Sejak awal masa pelayanan, saya diberitahu bahwa dalam menghadapi kritik, saya hanya perlu memiliki kulit yang lebih tebal. Implikasinya adalah jika para pendeta bisa memiliki cangkang yang lebih keras, kami bisa lebih kuat menahan tajamnya rasa sakit dari masukan yang negatif, seperti halnya kulit yang lebih tebal dapat menahan tusukan duri yang tajam. Rasa sakitnya tidak akan terlalu terasa karena ada kulit tebal yang menghalangi.

Kini, setelah 16 tahun melayani, saya sampai pada kesimpulan bahwa kulit yang lebih tebal itu tidak ada. Masalah dengan metafora kulit yang lebih tebal itu hanya memberi dua pilihan: (1) Mengeraskan diri kita untuk mencegah rasa sakit saat dikritik, atau (2) Tetap terbuka terhadap kritik dan dihancurkan olehnya. Opsi pertama adalah bentuk kulit tebal yang membuat kita tidak bisa menerima segala bentuk masukan, termasuk kritik yang sehat dan membangun. Opsi kedua berarti menundukkan diri kita pada serangan kritik tanpa henti yang sudah pasti akan membuat kita kelelahan atau putus asa. Saya mencoba untuk menjadi orang yang berkulit lebih tebal selama bertahun-tahun. Namun itu tidak pernah berhasil, dan saya ragu itu akan berhasil. Pasti ada cara yang lebih baik.

Diserang

Perjalanan saya dalam menghadapi kritik yang menyakitkan dimulai sekitar satu dekade lalu ketika saya menjadi bagian dari transisi sebuah komunitas iman yang bergaya liturgi ibadah tradisional ke bentuk yang lebih modern. Pergeseran dramatis ini, yang mencakup perubahan-perubahan seperti musik yang lebih keras, pembaruan pencahayaan dan produksi, dan, tentu saja, mesin kabut, disambut baik oleh sebagian orang tetapi membuat frustrasi orang-orang yang lain. Ini menjadi semacam pergeseran yang membuat para pendeta semakin kurang tidur. Pergeseran ini juga menimbulkan beberapa umpan balik yang mengejutkan: Musiknya terlalu keras. Lagu-lagunya tidak familiar. Penampilan pelayannya terlalu trendi.

Namun yang benar-benar menyakitkan adalah saat kritik tersebut berubah menjadi serangan terhadap karakter atau kesetiaan seseorang kepada Tuhan. Bagi mereka yang tidak senang, ternyata tidak cukup hanya dengan mengatakan tidak setuju—komentar mereka harus didukung dengan pembenaran teologis yang semu.

Kami dihadapkan pada pertanyaan yang menantang: Bagaimana kami memimpin gereja untuk menghadapi perubahan dramatis dengan cara yang menghormati pendapat mereka yang paling terpengaruh oleh perubahan tersebut dan menghormati visi yang telah Tuhan berikan kepada kami? Ini adalah pertanyaan krusial yang berhubungan dengan banyak situasi yang sering dihadapi pendeta: Bagaimana kita bisa mendengarkan dengan baik namun tetap mempertahankan keyakinan kita? Bagaimana kita membedakan masukan yang baik dari respons yang reaktif? Apa yang diperlukan untuk menciptakan budaya gereja yang sehat di tengah kritik dan masukan?

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Dalam transisi gaya penyembahan tersebut, saya memulai sebuah perjalanan untuk menemukan bahwa jawaban atas semua pertanyaan ini sebenarnya adalah dengan menerima lebih banyak masukan dan mendengarkan lebih banyak kritik, bukan lebih sedikit. Untuk pertama kalinya, saya mulai memahami bahwa menangani kritik dengan baik tidak terlalu berkaitan dengan membangun cangkang yang lebih tebal, melainkan lebih banyak berkaitan dengan struktur gereja kita dan ritmenya terhadap masukan yang sehat.

Masukan dari jemaat

Kita semua pasti pernah menghadapi orang-orang dengan suara kritis yang kita takuti di gereja, karena tampaknya mereka selalu punya “umpan balik” untuk kita. Pendeta dan pelatih kepemimpinan Steve Cuss menyebut orang-orang semacam ini sebagai “tersangka yang biasa.” Kita tidak bisa berkata bahwa kita tidak ingin mendengar masukan mereka, karena dengan demikian kita terlihat tidak mau diajar atau sombong, namun kita selalu merasa diri menjadi lebih buruk setelah berbicara dengan mereka.

