Komunitas Katolik di Indonesia mengetahui tahun lalu bahwa ribuan dolar yang didonasikan oleh seorang pejabat publik berasal dari hasil kasus suap telekomunikasi bernilai jutaan dolar.

Johnny Gerard Plate, yang menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika sebelum dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, memiliki riwayat menyumbang dana kepada komunitas keagamaannya di provinsi Nusa Tenggara Timur yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.

Putusan pengadilan menyebutkan, sebagian dana suap tersebut dialokasikan ke lembaga gereja, antara lain Keuskupan Agung Kupang, Universitas Katolik Widya Mandira, dan Gereja Kristen Injili Timor, sebuah kelompok Protestan di Kupang. Menyusul hukuman yang dijatuhkan kepada Plate, otoritas Katolik berjanji untuk mengembalikan sumbangan tersebut, menekankan komitmen mereka terhadap praktik keuangan yang etis.

Ini bukan pertama kalinya pejabat Kristen yang terlibat kasus korupsi menyumbangkan dana ilegal ke organisasi keagamaan. Pada 2017, mantan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Antonius Tonny Budiono dinyatakan bersalah menerima suap. Dalam persidangan, ia menyatakan kepada hakim bahwa ia menggunakan dana tersebut untuk mengasuh anak yatim piatu dan merenovasi gereja serta sekolah yang rusak. Menanggapi kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendorong lembaga-lembaga keagamaan, termasuk gereja, untuk melakukan audit keuangan guna mendorong transparansi.

Di negara yang situasi korupsinya tampak memburuk dalam beberapa tahun terakhir, CT bertanya kepada para pemimpin gereja dan pelayanan di Indonesia: “Haruskah sebuah organisasi Kristen menerima sumbangan yang diperoleh dari sumber yang tidak etis?” Jawaban disusun mulai dari sikap yang dengan tegas menjawab “Tidak” hingga sikap yang lebih bernuansa:

Jimmy Kawilarang, direktur Torchbearers Indonesia, Jawa Barat:

Gereja dan lembaga pelayanan harus menolak segala kegiatan yang tidak mencerminkan kemuliaan Tuhan, termasuk cara-cara tidak etis dalam mencari dan menerima sumbangan yang tidak sejalan dengan ajaran Alkitab. Firman Tuhan mengutuk uang yang diperoleh melalui penipuan, kecurangan, korupsi, pencurian, atau riba.

Apabila seseorang atau suatu organisasi bermaksud memberikan sumbangan dalam jumlah besar kepada gereja, adalah hal yang terhormat dan, demi transparansi serta akuntabilitas, perlu untuk meminta penjelasan tentang asal usul uang sumbangan tersebut. Gereja dapat menetapkan pedoman untuk mengidentifikasi sumber sumbangan dan meminta rincian lebih lanjut bila sumbangan melebihi jumlah tertentu.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Untuk menyeimbangkan kebutuhan keuangan dan integritas moral, gereja dan lembaga pelayanan harus mempublikasikan laporan keuangan, melibatkan majelis gereja atau dewan pengawas ketika membuat keputusan keuangan, dan membangun sistem pengawasan internal yang kuat untuk memastikan akuntabilitas dan keterbukaan terhadap pengawasan eksternal atau audit independen.

Menumbuhkan budaya transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik dalam konteks keuangan gereja atau lembaga pelayanan juga merupakan tanggung jawab utama para pemimpin Kristen. Rasul Paulus berbicara tentang kriteria memilih seseorang menjadi pemimpin atau pelayan Tuhan (1Tim. 3:1–10). Budaya transparansi dan akuntabilitas hanya dapat terjadi ketika para pemimpin gereja dan lembaga pelayanan memiliki integritas pribadi di mana perkataan serta tindakan mereka konsisten, sehingga memotivasi orang lain untuk melakukan hal yang sama.

T. Christian Sulistio, dosen Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT), Malang, Jawa Timur:

Gereja memiliki keterbatasan dalam menelusuri asal usul dana atau mengetahui segala motivasi umat Kristen dalam memberi persembahan. Untuk mencegah umat kristiani memberikan persembahan atau sumbangan dari pekerjaan yang tidak sejalan dengan kehendak Tuhan, gereja dapat mengomunikasikan bahwa persembahan yang pertama-tama adalah mempersembahkan diri terlebih dahulu kepada Tuhan (2Kor. 8:5), artinya seluruh hidup kita adalah persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah (Rm. 12:1).

