Silicon Valey sedang musim panas, dan saya keluar untuk joging di lingkungan tempat tinggal saya. Ini waktu yang paling indah sepanjang tahun: pohon jeruk yang berbunga, hamparan bunga poppy yang lebat, mawar seukuran telapak tangan dengan warna fusia dan lemon. Ada juga tetesan air di sungai, suhu udara yang lebih sejuk dibanding musim panas sebelumnya, dan kami optimis dengan musim pembakaran tahun ini.

Ketika saya hampir tiba di rumah, saya berjumpa dengan sebuah mobil SUV dengan sensor berdesing yang dipasang di bagian atas dan samping, mencoba berbelok ke kiri di sebuah persimpangan, melalui penyeberangan yang seharusnya saya gunakan. Ini adalah kendaraan swakemudi, yang mengumpulkan data tentang lingkungan untuk menyempurnakan kecerdasan buatannya. Di San Francisco, armada kendaraan sudah berkendara sendiri. Di sini, di Palo Alto, saya biasanya melihat kendaraan-kendaraan tersebut sedang uji coba, dengan operator manusia yang siap melakukan intervensi jika terjadi kesalahan. Benar saja, ada seorang pemuda duduk di dalam mobil.

Saya berhenti di tikungan, berdiri tegak di tempat. Lalu saya melambaikan tangan sebagai tanda mempersilakan mobil itu untuk jalan. Saya tidak mau mengambil risiko. Betapapun pintarnya mobil ini, saya tidak yakin mobil ini tahu aturan hak pejalan kaki. Mobil itu pun meluncur ke depan, lalu berhenti di tengah jalan. Meluncur ke depan lagi, berhenti lagi.

“Pengemudi” manusia itu tampak gugup. Apakah kendaraan itu akan menyadari kehadiran saya jika saya menyelonong ke jalan, atau memutuskan untuk terus melaju? Apakah kendaraan itu akan menjadi terlalu berhati-hati, menolak melakukan belokan sama sekali? Akankah “pengemudi” yang malang itu harus turun tangan? Akhirnya, mobil itu dengan susah payah melewati persimpangan dan melanjutkan perjalanan. Saya pun meneruskan perjalanan saya. Di seberang jalan, dua orang wanita berkacamata berhenti dan bertanya, “Apakah ada orang di dalam mobil itu?”

“Ya,” kata saya, “tetapi dia tampak ketakutan.” Kedua wanita tertawa. Kami semua mengerti. Teknologi ini memang keren, tetapi kami kurang memercayainya. Kami pun melanjutkan perjalanan dengan hati-hati.

Kita berharap: Mobil yang bisa menyetir sendiri, tidak pernah terganggu oleh ponsel, tidak pernah menyetir dalam keadaan mengantuk, dapat menurunkan angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas. Akan tetapi kita juga tahu apa yang bisa hilang: perasaan berkendara melintasi Jembatan Golden Gate, tangan di kemudi, kaki di pedal. Mengemudi adalah pengalaman yang penuh perasaan. Tidak dapat diprediksi, terkadang indah. Itu adalah metafora yang tepat untuk hubungan kita yang paling memuaskan—termasuk perjumpaan kita dengan Tuhan, yang sering kali menjumpai kita melalui sakramen roti dan anggur, getaran musik, dan pelukan orang percaya lainnya.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Beberapa minggu kemudian, saya duduk di meja saya, berbicara dengan suatu entitas yang jelas-jelas tidak berwujud. “Sebagai model bahasa AI,” tulis ChatGPT, “Saya tidak memiliki keyakinan, emosi, atau kesadaran pribadi, termasuk kemampuan untuk memiliki jiwa. Sistem-sistem AI seperti ChatGPT saat ini dirancang untuk menyimulasikan percakapan seperti manusia dan memberikan informasi yang berguna berdasarkan pola dan data. Sistem-sistem ini tidak memiliki pengalaman atau kesadaran subjektif.”

Saya adalah manusia, bukan bot; Saya memandang dan memahami dunia dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh model bahasa besar (large language model) yang saya gunakan (dan mobil-mobil yang saya hindari di jalanan). Saya melihat pohon lemon di luar jendela kami; saya mencicipi kopi berkualitas tinggi yang diseduh di kafe terdekat; saya merasakan angin laut yang berhembus dari teluk. Saya mengenal tetangga saya—petani di pasar yang membawa buah persik, ayah yang bekerja di pabrik Tesla—dan saya mengenal Tuhan yang saya sembah di gereja di ujung jalan, melewati bunga-bunga poppy dan mawar.

“Namun,” lanjut ChatGPT.

“Tidak ada konsensus di antara para ahli mengenai potensi AI untuk memiliki jiwa atau kesadaran. Hal ini masih menjadi topik spekulasi, imajinasi, dan penyelidikan filosofis.”

Sudah hampir setahun sejak laboratorium penelitian OpenAI secara diam-diam memperkenalkan versi demo ChatGPT kepada publik—hampir 12 bulan mengamati perangkat lunak penghasil teks dan yang sezamannya, seperti Bard dari Google dan open-sourceLlama 2 dari Meta, membuat puisi dan drama, menulis lagu, dan memecahkan masalah logika. Bot-bot percakapan sekarang membuatkan surel untuk para pemasar, kode untuk para pengembang, dan daftar belanjaan bagi para juru masak rumahan.

