Kita sering kali hanya menyadari bahwa kita sedang menjalani peristiwa-peristiwa bersejarah dengan mengingat kembali peristiwa-peristiwa tersebut.

Misalnya saja orang-orang Moravia. Pada tahun 1727, sekelompok umat Kristen yang melarikan diri dari penganiayaan di Republik Ceko modern ini memulai doa vigili 24-7. Mereka tidak menduga bahwa sesi doa tanpa henti yang mereka lakukan itu pada akhirnya akan berlangsung selama 100 tahun dan meluncurkan gerakan misi global.

Atau ambil contoh John Wesley dan George Whitefield. Pada tahun 1738, dalam pertemuan doa Tahun Baru, di mana orang-orang berkumpul, pada “sekitar jam tiga pagi, ketika kami terus berdoa, kuasa Tuhan datang dengan dahsyat ke atas kami, sedemikian rupa sehingga banyak orang yang berseru dengan penuh sukacita,” tulis Wesley dalam buku hariannya. Para pengkhotbah itu mungkin tidak menyangka bahwa dalam beberapa bulan berikutnya, mereka akan mulai melakukan perjalanan keliling Inggris untuk mengajarkan Firman Tuhan, sebuah kampanye yang akan menandai awal kebangunan rohani kalangan Wesleyan dan Gerakan Kebangunan Rohani Pertama di Amerika.

Sejarah gereja telah mengajarkan kita untuk tidak pernah meremehkan dampak jangka panjang ketika kehadiran Tuhan yang nyata turun ke atas sekelompok orang; pemahaman ini telah membawa saya untuk menelusuri secara seksama dampak dari pencurahan rohani pada tahun 2023 di Universitas Asbury.

Bagi mereka yang butuh ingatannya disegarkan: Satu tahun yang lalu pada pertengahan minggu pertama Februari, saat kebaktian kapel Rabu pagi yang tampaknya biasa itu selesai, 18 atau 19 mahasiswa tetap tinggal untuk menyembah dan berdoa. Meskipun sekolah di pedesaan Kentucky ini memiliki sejarah kebangunan rohani, hanya sedikit orang yang percaya bahwa pertemuan ini akan berlanjut selama 16 hari berikutnya, yang dihadiri lebih dari 60.000 orang, termasuk mahasiswa dari 300 kampus universitas dan umat Kristen dari hampir setiap benua.

Walau kita belum melihat kebangunan rohani global sejak berakhirnya peristiwa di Asbury, masih banyak hal yang sedang terjadi daripada yang bisa dilihat oleh mata kita. Saya percaya kita telah memasuki masa persiapan rohani. Saya telah mengamati kesamaan antara peristiwa ini dan seorang pengkhotbah di Alkitab yang juga berasal dari pedesaan serta yang juga menarik banyak orang: Yohanes Pembaptis.

Dinubuatkan oleh Yesaya sebagai “suara orang yang berseru-seru di padang gurun” (Yoh. 1:23; Yes. 40:3), Yohanes memanggil orang-orang untuk bertobat dan hidup kudus. Dia adalah perwujudan dari doa yang dijawab dan mengabdikan pelayanannya untuk memberitakan bahwa ada yang lebih besar akan segera menyusulnya. Melihat bukti elemen-elemen ini di seluruh dunia membuat saya bertanya-tanya apa langkah global selanjutnya yang mungkin dipelopori oleh Asbury.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya
Panggilan untuk bertobat dan hidup kudus

Dari padang gurun, Yohanes Pembaptis mendapat julukannya karena menyerukan baptisan pertobatan dan pengampunan dosa (Mrk. 1:4). Banyak orang mengikutinya ke padang gurun untuk mengaku dosa-dosa mereka, dibaptis, dan diperdamaikan dengan Allah.