Sementara itu, orang-orang lain di komunitas kami umumnya menghindari konflik dan tidak nyaman untuk membicarakan tentang keprihatinan mereka. Orang-orang ini biasanya harus benar-benar marah dulu sebelum mereka akhirnya mau berbicara—jadi pada saat mereka mulai memberi masukan, kita mendapati diri kita seperti berada di puncak frustrasi yang tertahan selama setahun! Pada saat itu, tanpa kita sadari, hubungan tersebut kemungkinan besar telah terkorosi sedemikian rupa di pihak mereka sehingga hampir tidak mungkin untuk dipulihkan.

Kabar baiknya adalah bahwa mengembangkan kebiasaan dan ritme yang baik untuk memberi masukan atau umpan balik di gereja kita dapat membantu mengatasi kedua tantangan ini. Dalam kasus pertama, hal ini dapat menjadi saluran bagi suara-suara kritis di jemaat kita. Mengembangkan kebiasaan dan ritme yang baik ini akan melindungi para pendeta agar tidak dibutakan oleh kritik dan memberi kita konteks khusus di mana kita dapat siap secara mental dan emosional untuk menerimanya. Lalu dalam kasus kedua, sarana ini akan menjadi undangan dan sistem penghargaan yang alami untuk berbagi masukan sebelum mencapai titik yang meledak-ledak.

Article continues below

Saat kita membuat beberapa saluran umpan balik dan menormalkan proses saling memberi masukan ini, kita tidak hanya menciptakan sebuah sistem, melainkan kita sedang mengomunikasikan sikap kerendahan hati. Hal ini mendorong jemaat untuk memberi masukan sebelum relasi menjadi buruk, dan memungkinkan para pemimpin gereja untuk mendapatkan manfaat dari kebijaksanaan komunitas mereka. Meskipun tentu saja ada beberapa pengecualian, tetapi sebagian besar masukan dimulai sebagai keinginan untuk memperkuat apa yang sudah mereka sukai, bukan untuk menghancurkan apa yang tidak lagi mereka inginkan. Ritme umpan balik yang konsisten dan sehat di dalam gereja akan memungkinkan para pendeta untuk merespons kritik dengan lebih baik secara personal dan jemaat bisa mendapatkan manfaat secara organisasi.

Sesi mendengarkan

Selama menghadapi segala tantangan di tahun 2020, seperti banyak gereja lainnya, kami menghadapi konflik yang menyakitkan. Sejumlah orang yang dekat dengan saya memutuskan untuk meninggalkan gereja kami atau merasa sangat frustrasi. Banyak yang membicarakan keprihatinan mereka secara langsung kepada saya—ini hal yang lebih saya sukai tetapi juga lebih menyakitkan. Sangat mudah untuk merasa disalahpahami atau merasa bahwa orang lain tidak memahami tantangan yang dihadapi para pemimpin gereja saat itu. Namun, ketika saya merenungkan percakapan-percakapan ini, kesamaan yang muncul adalah perasaan bahwa orang-orang tidak merasa didengarkan di gereja kami; karena itu, mereka tidak merasa betah.

Salah satu ciri yang khas dari sikap mendengarkan dengan baik adalah kemampuan untuk tetap fokus pada orang yang sedang menyuarakan perspektifnya. Tantangan dalam menerima kritik adalah dorongan naluriah untuk mengalihkan fokus kembali kepada kita, biasanya dengan berusaha membela diri. Dalam gereja (dan dalam relasi pada umumnya), percakapan umpan balik tidak berjalan baik bukan hanya karena orang-orang merasa tidak setuju, melainkan juga karena mereka merasa tidak didengar. Membuat orang merasa didengar berkaitan langsung dengan kemampuan kita untuk menerima—untuk benar-benar mendengarkan—umpan balik. Dalam pengertian ini, nasihat Yakobus menuntut tingkat kecerdasan relasional yang tinggi: “...hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (Yak. 1:19).