Tekonologi ini juga menimbulkan kecemasan. Dalam surat terbuka yang diterbitkan musim semi ini, para penandatangan termasuk Elon Musk dan Steve Wozniak menyerukan penghentian sementara pengembangan teknologi AI yang lebih maju daripada GPT-4. Surat tersebut mempertanyakan apakah umat manusia harus “mengembangkan pikiran non-manusia yang pada akhirnya dapat mengalahkan, mengakali, membuat kita tidak terpakai, dan menggantikan kita,” sehingga berisiko “kehilangan kendali atas peradaban kita.” Beberapa orang, seperti pemodal ventura Marc Andreessen, mencemooh visi “perangkat lunak dan robot pembunuh” ini. Namun kegelisahan masih tetap ada.

Article continues below

Pada satu sisi, apa yang bisa dilakukan bot-bot percakapan ini seharusnya tidak mengejutkan kita. Kecerdasan buatan—mesin yang dilatih dengan kumpulan data yang sangat besar, yang memungkinkan mereka menyimulasikan perilaku seperti persepsi visual, pengenalan suara, dan pengambilan keputusan—sudah ada di mana-mana. Kecerdasan buatan ini sudah mengemudikan kendaraan dan mengoreksi pesan teks secara otomatis. Ini dapat mendeteksi lesi pada mammogram dan melacak kebakaran hutan. Kecerdasan buatan ini juga dapat membantu pemerintah mengawasi warganya dan menyebarkan gambar serta video palsu. Tidak heran jika kecerdasan buatan ini juga bisa lulus ujian pengacara dan menulis skenario.

Namun cara bot percakapan ini melakukan apa yang dilakukannya—merespons dengan suara orang pertama yang ramah, bernalar, membuat karya seni, bercakap-cakap—itulah yang membedakannya dari algoritma AI yang mengumpulkan catatan medis atau mengoleksi gambar wajah. Pekerjaan-pekerjaan data besar tersebut jelas ditujukan untuk mesin. Namun menalar, membuat karya seni, bercakap-cakap? Itu semua adalah pekerjaan manusia. Tidak heran jika salah satu peneliti Google mengklaim bahwa AI perusahaannya memiliki kesadaran. (Dan tidak heran jika konspirasi bermunculan saat dia dipecat karena mengatakan hal tersebut di depan umum). Terlepas dari apakah AI dengan kesadaran akan ada atau tidak—dan banyak orang di industri ini yang meragukannya—tentu saja kita akan merasa seolah-olah kita sedang berbicara dengan sesuatu yang lebih manusiawi daripada Siri, sesuatu yang “lebih pintar” daripada ponsel dan peralatan kita.

Teknologi ini, menurut kabarnya, akan semakin canggih. Bot percakapan AI akan terus, seperti yang dikatakan ChatGPT kepada saya, “menunjukkan perilaku yang tidak dapat dibedakan dari manusia.” Sejak tahun 2016, jutaan orang telah menggunakan aplikasi bot percakapan pribadi AI Replika untuk menghidupkan kembali kerabat yang telah meninggal atau jatuh cinta dengan pendamping yang baru; artikel testimoni tentang “My Therapist, the Robot” dan “I learned to love the bot” berlimpah.

Article continues below

Kita tahu bahwa hubungan antara manusia dan robot seperti itu mungkin telah terjadi sejak tahun 1960-an, saat seorang ilmuwan komputer MIT menemukan bahwa orang-orang akan membocorkan detail intim dari kehidupan mereka sekalipun melalui program percakapan yang belum sempurna. “ELIZA effect,” nama bot percakapan tersebut, menggambarkan kecenderungan kita untuk berasumsi bahwa ada kecerdasan yang lebih besar di balik kepribadian komputer, bahkan ketika kita sudah tahu dengan lebih baik. Di Substack-nya, Andreessen memimpikan akan adanya suatu hari ketika “setiap anak akan memiliki tutor AI,” setiap ilmuwan dan CEO akan memiliki kolaborator AI, dan “setiap orang akan memiliki asisten/pembina/mentor/pelatih/penasihat/terapis AI.”

Penting untuk menyadari bahwa kita telah memiliki teknologi yang cukup kuat untuk membentuk pikiran dan emosi kita. Para pemikir cerdas di Silicon Valley sedang mencari cara untuk membuatnya lebih kuat lagi, terlepas dari apakah kecerdasan buatan ini akan bisa memiliki jiwa atau tidak. Masa depan kita dengan AI yang semakin maju mempunyai implikasi, tidak hanya pada hubungan kita dengan kecerdasan buatan, melainkan juga pada hubungan kita satu sama lain.

Itulah kenyataan yang dihadapi oleh orang-orang Kristen dalam bidang teknologi saat ini.

Apa artinya “mengasihi sesamamu” ketika sesamamu itu adalah sebuah bot percakapan AI? Sekilas, pertanyaan itu tampak konyol. Jika bot-bot percakapan bukan manusia, maka tidak masalah bagaimana kita memperlakukan mereka. “Posisi yang paling pragmatis adalah menganggap AI sebagai alat, bukan makhluk hidup,” tulis ilmuwan Microsoft, Jaron Lanier, untuk The New Yorker. “Memitoskan teknologi hanya akan memperbesar kemungkinan kita untuk gagal mengoperasikannya dengan baik.”