Dengan cara yang sama, orang banyak yang memasuki Auditorium Hughes dihadapkan pada keadaan hati mereka sendiri. Beginilah cara David Thomas, yang merupakan bagian dari tim kepemimpinan inti yang melayani kebangunan rohani tersebut, menjelaskannya kepada saya dalam sebuah wawancara melalui email:

Selama beberapa hari pertama Pencurahan itu, tampaknya hanya pertobatan dan pengampunan yang dapat kami lakukan. Di seluruh ruangan itu, orang-orang berjalan dari satu tempat ke tempat lain, saling bertubrukan satu sama lain untuk mengambil langkah pertama meminta maaf, mengakui kesalahan, mengampuni perselisihan, dan menjelaskan kesalahpahaman. Tangga depan Auditorium Hughes pun dipenuhi oleh orang-orang yang menggunakan ponsel mereka untuk mengirimkan pesan rekonsiliasi dan restorasi.

Ucapan Thomas juga diamini oleh salah satu pengunjung transatlantik. Al Gordon, seorang pendeta dari London, melaporkan bahwa ia merasakan sesuatu di udara, bahkan di tempat parkir.

“Saya disambut dengan perasaan yang luar biasa bahwa saya harus melakukan hal yang benar dengan Yesus,” kenangnya. “Sebelum saya melangkah ke dalam kapel, saya berseru dalam pertobatan, mengakui kesombongan saya, merendahkan diri saya di hadapan Tuhan.”

Para mahasiswa Asbury memimpin dalam memberikan teladan gelombang pertobatan ini. Dari atas panggung, ratusan orang membagikan kesaksian mereka. Kisah-kisah mereka bervariasi dari hal-hal sederhana seperti, “Saya merasakan Yesus mengundang saya untuk mengirim pesan kepada seorang teman untuk meminta pengampunan atas sesuatu yang tidak beres dalam hubungan kami,” hingga transformasi dramatis seperti, “Tiga hari yang lalu saya meninggalkan ilmu sihir dan menyerahkan hidup saya kepada Yesus.”

Para pemimpin mahasiswa juga tidak mengizinkan siapa pun untuk memimpin penyembahan yang tidak “sejalan dengan Yesus secara otentik,” kata Thomas. Alih-alih menawarkan sebuah ruang hijau standar bagi mereka dan para pembicara tamu yang datang, mereka justru menciptakan sebuah “ruang pengudusan” di mana para pemimpin dan pembicara tamu didoakan dan diminta untuk memohon pengampunan Tuhan atas segala dosa, sebelum membagikan apa pun dari mimbar.

Article continues below
Panggilan untuk berdoa

Yohanes Pembaptis lahir dari doa, khususnya doa orang tuanya yang sudah lanjut usia. Ketika malaikat menampakkan diri kepada ayahnya, Zakharia, kata-kata pertamanya adalah, “Jangan takut, hai Zakharia, sebab doamu telah dikabulkan” (Luk. 1:13).

Dengan cara yang sama, terdapat keyakinan yang tak tergoyahkan di antara para pemimpin Asbury bahwa “segala sesuatu yang terjadi di Auditorium Hughes selama 16 hari itu adalah buah dari doa,” kata Thomas. Ketika orang-orang memasuki ruangan di kota kecil Kentucky itu dari kota atau benua lain, dia berterima kasih atas kedatangan mereka. Akan tetapi mereka mengoreksinya. “Jangan berterima kasih kepada saya. Saya harus datang. Saya harus datang ke sini dan menyaksikan sendiri apa yang telah saya doakan sepanjang tahun-tahun ini!”

“Orang-orang dari berbagai penjuru telah berdoa, dan kisah ini adalah milik mereka,” Thomas berbagi.

Temperatur doa secara global telah meningkat secara signifikan pada tahun lalu. Pencurahan rohani di Asbury “melepaskan rasa lapar dan pengharapan baru” dalam kehidupan Pete Greig, pendiri 24-7 Prayer, serta dalam lembaga pelayanan itu sendiri, yang memiliki 25.000 ruang doa di 78 negara.

“Ada peningkatan dalam doa,” kata Grieg. “Ada pengharapan yang lebih mendalam.”

Di Kota New York, Church of the City menyelenggarakan acara doa setiap pagi, siang, dan malam, Senin hingga Jumat. Pendetanya, Jon Tyson, datang ke momen pencurahan itu dan sangat terpengaruh olehnya.

“Peristiwa itu luar biasa,” katanya. “Setelah mempelajari kebangunan rohani secara ekstensif, saya menyaksikan apa yang selama ini hanya saya baca.”