Persembahan yang berasal dari uang yang diperoleh secara tidak etis bertentangan dengan sifat dan kehendak Tuhan serta merupakan kekejian bagi Tuhan. Ulangan 23:18 mengatakan, “Janganlah kaubawa upah pelacur perempuan atau bayaran pelacur laki-laki ke dalam Rumah TUHAN, Allahmu, untuk menepati nazar apa pun, sebab keduanya itu adalah hal yang menjijikkan bagi TUHAN, Allahmu” (TB2). Dalam buku tafsiran “Kitab Ulangan,” Peter C. Craigie menulis bahwa “uang yang diperoleh dengan cara berdosa tidak dapat menjadi bagian dari pemberian Tuhan, dan oleh karena itu tidak dapat digunakan untuk membayar nazar kepada-Nya.”

Pada bagian lain, Matius 23:23 mengatakan, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.” Kita melihat bahwa persembahan kepada Tuhan kita juga harus didasarkan pada kehidupan umat Kristen yang memiliki sifat-sifat tersebut.

Article continues below
Wahyu Pramudya, pendeta di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Ngagel, Surabaya, Jawa Timur:

Saya mempunyai pengalaman menarik terkait persembahan yang “bermasalah” ini. Suatu kali, ketika saya sedang menjadi pengkhotbah tamu, seseorang memberi saya cek setelah berkhotbah. Itu bukan kejadian biasa, jadi saya selidiki nama di cek tersebut lewat Google. Saya terkejut saat mengetahui nama itu masuk dalam daftar Panama Papers yang populer saat itu.

Saya menghubungi pendeta gereja setempat untuk menanyakan keterlibatannya dalam Panama Papers. Namun saya tidak mendapat tanggapan mengenai hal ini dari pendeta gereja tempat saya berkhotbah. Saya memutuskan untuk mencairkan cek tersebut dan memberikannya kepada salah satu kenalan saya (yang merupakan seorang hamba Tuhan) yang membutuhkan dana untuk biaya sekolah anaknya.

Saya jelaskan asal usul uang itu, dan dia bersedia menerimanya. Ia merasa uang tersebut belum tentu berasal dari bisnis yang tidak etis. Secara pribadi, saya merasa tidak nyaman menerimanya karena saya tidak bisa berkomunikasi dengan si pemberi cek untuk mengklarifikasi sumber dana yang diberikan untuk pelayanan saya.

Di gereja kami, anggota jemaat dan simpatisan dapat mengakses laporan keuangan, di mana laporan tersebut diperiksa oleh akuntan publik untuk memastikan bahwa pendapatan dan pengeluaran bersifat wajar dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini dimungkinkan karena gereja kami menganut sistem kepemimpinan kolektif dan tidak hanya dipegang oleh satu pendeta saja.

Kadang-kadang, misalnya ketika seseorang memberikan persembahan secara tunai, cukup sulit bagi kami untuk mengetahui identitas si donatur dan apa pekerjaannya. Bahkan untuk mengetahui informasi ini dari anggota gereja kami bergantung kepada kebijakan mereka sendiri.

Kalau terbukti di pengadilan, [saya rasa] gereja wajib mengembalikan persembahan yang diperoleh secara tidak halal atau melawan hukum. Namun, jumlah kasus yang masuk ke pengadilan sangat minim. Lalu bagaimana dengan persembahan yang jelas-jelas berasal dari bisnis yang menimbulkan masalah kesehatan, misalnya rokok? Bisnis ini legal dan merupakan salah satu pembayar pajak terbesar di Indonesia. Secara umum, gereja akan menolak pengajuan sponsor (dari donatur tipe ini) yang berbentuk iklan cetak di buletin, tetapi tetap menerima persembahan yang tidak mengharuskan si donatur mencantumkan namanya.

Article continues below

Menurut saya, yang tidak boleh dilakukan oleh pendeta atau gereja adalah mengeksploitasi rasa bersalah umat dengan menuntut pemberian persembahan sebagai “penebusan” dari perilaku hidup yang tidak berkenan kepada Tuhan, seolah-olah melalui sumbangan tersebut maka pengampunan dan penebusan Tuhan bisa “dibeli.” Perilaku ini pernah terjadi dalam sejarah gereja dan menjadi salah satu pemicu reformasi gereja. Para pendeta dan gereja harus mengajarkan bahwa persembahan adalah ungkapan rasa syukur, dengan hati yang hancur bersyukur atas kemurahan Tuhan di tengah keberdosaan diri, dan bukan sebagai pengganti dosa yang terus berlangsung tanpa henti.

Ryadi Pramana, pendiri EFOD, sebuah pelayanan yang melayani dan memperlengkapi para pendeta di daerah pedesaan, Jakarta:

Prinsip organisasi kami dalam menerima donasi adalah mengetahui latar belakang pendonor dan apakah pendonor adalah seorang Kristen yang berhati hamba atau sekadar Kristen nominal. Orang Kristen yang berhati hamba akan memberi dengan sepenuh hati tanpa ada motif tersembunyi.