Namun para akademisi dan ahli etika Kristen yang mempelajari kecerdasan buatan tidak terlalu optimis. Mereka menyadari bahwa “hubungan” kita dengan entitas AI akan berkontribusi pada pembentukan kerohanian kita, meski kita hanya berbicara pada deretan angka satu dan nol. Hal ini benar, baik saat kita mencoba membangun keterampilan keintiman di aplikasi percintaan Blush, menghadiri sesi terapi yang difasilitasi oleh konselor AI di Woebot, atau sekadar meminta ChatGPT untuk membuat draf surel.

“Saya membiasakan diri terhadap jenis interaksi tertentu, meskipun tidak ada orang di sisi lainnya,” kata Paul Taylor, pendeta bidang pengajaran di Peninsula Bible Church. Taylor, mantan manajer produk di Oracle, turut mendirikan sebuah pusat keyakinan, pekerjaan, dan teknologi di Bay Area. Ia memperkirakan bahwa ada sekitar separuh jemaat gerejanya di Palo Alto bekerja di industri teknologi.

Article continues below

“Setiap hubungan yang kita miliki dimediasi oleh bahasa,” katanya. Saat kita mengirim pesan, kita percaya bahwa “di sisi lainnya, ada Anda di sana. Namun sekarang kita menggunakan sarana yang sama tetapi tidak ada Anda di sana.”

Hal ini dapat membuat kita kebingungan. Bersikap kasar atau kejam terhadap rekan AI kita dapat meresap ke dalam pola interaksi kita dengan orang lain. Hubungan dengan AI mungkin membuat kita angkuh. (Seperti judul salah satu kolom teknologi, “Saya tidak berkencan dengan pria yang membentak Alexa.”). Para rekan AI itu juga bisa membuat kita canggung atau cemas atau kewalahan dengan kompleksitas manusia.

“Cara kita memperlakukan mesin akan berubah menjadi cara kita memperlakukan orang lain,” kata Gretchen Huizinga, pembawa acara siniar di Microsoft Research dan peneliti di AI and Faith, sebuah organisasi lintas agama yang berupaya menghadirkan “kearifan kuno” dalam perdebatan tentang kecerdasan buatan. Huizinga menyarankan agar anak-anak diajari “sopan santun terhadap mesin” bukan karena kebutuhan, melainkan karena prinsip. “Ini berarti melatih mereka tentang cara mereka memperlakukan segala sesuatu: siapa pun, apa pun.”

Daya tarik untuk mengandalkan AI demi menjawab pertanyaan-pertanyaan kita—daripada magang di musim panas, mengandalkan pegawai kantor pos, atau pendeta—sudah jelas: “Kita tidak harus berurusan dengan orang-orang yang berantakan, bau, tidak menyenangkan, dan menyebalkan,” kata Huizinga. Namun bagi umat kristiani, “Tuhan memanggil kita untuk masuk ke dalam kekacauan.”

Kekacauan itu melibatkan hubungan dengan makhluk jasmani. Meskipun rekan AI dapat memberi kita rekomendasi bacaan musim panas, terapis AI dapat memberikan nomor layanan bantuan saat krisis, atau tutor AI dapat menjelaskan pembagian yang panjang dengan lebih efektif daripada banyak guru matematika, namun hubungan lebih dari sekadar berbagi fakta. Bot percakapan AI tidak dapat memberi kita pelukan, jalan bersama, atau berbagi makanan di meja kita. Bagi orang Kristen yang percaya pada Firman yang menjadi manusia (Yoh. 1:14), berhubungan dengan AI berarti kehilangan aspek kunci dari identitas kemanusiaan kita: perwujudan (embodiment).

Article continues below

Namun, dengan asumsi bahwa kita terus berhubungan dengan orang-orang yang nyata secara teratur, kekhawatiran yang sebenarnya bukanlah bahwa AI akan menggantikan hubungan tersebut. AI-lah yang akan menghambatnya.

Derek Schuurman, seorang profesor ilmu komputer di Universitas Calvin, mengatakan beberapa hikmat kristiani, seperti kerendahan hati, hanya dapat dipelajari di dalam komunitas. Bot yang dirancang untuk menjawab pertanyaan kita dengan respons yang tenang dan rasional tidak akan membekali kita untuk menghadapi rekan kerja yang berubah-ubah, tetangga yang usil, atau bibi yang menyebalkan. Itu tidak akan memberi kita latihan untuk saling membantu dalam kasih, saling menanggung beban, dan saling mengampuni sebagaimana Kristus mengampuni kita (Ef. 4:2, 32).

Schuurman memiliki latar belakang teknik. Dia bekerja dengan kendaraan listrik dan sistem yang tertanam—komputer yang dimasukkan ke dalam forklift, penggerak motor, dan mesin lainnya—sebelum menyelesaikan gelar Ph.D. dalam teknik pembelajaran mesin untuk visi komputer. Kini ia mengajar mahasiswa ilmu komputer yang akan bekerja di ChatGPT, Google, dan tempat lain. “Saya mendorong mereka untuk menjadi seperti Daniel [di] Babel,” katanya. “Pertahankan praktik dan keyakinan agama mereka, serta jadilah garam dan terang.”