Sebagai hasil dari mempelajari sumber materi dan teknik untuk mendengarkan dengan baik, gereja kami mengembangkan sesi mendengarkan di mana para pemimpin gereja duduk bersama anggota jemaat komunitas kami, dan satu-satunya peran kami adalah mengajukan pertanyaan seputar topik yang diperdebatkan dan kemudian mendengarkan serta mencatatnya. Kami berada di sana bukan untuk menantang, mempertanyakan, mengkritik, atau bahkan menanggapi. Kami hanya mendengarkan dan mengajukan pertanyaan klarifikasi dalam upaya mengomunikasikan keinginan untuk mendengar. Kami menyaksikan bahwa sesi ini sangat membantu dalam menciptakan ruang bagi jemaat untuk mengomunikasikan pandangan mereka tentang berbagai hal, dan juga menolong kami sebagai tim pemimpin gereja untuk bertumbuh dalam mendengarkan tanpa membela diri.

Article continues below
Pertemuan Skip-Level

Saya pertama kali mendengar tentang pertemuan skip-level di siniar The Andy Stanley Leadership. Pada dasarnya, ini adalah percakapan umpan balik di mana pemimpin sebuah organisasi mengumpulkan masukan dari orang-orang di dua atau tiga level di bawahnya (jadi melewatkan satu level kepemimpinan atau lebih di bawahnya). Dalam gereja kami, para penatua secara posisi berada di atas saya, jadi mereka “melewati” saya dan mencari masukan dari anggota tim yang melapor langsung kepada saya. Percakapan model ini digunakan untuk mengumpulkan masukan tentang budaya dan pengalaman staf, termasuk bagaimana saya dapat melayani dan memimpin tim saya dengan lebih baik, bagian mana yang kurang jelas, tantangan unik apa yang mereka alami, dan apa pun yang mungkin berguna bagi para penatua untuk melayani staf dan gereja kami.

Pertemuan skip-level ini memungkinkan para penatua untuk mencapai dua hal: Pertama, mereka bisa mendapatkan lebih banyak masukan secara langsung dan jujur dari setiap anggota tim (karena orang tersebut tidak diminta untuk menyampaikannya secara langsung kepada atasannya). Kedua, para penatua dapat mendengar umpan balik sebagaimana adanya, bukan melalui filter interpretasi saya. Setelah melakukan beberapa kali percakapan skip-level, para penatua kemudian mengambil informasi yang telah mereka kumpulkan, mengekstrak bagian-bagian yang perlu dikembangkan, dan melaporkannya kepada saya (dengan anonimitas). Proses ini membebaskan para anggota tim dari kekhawatiran tentang bagaimana masukan mereka akan memengaruhi hubungan kami atau membahayakan pekerjaan mereka. Ini juga membebaskan saya untuk mendengar umpan balik melalui filter tentang bagaimana saya dapat menjadi lebih baik, dan bukan tentang “Apa yang orang ini pikirkan tentang saya?”

Article continues below

Namun hasil terbesar dari semuanya itu adalah sebuah budaya. Sarana memberi masukan ini membantu para anggota tim untuk merasakan bahwa pandangan mereka dihargai dan diterima, mereka bisa bersuara, dan mereka memiliki jalan untuk mengomunikasikan kebutuhan atau masalah mereka.

Pertemuan skip-level ini sangatlah bermanfaat ketika kami akhirnya kembali mengadakan kebaktian mingguan rutin secara tatap muka pada tahun 2021. Gereja kami kehilangan banyak relawan di awal proses tersebut, jadi saya memprakarsai beberapa pertemuan skip-level secara langsung dengan para relawan untuk memahami alasannya. Dalam umpan balik yang dikumpulkan dari mereka yang telah berhenti dan mereka yang masih melayani, rasa frustrasi yang mereka ceritakan berkisar dari soal ketidakteraturan persediaan yang ada, kurangnya perencanaan ke depan, dan terlalu sering memakai orang yang sama secara berulang-ulang (karena kurangnya relawan) hingga soal pelatihan yang tidak memadai, komunikasi yang tidak konsisten, serta pengalaman yang kacau dan tergesa-gesa sebagai gereja yang tidak memiliki tempat yang menetap.

