada Luther. Mereka percaya bahwa tanggung jawab pemerintah lebih dari sekadar menjaga hukum dan ketertiban; pemerintah juga bertanggung jawab untuk mewujudkan pemerintahan Allah. Orang-orang Kristen dipanggil untuk membuat Injil terlihat di semua bidang kehidupan masyarakat—baik politik, ekonomi, seni, maupun media.

Bucer menghabiskan sebagian besar karirnya memimpin gerakan Reformasi di Strasbourg, tetapi menjelang akhir hidupnya ia menjadi profesor di Universitas Cambridge. Bukunya yang berjudul The Kingdom of Christ, yang ditulis pada tahun 1550 (setahun sebelum ia wafat) dan ditujukan kepada Raja Edward VI, menetapkan sebuah kerangka kerja terperinci bagi negara Inggris yang kristiani. Usulan Bucer tidak hanya mencakup kehidupan gereja tetapi juga politik dan ekonomi. Ia berpendapat bahwa hukum negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip Kristen—yaitu dua perintah utama untuk mengasihi Tuhan dan sesama.

Sebagai contoh, Bucer mengusulkan agar mengemis harus dilarang sehingga para diaken gereja dapat memberikan bantuan yang efektif, memenuhi kebutuhan mereka yang benar-benar membutuhkan—bukan bagi mereka yang terlalu malas untuk bekerja. Visinya tentang jaring pengaman yang komprehensif bagi orang miskin, termasuk langkah-langkah untuk memulihkan lapangan pekerjaan agar terpenuhi dan tujuan pendidikan universal, terdengar sangat modern. Pada saat yang sama, ia menghindari salah satu batu sandungan negara modern yang sejahtera, dengan berhati-hati agar tidak memberikan perlindungan terhadap perilaku-perilaku yang tidak bertanggung jawab.

Article continues below

Sayangnya, Edward VI meninggal pada tahun 1553 dan dengan kematiannya itu, hilang pula kesempatan untuk mengimplementasikan kerangka kerja yang terperinci dari Bucer.

Calvin: Kota teladan

Tidak seperti Bucer, John Calvin benar-benar melihat visinya tentang masyarakat Kristen itu terwujud, setidaknya sebagian, di kota Jenewa. Meski pernah terpaksa meninggalkan Prancis karena keyakinan Protestannya, Calvin menanggapi seruan untuk mereformasi gereja di Jenewa. Dalam prosesnya, ia mentransformasi kota.

Tujuan Calvin lebih dari sekadar tujuan Lutheran yang sederhana untuk memelihara hukum dan ketertiban; ia ingin membangun masyarakat yang saleh melalui upaya gabungan para rohaniwan dan pemimpin kota. Selain berkhotbah dan menyelenggarakan sakramen-sakramen, para pendeta juga mengawasi kesehatan rohani umat, menetapkan peraturan tentang pakaian, tarian, perilaku di hari Minggu, dll. Pemerintah, pada bagiannya, memelihara sekolah-sekolah yang baik, menegakkan hukum-hukum ilahi, dan menghukum orang-orang yang berbuat salah. “Dua hal ini sangat berbeda,” kata Calvin, “karena Gereja juga tidak mengasumsikan apa pun yang pantas dilakukan oleh para pemimpin kota, dan para pemimpin kota juga tidak kompeten untuk melakukan apa yang dilakukan oleh Gereja.” Namun keduanya memiliki tujuan akhir yang sama: untuk mencegah dosa, mendorong kebaikan, dan membangun kerajaan Allah.

Calvin berjuang untuk tidak memaksakan teokrasi, melainkan untuk membebaskan gereja dari kontrol pemimpin sipil sehingga dapat menjalankan pelayanannya secara penuh. Hal ini tidak selalu mudah, dan ia dipaksa berkompromi lagi dan lagi dengan para pemimpin kota yang keras kepala. Selain itu, banyak penduduk asli Jenewa yang merasa tidak tahan dengan disiplin Calvin yang keras; orang-orang ini, menurut Calvin, “harus membangun sebuah kota di mana mereka dapat hidup seperti yang mereka inginkan, karena mereka tidak ingin hidup di sini di bawah kuk Kristus.”