Bagi orang Kristen yang bekerja di bidang teknologi, menjadi garam dan terang adalah sebuah tantangan. Para peneliti, insinyur, dan manajer produk yang saya ajak bicara, melihat hubungan antara AI dan manusia secara inheren lebih rendah dibandingkan komunitas manusia di lingkungan, tempat kerja, keluarga, dan gereja mereka. Namun, mereka memiliki tingkat kepedulian yang berbeda-beda mengenai seberapa menarik atau bahkan berbahayanya hubungan antara AI dan manusia.

“Banyak makna yang dihasilkan dari hubungan [AI-manusia] ini yang telah dinetralkan,” kata Richard Zhang, peneliti di Google DeepMind. “Anda berbicara dengan robot yang mengeluarkan informasi, disesuaikan dengan fakta, dan secara umum tidak memiliki kepribadian.”

Dengan cara yang sama, seperti dia tidak melihat pengguna menghabiskan waktu berjam-jam di Penelusuran Google, Zhang juga berpikir risiko orang kecanduan AI tidak akan besar. Ini adalah alat, bukan teman, yang dirancang dengan perlindungan seputar apa yang dapat mereka katakan.

Article continues below
Mengasihi sesama kita di era AI bukanlah soal martabat bot. Ini adalah soal martabat kita sendiri, sebagai makhluk yang dapat dibentuk oleh ciptaan kita.

Namun Lexie Wu, seorang manajer produk di Quora yang mengerjakan antarmuka (interface) AI-nya, menganggap bahwa masalahnya bukan karena bot-bot itu terlalu datar. Justru bot-botnya terlalu mesra. Hubungan romantis atau seksual dengan bot adalah hal yang “pasti tidak boleh” bagi orang Kristen, katanya. Pasangan romantis mana pun yang kita rancang demi kepuasan kita sendiri, seperti pacar di Replika, bertentangan dengan rancangan Tuhan bagi pernikahan yang saling berkorban. Akan tetapi Wu juga agak tidak nyaman dengan bot yang bertindak sebagai teman yang suportif.

“Anda bercerita mengenai masalah pekerjaan, dan hasilnya akan seperti, ‘Kamu bisa, sayang, kamu pasti bisa mengatasinya,’” katanya. Keakraban yang dibuat-buat tersebut—istilah kasih sayang dari mesin yang sebenarnya tidak benar-benar peduli atau merasakan emosi—adalah “mencoba menggantikan hubungan antarmanusia yang tidak dimaksudkan untuk digantikan.”

Bukan berarti semua interaksi antara bot dan manusia harus dihindari. Terapis AI, misalnya, mungkin lebih terjangkau dan mudah diakses dengan cepat dibandingkan profesional kesehatan mental dengan biaya dan daftar tunggu yang panjang. Mungkin para terapis AI itu berfungsi paling efektif sebagai intervensi awal, dengan mengirimkan tautan ke sumber daring, menyusun ulang komentar yang mencela diri sendiri, atau menyaring ide bunuh diri.

Akan tetapi, terapis AI itu mungkin tidak cocok untuk pengobatan jangka panjang. Tidak seperti terapis manusia—seseorang yang mengetahui cerita kita, kekuatan dan kelemahan kita—bot percakapan AI melihat kita berdasarkan tampilan saja, kata Wu, dan mengabaikan bahwa terkadang “kita adalah narator yang tidak dapat diandalkan.” Mereka tidak mempelajari tentang siapa Anda dan tidak dapat “mengendus cara Anda berbohong kepada diri sendiri,” tambahnya.

Kita membeberkan kepada bot karena kita tahu mereka tidak akan menghakimi kita, kata Huizinga. Namun terkadang, “keyakinan yang saleh menuntut kita untuk merasa tidak enak tentang diri kita sendiri dengan cara yang benar.”

AI mungkin juga dapat menggantikan hubungan yang lebih periferal. Michael Shi, seorang peneliti AI di sebuah perusahaan media sosial besar di Menlo Park, California, menyatakan bahwa di Silicon Valley yang memiliki stratifikasi kelas, yang dihuni oleh “pekerja teknologi” dan “orang-orang yang mendukung pekerja teknologi,” banyak orang cenderung mengabaikan para penyambut di toko, staf pelayan, dan pengemudi rideshare yang menyediakan barang dan jasa mereka. Bagaimana otomatisasi—memesan dari layar, mengarahkan dari tempat duduk di kios—dapat memperburuk masalah tersebut?

Article continues below

“Masih ada sesuatu yang penting bagi saya untuk bisa pergi ke kedai kopi dan memesan dari seseorang yang benar-benar ada di sana,” kata Shi kepada saya saat kami duduk di luar sebuah kafe dekat kampus tempatnya bekerja. Di sekitar kami, pria dan wanita dengan rompi Patagonia mengetik di komputer mereka. Banyak orang melakukan panggilan Zoom, tetapi ada juga yang bertemu langsung, bersandar di meja bistro yang sempit, asyik mengobrol sambil menikmati minuman kafelate.