Dari percakapan ini, kami dapat menyaring prioritas yang paling penting dan menyusun rencana tindakan untuk meningkatkan pengalaman para relawan kami. Namun yang paling penting, proses ini mengomunikasikan kepada mereka bahwa kami mendengarkan, kami peduli dengan apa yang kamu alami, dan kami sedang berusaha untuk memperbaikinya.

Penilaian triwulan

Sarana ketiga yang saya gunakan untuk mengumpulkan umpan balik adalah penilaian triwulan. Karena kami tidak ingin menciptakan budaya di mana nilai seseorang secara langsung terkait dengan kinerjanya, awalnya staf kami sempat menolak metode tersebut. Namun ketika saya menemukan kebutuhan untuk menerima umpan balik yang lebih baik, saya mempertimbangkan kembali penilaian itu, dan sejak itu kami menjadikannya bagian dari ritme staf kami—tetapi dengan beberapa penyesuaian penting.

Pertama, dan yang paling penting, dalam budaya ritme umpan balik yang sehat, saya tahu bahwa sangat penting bagi saya untuk melakukan penilaian terhadap diri sendiri (bukan hanya untuk anggota staf). Kedua, kami memasukkan penilaian diri sendiri sebagai bagian dari proses. Saya merasa hal ini sangat membantu dalam pelayanan pastoral saya. Dalam penilaian terhadap diri sendiri, saya menjawab pertanyaan yang sama tentang diri saya yang juga akan dijawab oleh para penatua kami (atasan-atasan saya) tentang saya. Jika saya jujur pada diri sendiri, maka hal ini menanamkan sedikit kerendahan hati dalam keseluruhan proses penilaian tersebut. Tentu sangatlah tidak realistis untuk berharap mendapatkan nilai sempurna dalam segala hal. Penilaian terhadap diri ini mempersiapkan jalan sehingga ketika kami berkumpul untuk berbincang-bincang, saya sudah siap dengan pemikiran tentang bagian-bagian yang perlu saya tingkatkan, dan saya juga telah siap untuk bersikap rendah hati dalam menerima umpan balik mereka. Hal ini membuat percakapan tersebut menjadi tidak terlalu bersifat pribadi dan jauh lebih konstruktif.

Article continues below
Lebih banyak, bukan lebih sedikit

Rahasia untuk menghadapi umpan balik yang negatif bukanlah mencoba mengembangkan semacam mitos kulit yang kebal terhadap tusukan kritik yang emosional. Tidaklah masuk akal untuk berpikir bahwa kita para pendeta dapat menerima komentar negatif tentang kita, kinerja kita, atau kepemimpinan kita dan tidak pernah tersakiti oleh mereka secara pribadi. Itu adalah kebohongan yang entah bagaimana terus kita pertahankan, hanya karena kedengarannya bagus. Namun inilah saatnya untuk mengakui kebenaran: Kulit yang tebal adalah sebuah mitos.

Sekalipun menggoda kelihatannya, rahasia kita sebagai pendeta dalam menghadapi kritik bukanlah dengan menghindarinya atau tidak mendengarkannya. Rahasia menangani kritik dengan baik adalah menciptakan saluran dan praktik yang memungkinkan untuk menerima lebih banyak kritik, tetapi dengan cara yang lebih sehat. Tentu saja hal ini tidak akan sepenuhnya menghilangkan sengatan kritik, dan juga tidak akan menghilangkan semangat kritis seseorang dalam jemaat kita. Akan tetapi, sarana umpan balik yang sehat menyediakan jalur yang tidak terlalu personal untuk terjadinya komunikasi ini sehingga kita, sebagai pemimpin, dapat tetap rendah hati, dapat diajar, dan menerima nasihat yang bijak tanpa harus dihancurkan oleh pukulan emosional yang menyertai kritikan tersebut.

Ike Miller adalah penulis Seeing by the Light dan gembala sidang Bright City Church di Durham, Carolina Utara. Ia meraih gelar doktor dalam bidang teologi dari Trinity Evangelical Divinity School.

Artikel ini adalah bagian dari edisi spring CT Pastors yang menggali persoalan kesehatan gereja. Anda dapat menemukan edisi lengkapnya di sini.

Diterjemahkan oleh Paul Sagajinpoula.

[ This article is also available in English Português 简体中文, and 繁體中文. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]