Kelaparan akan kebangunan rohani ini juga dirasakan di seberang lautan. Tiga gereja di London telah menyelenggarakan doa semalam suntuk yang diadakan setiap dua bulan sekali, di mana sekitar 1.000 pelajar dan orang dewasa muda hadir serta berseru kepada Tuhan untuk kebangunan rohani. Atmosfernya begitu kental dengan kehadiran Allah, “Anda bisa menyalakan udara dengan korek api,” kata Al Gordon, salah satu pendeta mereka. Pendeta lainnya, Pete Hughes, berkomentar, “Dan kami telah berkomitmen untuk terus melanjutkannya sampai kami melihat kebangunan rohani di kota kami.”

Article continues below

Kerinduan serupa juga terlihat di benua lain. “Di Australia, Asbury telah menarik perhatian banyak orang,” kata Mark Sayers, seorang penulis dan pendeta Red Church di Melbourne. Sebagai respons terhadap kebangunan rohani di Asbury, gereja tersebut membuka sebuah ruang doa.

Setelah beberapa bulan, pada suatu malam “ruangan itu dipenuhi dengan kehadiran Tuhan yang begitu nyata,” katanya. “Tidak ada seorang pun yang ingin pergi. Tenang, damai, tidak seperti apa pun yang pernah saya alami dalam pertemuan doa atau kebaktian sebelumnya. Momen itu secara radikal mengubah sejumlah orang yang hadir di sana dan secara signifikan memperdalam kehidupan rohani gereja kami.”

Menunjuk pada sesuatu yang lebih besar yang akan datang

Yohanes Pembaptis selalu memahami dengan jelas bahwa perannya adalah untuk menunjuk kepada Pribadi yang akan datang setelahnya: “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3:30). Ia juga sangat menyadari bahwa pelayanannya merupakan persiapan untuk sebuah kegerakan yang akan datang.

Dengan cara yang sama, Asbury menempatkan Yesus di garis depan dengan sebuah pesan kontra budaya “tidak ada selebritas selain Yesus.”.

Para pemimpin Asbury berharap bahwa pengalaman mereka suatu hari nanti akan menjadi bagian dari sejumlah kisah tentang bagaimana banyak orang yang bertemu Tuhan.

“Kami menantikan suatu hari di mana akan ada kisah pencurahan rohani lainnya dalam waktu dekat, yang akan melampaui kisah yang terjadi di Asbury,” kata Thomas. “Saya berharap kisah itu datang dari tempat Anda berada—dari kota Anda, kampus Anda, gereja dan keluarga Anda, dari kehidupan Anda sendiri.”

Para pemimpin memandang Asbury sebagai kebalikan dari Las Vegas. Ada ungkapan mengatakan bahwa apa yang terjadi di Vegas, tetap di Vegas. Akan tetapi, apa yang terjadi di Asbury tidak boleh tetap di Asbury. Sebaliknya, mereka menyerukan agar kebangunan rohani ini menyebar di berbagai kampus, gereja, jalanan, dan masyarakat.

“Jika tidak sampai ke jalan-jalan, jika tidak sampai ke bangsa-bangsa, maka kebangunan rohani itu tidak akan sampai ke tempat yang seharusnya,” kata Thomas.

Dari Asbury hingga ke dunia

Kumpulan orang banyak yang mengunjungi Yohanes Pembaptis di padang gurun menjadi pertanda banyaknya orang yang mendengarkan Yesus di Galilea dan gereja yang membawa Injil sampai ke ujung bumi. Baru satu tahun berlalu sejak kebangunan rohani di Asbury, tetapi umat Kristen di seluruh dunia, khususnya mahasiswa, sudah lapar untuk belajar dari mereka yang berperan penting dalam pencurahan rohani di Asbury.