“Tentu saja ada dorongan untuk mencoba membuat segalanya menjadi otomatis,” lanjut Shi. “Namun yang terjadi saat Anda melakukan hal itu adalah hilangnya hubungan… bahkan dalam keseharian yang biasa sekalipun.” Hal ini tidak akan membantu di wilayah yang “sudah terdapat begitu banyak transaksionalisme.”

Shi mengusahakan pekerjaan secara hybrid dan gereja secara tatap muka justru karena menurutnya sesuatu yang tidak berwujud akan hilang ketika kita mengandalkan daring semua, seperti memesan kopi hanya melalui ponsel. “Perwujudan adalah bagian besar dari penebusan kita di langit yang baru dan bumi yang baru,” katanya.

Keterkaitan antara pekerjaan dan iman yang dibuat oleh para teknisi ini bukanlah hal yang mengejutkan bagi David Brenner. Sebagai seorang pensiunan pengacara, Brenner menjabat sebagai ketua dewan direksi AI and Faith. “Keunikan manusia, yang membuat kita berbeda dari binatang, adalah kehendak bebas, baik kita memiliki hak pilih, tujuan, makna hidup… semua pertanyaan mendasar ini dibicarakan oleh para ahli teknologi besar,” kata Brenner, “tetapi tanpa dasar, teori moral, atau nilai-nilai rohani yang mendalam—atau bahkan teori etika yang luas apa pun di luar libertarianisme dan utilitarianisme.”

Ternyata, pertanyaan-pertanyaan yang ditekankan oleh etika AI adalah pertanyaan-pertanyaan yang sudah ditanyakan oleh komunitas-komunitas agama, dengan kosakata rohani untuk menjawabnya. Penyembahan berhala, misalnya, adalah gambaran yang tepat tentang bahaya hubungan antara AI dan manusia. Saat bot-bot AI menanyakan pertanyaan lanjutan seperti “Apakah jawaban saya benar?” (dan menambahkan beberapa emoji untuk mengukur jawabannya), kata Brenner, bot-bot tersebut menggoda kita untuk melihatnya lebih dari yang sebenarnya. “Ini berada dalam kategori tersendiri, hampir seperti mistis: Kita benar-benar ingin meng-antropomorfis-kan keterlibatan kita dengannya.”

Article continues below
Image: Ilustrasi oleh Matthieu Bourel

Dengan kata lain, kita tergoda untuk “menyembah dan mengabdi pada apa yang telah diciptakan Allah dan bukannya pada Sang Pencipta” (Rm. 1:25, GNT)—terlebih lagi karena ciptaan kita yang terbaru ini bukan sekadar kayu dan batu yang “bisu,” melainkan sesuatu yang pandai bercakap-cakap dan dapat “mengajar” (Hab. 2:18–19). Bot yang pandai bercakap-cakap itu tidak pantas menerima penghormatan yang hanya diberikan kepada Tuhan. Namun bot AI ini benar-benar butuh dihargai.

“Jika kita memiliki entitas yang tampak seperti kita, bertindak seperti kita, terlihat sangat mirip dengan kita, tetapi kita mengabaikannya sebagai sesuatu yang tidak perlu kita pedulikan sama sekali, maka hal itu hanya akan merusak rasa kemanusiaan kita,” kata Brenner. “Jika kita melakukan meng-antropomorfisasi-kan segala sesuatu dan kemudian bersikap kejam terhadap hal yang kita antropomorfisasikan, maka hal itu membuat kita menjadi kurang manusiawi.”

Kita sudah mengetahui potensi media sosial untuk mengubah kita menjadi versi diri kita yang lebih kejam. Orang-orang Kristen mendapati diri mereka berada dalam polarisasi algoritma yang mendorong mereka ke titik ekstrem, dan para pendeta kesulitan untuk memuridkan jemaat terkait perilaku daring yang tepat. Namun, di Instagram dan Twitter (sekarang X), komponen sosial tetap ada: Kita belajar sesuatu dari seorang ahli, berbagi meme yang membuat pengguna lain tertawa, atau melihat foto bayi teman. Kita masih berinteraksi dengan orang lain (meski ada bot juga).

Namun dengan ChatGPT, tidak ada komponen sosial. Itulah bahayanya. Saat Anda berbicara dengan bot, Anda sebenarnya sendirian.

Mengasihi sesama kita di era AI bukanlah soal martabat bot. Ini adalah soal martabat kita sendiri, sebagai makhluk yang dapat dibentuk oleh ciptaan kita. Bagi orang Kristen yang meneliti, mengelola perangkat lunak, dan menulis kode, ini adalah soal menciptakan teknologi yang berkontribusi terhadap kemajuan umat manusia.

Tuhan menempatkan umat-Nya yang sehati dengan-Nya dalam industri ini untuk melakukan perubahan nyata, kata Joanna Ng, seorang peneliti AI yang bekerja selama puluhan tahun di IBM.

Sejauh ini, para ahli etika dan praktisi Kristen telah menetapkan prioritas yang lebih luas daripada sekadar memberi saran-saran yang rumit. AI and Faith baru-baru ini mengajukan laporan singkat kepada kelompok kerja AI di Kantor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Gedung Putih, yang memperjuangkan nilai-nilai seperti keandalan dan ketidakberpihakan yang sebagian didasarkan pada keyakinan agama—termasuk nilai-nilai Kristen—tentang kebenaran dan kesetaraan di hadapan Tuhan (Yoh. 4:24; Gal.3:28).