Jika menyangkut kebutuhan keuangan suatu organisasi, semakin ambisius hasil yang diinginkan, semakin besar pula kebutuhan dananya, dan hal ini sering kali menyebabkan kita menjadi picik. Sebuah organisasi yang terlalu beriman [keyakinan berlebihan bahwa keinginan ambisiusnya akan terpenuhi] tidak bertanya terlebih dahulu kepada Tuhan apakah itu yang Dia inginkan atau apa yang diinginkan seseorang. Jika kita menuruti kemauan kita sendiri, akibatnya kita akan menerima sumbangan tanpa pandang bulu.

Ada beberapa hal yang kami lakukan jika kami meragukan asal muasal suatu sumbangan. Pertama, kami menyarankan para donatur untuk langsung memberikan uangnya kepada pihak yang membutuhkan agar kami tidak perlu khawatir lagi akan asal usul dana tersebut. Kedua, kami menghindari penggunaan sumbangan untuk membeli aset. Hal ini dikarenakan orang cenderung mengingat uang yang telah mereka sumbangkan, sehingga mereka merasa sangat berjasa dalam perjalanan gereja/yayasan. Hal ini bertentangan dengan prinsip memberi, di mana kita secara sadar melepaskan apa yang kita miliki kepada orang lain dan uang tersebut bukan lagi milik kita.

Banyak gereja dan yayasan Kristen yang hancur karena tidak memiliki pengelolaan keuangan yang baik. Dalam pelayanan kami, organisasi kami menggunakan perangkat lunak keuangan yang memudahkan hamba Tuhan dalam menyusun laporan keuangan yang baik dan benar sesuai standar akuntansi. Kalau sistem dan pengurusnya baik, maka hasilnya pun sangat baik.

Article continues below
Daniel Andy Hoffmann Sinaga, pendeta di Gereja Kristen Batak Protestan (HKBP) Medan Sudirman, Sumatera Utara:

Oleh karena ini adalah tahun pemilu di Indonesia, banyak gereja yang menerima dana dari calon legislatif pada pemilu tahun ini. Mungkin sulit bagi gereja untuk mengetahui apakah dana tersebut merupakan sumbangan pribadi atau dana kampanye dari partai pendukungnya. Namun, para pemimpin gereja harus menanyakan lebih lanjut tentang sumber sumbangan yang besar, berkomunikasi dengan individu tersebut dengan cara yang ramah dan secara pribadi.

Untuk memvalidasi sumber sumbangan, para pemimpin Kristen hendaknya mengomunikasikan etika persembahan mereka dalam bentuk tertulis atau komunikasi lisan selama ibadah. Mereka tidak harus menulis pedoman ini dari awal. Sebaliknya, mereka dapat menggunakan prosedur sistem perbankan yang ada, seperti meminta jemaat untuk menulis surat pernyataan tentang dari mana uang mereka berasal, termasuk dari gaji, tabungan, investasi, warisan, dan sebagainya. Pedoman ini harus berasal dari keyakinan alkitabiah, tetapi juga dipadukan dengan prinsip hukum yang mengatur sumber dana, seperti undang-undang antikorupsi dan anti pencucian uang.

Meski begitu, gereja tidak bisa serta merta melarang organisasinya untuk menerima uang sumbangan, terlepas dari apakah uang itu diperoleh secara etis atau tidak. Kisah perempuan berdosa yang mengurapi kaki Yesus dengan minyak mahal (Luk. 7:36-50) merupakan ilustrasi yang tepat. Yang sangat tidak disukai orang Farisi adalah ketika seorang perempuan pelacur menuangkan minyak mahal ke kaki Yesus dan membasuh kaki-Nya dengan air mata dan rambutnya. Tanggapan Yesus sungguh luar biasa; Dia mengampuni dosa-dosanya—bukan karena mahalnya minyak yang perempuan itu gunakan melainkan karena hatinya tergerak kepada Tuhan dan Dia menerima pelayanan serta persembahan perempuan itu.

Begitu pula dengan gereja yang menerima dana yang berasal dari cara yang tidak etis, tidak serta merta harus ditolak. Saya telah mengunjungi gereja-gereja yang terletak di tengah kawasan lokalisasi, dan pada hari Minggu, banyak pelacur yang datang untuk beribadah dan memberi persembahan. Lalu apakah kita menjadi seperti orang Farisi yang enggan dengan persembahan perempuan berdosa tersebut? Sekali lagi, Tuhan melihat hati dan kasih, jauh melebihi pemberian dan persembahan.

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]