Article continues below

Pada Passion Conference terbaru, yang dihadiri 55.000 anak muda di awal tahun ini, Louie Giglio berbicara secara terbuka tentang dampak Asbury dalam hidupnya, dan konferensi tersebut memiliki banyak waktu untuk menikmati penyembahan, di mana para mahasiswa secara spontan menyanyikan bagian refrain dari ″ Agnus Dei” secara akapela selama lebih dari 15 menit. Setelah Zach Meerkreebs, pengkhotbah pada kebaktian Rabu pertama di kapel Asbury itu, bercerita tentang pengalaman pencurahan tersebut dari mimbar, para mahasiswa berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil memohon kepada Tuhan agar terjadi kebangunan rohani di kampus mereka masing-masing.

Kerinduan serupa juga terlihat di seberang lautan di Eropa. Pada konferensi Revive Europe terbaru, yang mengumpulkan sekitar 3.000 mahasiswa dari 87 negara di seluruh benua, para mahasiswa secara spontan menyanyikan lagu “Agnus Dei” yang sama secara akapela selama 40 menit. Revive Europe juga mengundang para pemimpin Asbury dalam pertemuan-pertemuan mereka untuk belajar dari para pemimpin tersebut dan membangkitkan iman terkait apa yang Allah dapat lakukan.

Pada Arise Asia, sebuah konferensi yang dihadiri 1.700 mahasiswa dari hampir semua negara di Asia, presiden Asbury Theological Seminary, Timothy Tennent, membagikan sebuah pesan, yang mencakup perpanjangan waktu ibadah dan doa untuk kebangunan rohani. Ketika Lausanne Movement mengumpulkan 5.000 pemimpin gereja global di Seoul untuk merayakan hari jadinya yang ke-50 pada bulan September mendatang, Tennent juga akan mengajarkan tentang peran Roh Kudus dalam misi gereja.

Kelaparan rohani dalam generasi ini sangat jelas terasa. Jennie Allen, pendiri IF:Gathering, yang juga sangat terpengaruh oleh kebangunan di Asbury, mengatakan, “Saat ini saya bisa menangis meratap selama satu jam tentang apa yang Tuhan lakukan di dalam dan bersama Gen Z.”

Allen melanjutkan dengan menceritakan bahwa ia pernah berkhotbah di Universitas Auburn pada Selasa malam beberapa bulan yang lalu. “Pada akhir khotbah, ada seorang gadis ingin dibaptis. Saya berkata, ‘Apakah ada orang lain yang mau dibaptis?’ Kami pun membaptis lebih dari 200 mahasiswa! Itu gila! Kami akhirnya harus berhenti pada tengah malam.”

Article continues below
Tidak ada lagi usaha seperti biasa

Lebih mudah untuk mengenali permulaan dari sebuah gerakan Allah ketika kita sudah berada berabad-abad jauhnya. Namun bagaimana jika kita berada di tengah-tengah sebuah permulaan yang baru? Jika Tuhan mengirimkan kebangunan rohani global pada generasi kita, tentunya Anda dan saya tidak ingin melewatkannya.

Ini bukan waktunya untuk melakukan usaha seperti biasa. Ini adalah sebuah undangan ke mana pun Tuhan menempatkan kita, untuk mempersiapkan jalan bagi Sang Raja. Ini adalah panggilan untuk bertobat dan kembali lurus dengan Tuhan dalam kehidupan pribadi kita, pelayanan kita, dan panggilan kita. Bagaimana kita mempersiapkan jalan di tempat-tempat di mana Tuhan telah menempatkan kita? Bagaimana kampus universitas, gereja lokal, dan organisasi misi kita mempersiapkan diri? Bagi kita yang bekerja di lokapasar (marketplace) dan usaha, apa yang kita lakukan agar peka terhadap pekerjaan Tuhan?

“Tuhan lebih dekat dari pada yang kita pikirkan dan lebih siap untuk bertindak melebihi iman kita,” tulis Gordon, pendeta asal London yang menghadiri pencurahan rohani itu. “Langit-langit lebih tipis dari apa yang bisa dilihat oleh mata kita, dan suatu saat langit-langit itu akan pecah terbuka.”

Satu tahun telah berlalu. Dan itu baru saja dimulai. Akankah gereja global siap memberi jalan bagi Sang Raja?

Sarah Breuel adalah direktur eksekutif Revive Europe dan menjabat sebagai dewan direksi Gerakan Lausanne.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]