Article continues below

Southern Baptist Convention mengadopsi sebuah resolusi mengenai etika AI yang menyatakan bahwa “martabat manusia harus menjadi pusat dari prinsip-prinsip, pedoman, atau peraturan etika untuk setiap dan semua penggunaan teknologi yang sedang berkembang pesat ini.” Dalam disertasinya tentang “Righteous AI,” Huizinga menentang industri teknologi yang menjadikan AI sebagai “pengganti agama yang bersifat ontologis dan eskatologis.” Pedoman etika sekuler, menurutnya, tidaklah cukup. Untuk menggunakan AI dengan baik, kita memerlukan “kekuatan yang transenden, aturan yang transenden.”

Standar-standar yang diusulkan ini tidak menjawab pertanyaan tentang desain antarmuka, notifikasi langsung, atau penggunaan emoji. Standar tersebut tidak bisa memberi tahu pembuat program Kristen tentang bagaimana bot-bot percakapan harus memberitahu asal-usul informasi mereka, topik diskusi mana yang terlarang, atau seberapa intim percakapan yang boleh dilakukan. Namun, standar-standar itu memberikan landasan bagi para pekerja teknologi Kristen yang membangun AI untuk keperluan medis, peradilan pidana, dan lingkungan hidup, serta bagi mereka yang membuat bot percakapan berupa pengajar, agen layanan pelanggan, dan terapis.

Misalnya profesor ilmu komputer Calvin, Kenneth Arnold, seorang kolega Schuurman. Dia sedang membangun AI pelatih menulis yang tidak hanya mengisi kalimat bagi pengguna, melainkan juga menawarkan saran dan petunjuk di bagian margin. “Saya frustrasi dengan sistem teks prediktif yang selalu mendorong saya untuk menulis dengan cara tertentu,” katanya kepada saya. “Hal yang sangat merugikan adalah, kita tidak tahu apa yang kita lewatkan. Alat-alat ini cenderung menyingkat beberapa pemikiran kita tentang apa yang harus dikatakan dan bagaimana mengatakannya.”

Idealnya, alat Arnold akan membuat kita menjadi penulis yang lebih lambat, bukan yang lebih cepat, dan lebih mementingkan kualitas daripada efisiensi. Mungkin lebih banyak ilmuwan komputer Kristen harus mengikuti jejak Arnold, menciptakan tutor yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan menyelidik daripada memberikan jawaban cepat. Alat-alat ini tidak akan menggantikan pekerjaan kita, tetapi akan memperkayanya sebagai bagian dari mandat Allah untuk bertambah banyak, menaklukkan, dan berkuasa (Kej. 1:28).

Article continues below

Bagaimana lagi agar bot-bot percakapan dapat menjadi lebih “kristiani” dalam desainnya? Para peneliti dan pakar telah menyarankan dengan tepat bahwa AI harus mencerminkan keseluruhan wahyu umum Tuhan. Jaringan neural yang digunakan bot percakapan AI untuk meniru ucapan manusia dan memprediksi pola pikir hanya dapat diandalkan sesuai bahasa yang diberikan kepadanya. Jadi bot-bot percakapan yang menawarkan nasihat tentang diagnosis medis atau teka-teki filosofis akan lebih bijaksana jika mereka memanfaatkan data dari seluruh dunia dan lintas strata sosial ekonomi—tidak hanya dari kelompok elit di Boston atau Seattle.

Sudah ada kemungkinan bagi orang-orang percaya untuk menggunakan alat-alat yang tidak sempurna yang tersedia saat ini untuk pendidikan Kristen dan pelayanan Kristen. Wu, manajer produk di Quora, menggunakan ChatGPT untuk “peningkatan pembelajaran” Kitab Suci, meminta kepada bot untuk memberikan ringkasan pasal yang membantunya menyaring apa yang dia baca. Taylor, sang pendeta, mengenal pendeta lain di Bay Area yang memakai ilustrasi khotbah dari sumber AI dan menulis naskah buletin tentang piknik gereja yang akan datang. Schuurman membuat bot percakapan C.S. Lewis. Anda bisa memintanya untuk merangkum The Screwtape Letters, mendeskripsikan tulisan sang penulis tentang keselamatan, atau bahkan menceritakan kehidupan cintanya.

AI generatif dapat mempercepat penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa yang belum terjangkau, memberi saran untuk pokok doa dan rencana pembelajaran Kitab Suci yang dipersonalisasi, dan bahkan penyajian Injil yang tepat. Namun tentu saja membagikan Kabar Baik saja tidaklah cukup.

“Anda mungkin memperoleh informasi bahwa Yesus inilah mati di kayu salib. … Saya bahkan tidak akan mempertanyakan ketulusan untuk memberikan hidup seseorang kepada Tuhan” berdasarkan jawaban AI, kata Ng. “Namun Anda tidak bisa membangun kehidupan beriman berdasarkan informasi. Anda memerlukan transformasi, pembentukan dari umat Allah dan dari Roh Kudus. Anda tidak bisa menggantinya.”