Akan tetapi kota ini juga menarik perhatian banyak orang, termasuk para pengungsi yang melarikan diri dari penganiayaan agama, para mahasiswa seminari, dan orang-orang lainnya yang tertarik karena kekaguman mereka terhadap Calvin. Reformis Skotlandia, John Knox, menyatakan Jenewa adalah “sekolah Kristus yang paling sempurna yang pernah ada di bumi sejak zaman para rasul.”

Article continues below
Ketegangan dan transformasi

Siapa yang benar? Bagaimana seharusnya gereja berhubungan dengan masyarakat? Pada tahun 1952, teolog Yale, H. Richard Niebuhr menggambarkan lima posisi dasar Kristen dalam karya klasiknya Christ and Culture. Para reformis magisterial mewakili posisi keempat dan kelima, “Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks” dan “Kristus Sang Transformis Kebudayaan.”

Sikap Lutheran adalah “Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks,” yang menekankan keberdosaan bahkan dari pemerintah “Kristen” sekalipun. Seperti yang dikatakan Luther, “Mengubah sebuah pemerintahan adalah satu hal; memperbaiki sebuah pemerintahan adalah hal yang lain.” Posisi ini memiliki banyak fitur positif: Ini didasarkan pada pandangan alkitabiah tentang sifat manusia dan dosa, posisi ini juga menghindari ekspektasi yang tidak realistis dari para politisi, dan menghindari perubahan Injil menjadi pesan politik yang ketinggalan zaman. Namun sisi negatifnya, salah satu tragedi pada era Nazi adalah bahwa pendekatan Lutheran telah membantu membujuk banyak (meskipun tidak semua) gereja Jerman untuk menerima kekuasaan Nazi secara pasif.

Pendirian Reformed adalah “Kristus Sang Transformis Kebudayaan,” yang berusaha, secara parsial, untuk mewujudkan kerajaan Allah di sini dan sekarang. Sisi positifnya, mereka yang memegang posisi ini telah membawa perubahan besar bagi masyarakat. Protestantisme Reformed (bukan Lutheran) telah menjadi tempat lahirnya kapitalisme dan demokrasi. Revolusi Belanda, Inggris, dan Amerika sangat memengaruhi jalannya sejarah. Perjuangan abad ke-19 melawan perbudakan dan perjuangan modern melawan aborsi merupakan upaya untuk membawa suara Kristen ke arena politik dan menunjukkan bahwa Kristus adalah Tuhan atas semua kehidupan, bukan hanya soal “religius” saja. Namun, satu akibat negatif dari posisi ini adalah penggunaan kekuatan militer dan senjata duniawi atas nama Injil. Selain itu, ledakan teologi politik saat ini telah menyebabkan banyak orang mencampuradukkan Injil dengan agenda-agenda sekuler, seperti yang dikhawatirkan Luther. Dalam kata-kata Mark Mattes dari kalangan Lutheran, “Sikap terpenting yang dapat dibawa gereja ke ranah politik adalah kebenaran bahwa ranah politik tidak pernah menjadi yang utama.”

Saat ini beberapa teolog akan menerima gagasan bahwa gereja harus berpegang teguh pada agama dan negara pada politik, di sinilah pendekatan Lutheran yaitu “Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks” dapat memimpin. Pada sisi lain, pengalaman membuktikan bahwa pendekatan Reformed yaitu “Kristus Sang Transformis Kebudayaan” dapat mengarah pada pembaptisan ideologi-ideologi sekuler atau memperlakukan politik seperti perang suci, yang merusak persepsi publik terhadap orang Kristen sebagai pembawa Kabar Baik. Meskipun “Kristus Sang Transformis Kebudayaan” tetap merupakan hal yang ideal, tetapi hal ini terus-menerus perlu ditantang oleh wawasan dari “Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks.” Baik Luther maupun kalangan Reformed memiliki pelajaran-pelajaran positif bagi kita; keduanya menunjukkan jebakan-jebakan yang harus dihindari.

Article continues below

Tony Lane adalah profesor teologi sejarah di London School of Theology dan penulis A Concise History of Christian Thought.

Hak Cipta © 2007 oleh penulis atau majalah Christianity Today/Christian History & Biography. Klik di sini untuk informasi cetak ulang tentang Sejarah & Biografi Kristen.

Diterjemahkan oleh Joseph Lebani.

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]