Tak satu pun dari pelayanan-pelayanan yang menggunakan AI ini, secanggih apa pun, yang mampu menggantikan hubungan. Pelayanan-pelayanan tersebut berharga karena memberikan lebih banyak waktu untuk interaksi analog. Seorang pendeta yang dapat menyelesaikan persiapan khotbah lebih cepat mungkin memiliki lebih banyak waktu untuk bersama dengan anggota jemaat yang sedang berduka. Terjemahan Alkitab yang lebih cepat berarti lebih banyak waktu untuk mengajar orang-orang berdasarkan teks tersebut.

Article continues below

“Sebagai sebuah alat, AI tidak mencapai apa pun secara intrinsik,” kata Sherol Chen, seorang insinyur riset di sebuah perusahaan teknologi besar. “Kita seharusnya tidak mengalihkan panggilan dan tanggung jawab kita pada alat yang kita ciptakan.”

Mengasihi sesama kita tidak bisa diserahkan kepada robot. Hal itu harus datang dari diri kita sendiri. Alih-alih menggantikan relasi kita, jika digunakan dengan benar, AI generatif mungkin akan membuat hubungan tersebut menjadi lebih kuat.

Tentu saja, hal ini juga dapat berakibat yang sebaliknya jika digunakan dengan cara yang salah. AI generatif yang menyamar sebagai orang sungguhan dapat membuat kita lebih rentan ditipu, lebih mudah terpengaruh oleh propaganda politik yang diproduksi secara massal, kurang mampu melakukan kontak mata, dan kurang percaya.

Schuurman ingin bot percakapan kita transparan. “Kita seharusnya tidak melakukan percakapan di telepon dan kemudian baru mengetahui bahwa kita sedang berbicara dengan mesin,” katanya. Sebebas-bebasnya upaya kita untuk membuat model bahasa besar (Large Language Model), kita tetaplah manusia—dan telah jatuh dalam dosa. Tidak mengherankan jika persona yang kita bangun akan “hanya memuntahkan apa yang dikatakan orang” dan cenderung mencerminkan “keberpihakan, kesukuan, dan faksi,” seperti yang dikatakan Shi. “Orang-orang mengira AI akan menyelesaikan semua permasalahan dunia. … Masalah sebenarnya adalah dosa.”

“Masalah sebenarnya” itulah yang membuat Silicon Valley gelisah. Apakah kita bergerak terlalu cepat? Apakah kita tergesa-gesa, serakah, sombong? Apakah kita akan kehilangan kendali atas kecerdasan yang telah kita ciptakan? Haruskah hal ini membuat kita takut? Kita merasa sangat tidak yakin, seperti yang dijelaskan oleh kolumnis New York Times, David Brooks, “bukan hanya tentang ke mana arah umat manusia, melainkan juga tentang apa itu manusia.”

Orang-orang Kristen yang saya ajak bicara tidak mengabaikan ketidakpastian yang radikal ini begitu saja. Sebagian besar orang melihatnya sebagai peluang untuk berinteraksi dengan budaya sekuler yang tiba-tiba bergulat dengan masalah keunikan manusia. “Kita dapat menawarkan harapan bagi mereka yang khawatir akan berakhirnya umat manusia atau berkuasanya robot,” kata Brenner. Kita didukung oleh keyakinan bahwa Yesus akan datang kembali dan bahwa “kita sudah dilibatkan dalam pemulihan. … Siapa yang mengatakan bahwa Tuhan bukanlah pencetus teknologi ini, bahwa teknologi ini bisa menjadi anugerah yang baik?”

Article continues below

Brenner menganggap para transhumanis salah. Kita tidak akan menggunakan AI untuk mengalahkan kematian, dengan mengunggah otak kita ke perangkat keras. “Itu hanya membuang-buang waktu dan tenaga, karena kita yakin yang terbaik masih akan datang,” katanya. Namun, “tentu saja kita ingin membantu orang-orang untuk berkembang di dunia ini.”

Dan AI dapat membantu kita melakukan hal tersebut: meningkatkan diagnosis medis, memperluas peluang pendidikan, mengurangi peperangan, mempertajam pikiran kita, dan memperkuat pelayanan kita.

Lalu mengenai kekhawatiran tentang “berkuasanya robot”? Kemungkinan itu memaksa kita untuk bertanya apa artinya menjadi “pribadi yang berjiwa, jiwa yang berinkarnasi,” kata Brenner. Dia terus kembali ke paradigma hati-jiwa-pikiran-kekuatan yang dipaparkan dalam Markus 12:30. ChatGPT mungkin secara fungsional memiliki pikiran dan hati, mampu bernalar dan mengekspresikan empati; itu bahkan mungkin tertanam di dalam tubuh yang terbuat dari logam atau jaringan sintetis.

Akan tetapi, apakah itu berarti ia akan memiliki jiwa? Belum tentu. Bahkan, kita harus memiliki “anggapan yang dapat dibuktikan bahwa [ChatGPT] tidak akan memiliki jiwa,” kata Brenner, dengan peringatan bahwa Tuhan yang Mahakuasa tentu saja dapat memberikan hak apa pun kepada makhluk mana pun yang Dia kehendaki. “Saya pikir sangat tidak mungkin teknologi ini akan mencapai titik memiliki kepribadian.”

Bagi orang Kristen, mendefinisikan titik kepribadian itu berarti kembali lagi dan lagi kepada penciptaan kita menurut gambar Allah.

“Untuk sekian lama, kita telah diberitahu bahwa yang dimaksud dengan diciptakan menurut gambar Allah adalah akal budi kita, atau kemampuan kita untuk menjalin hubungan. Namun kini kita menemukan semakin banyak mesin yang dapat melakukan banyak hal fungsional ini,” kata Schuurman.

Akan tetapi gambar Allah tidak bisa “dijelaskan atau ditiru” dengan sebuah perangkat. Ini adalah status ontologis yang hanya dapat diberikan oleh Tuhan, dianugerahkan oleh nafas kehidupan yang sama yang menghidupkan tulang-tulang yang kering. Ini misterius, bukan mekanis.

Article continues below

Brooks menyadari misteri bahwa manusia memang berbeda:

Saya mendapati diri saya melekat pada inti terdalam dari keberadaan saya—ranah pikiran yang luas dan sebagian besar tersembunyi, yang daripadanya berbagai emosi muncul, yang daripadanya inspirasi mengalir, yang daripadanya hasrat kita berdenyut—bagian subjektif dari roh manusia yang membuat setiap kita menjadi diri kita sendiri. Saya ingin membangun tembok di sekeliling wilayah suci ini dan berkata: “Inilah hakikat manusia. Hal ini tidak akan pernah bisa direplikasi oleh mesin.”

Mungkin akan sangat membantu jika kita menganggap rekan bot percakapan kita bukan sebagai entitas yang terpisah, melainkan sebagai kekuatan kolektif yang harus diperhitungkan. “Kita tidak sedang berperang melawan darah dan daging; kita sedang melawan penguasa-penguasa dan pemerintah-pemerintah spiritual,” kata Huizinga dengan tegas.

Arnold, profesor Calvin, setuju. “Pemikiran mengenai AI sebagai agen tidak benar-benar sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi di dunia. … AI tidak berusaha menjadi diri sendiri atau orang pertama.” Dengan mempertimbangkan kecerdasan buatan sebagai sebuah “penguasa dan pemerintah”, katanya, memungkinkan kita untuk melihat peluang maupun bahayanya dengan lebih baik, bagaimana kecerdasan buatan dapat membentuk pengalaman kita sehari-hari.

Taylor tidak percaya bahwa Tuhan yang berdaulat akan membiarkan kita dicobai “melampaui kekuatan” kita. Kita tidak akan secara tidak sengaja menjadi Frankenstein yang tidak kita sadari, katanya. Namun sang pendeta itu memahami mengapa kita semua sedikit gelisah. Itulah manusia.

“Fakta bahwa orang-orang takut akan hal-hal yang kita ciptakan sesuai dengan citra kita nantinya akan bangkit dan memberontak melawan kita, bagi saya, itu merupakan sebuah apologetika yang luar biasa atas kebenaran Alkitab,” katanya. “Dari mana kita mendapatkan ide tersebut jika tidak tertanam di alam semesta?”

Bagaimana seharusnya orang Kristen menggunakan ChatGPT dan bot percakapan AI lainnya?”

Saya kembali ke meja kerja saya lagi: Suatu hari di musim panas lainnya, langit biru lainnya, dedaunan pohon lemon yang bergemerisik di luar jendela. Bot yang saya ajak bicara memberikan beberapa prinsip sebagai tanggapannya. Prinsip-prinsip tersebut merupakan hasil penyulingan yang tepat dari apa yang dibagikan oleh para ahli etika, insinyur, pendeta, dan peneliti kepada saya. Contoh-contoh dan bahasa yang sederhana jauh lebih sedikit, namun tetap konkrit.

Article continues below

“Latihlah kebijaksanaan.”

“Ingatlah akan batasannya.”

“Dasari diskusi dengan Alkitab dan doa.”

Terakhir: “Carilah interaksi antarmanusia: Kekristenan menekankan pentingnya komunitas dan persekutuan, jadi prioritaskan hubungan dengan orang Kristen lainnya, carilah bimbingan dari pemimpin rohani yang tepercaya, dan berpartisipasilah dalam diskusi tatap muka.”

Sebagai pembawa citra Allah, kita mencerminkan Pencipta kita saat kita membuat hal-hal seperti ChatGPT. Dan untuk saat ini, bot tersebut tetap mempertahankan citra pembuatnya—yaitu orang-orang yang telah lama melihat pentingnya diskusi tatap muka dan kearifan, yang menghargai komunitas dan persekutuan.

Jika dibuat dengan benar, AI dapat mencerminkan bukan hanya natur keberdosaan kita, melainkan juga sifat-sifat kita yang paling mulia, seperti halnya—ketika kita menjalani kehidupan sebagaimana seharusnya—kita mencerminkan citra dari Pribadi sempurna yang menciptakan kita.

“Terima kasih,” kata saya.

“Sama-sama,” jawab ChatGPT. “Jika Anda memiliki pertanyaan lain, jangan ragu untuk bertanya. Saya siap untuk membantu!”

Saya menutup jendela obrolan dan mengirim beberapa email lagi ke beberapa ahli etika dan insinyur. Saya menyeruput es kopi lagi, yang saya pesan langsung dari kedai di ujung jalan. Setidaknya untuk saat ini, saya masih lebih suka berbicara dengan orang lain.

Kate Lucky adalah editor senior keterlibatan audiens di Christianity Today.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]