Di usianya yang ke-22, Herry Priyonggo merasa telah menemukan panggilan hidupnya. Selama enam tahun terakhir, ia telah membangun reputasi sebagai pelukis spanduk film terbaik di Indonesia pada tahun 60-an dan 70-an, dengan karya seni aktor-aktor terkenal Hollywood dan Hong Kong menghiasi halaman-halaman bioskop di Jakarta dan kota-kota lain. Penghasilannya mampu menghidupi keluarganya.

Namun pada suatu hari yang menentukan masa depannya di tahun 1975, tangan kanannya gagal bekerja sama. Setiap kali dia mengambil kuas, tangannya gemetar tak terkendali. Hal ini membuatnya tidak memungkinkan lagi untuk bekerja.

Priyonggo, yang kini berusia 71 tahun, mengingat saat pergi ke kamar mandi dan bergumul dengan Tuhan. Ia meminta Tuhan menyembuhkan tangannya: “Jika Engkau sungguh Maha Kuasa, pasti mudah sekali untuk menyembuhkan saya. Jika Engkau tidak menyembuhkan saya, saya tidak akan percaya lagi pada-Mu.”

Berjam-jam di kamar mandi yang lembap dan dingin, ia menumpahkan segala keputusasaannya sampai ia menjadi sangat kelelahan dan tertidur.

“Saat saya bangun di pagi hari, tangan saya belum sembuh,” kata Priyonggo. “Saya sangat kecewa, tetapi saya memutuskan untuk tetap beriman kepada [Tuhan].”

Hingga hari ini, meski terus berdoa dan berkonsultasi dengan dokter, Priyonggo belum melihat jawaban Tuhan. Keputusasaan terkadang melanda dirinya. Namun seiring berjalannya waktu, ia menemukan kehidupan memuaskan yang tidak pernah ia bayangkan: berkarir sebagai komposer musik pujian ternama dan pendiri grup musik yang pernah tampil di gereja-gereja di seluruh Indonesia. Di tahun-tahun terakhir ini, Tuhan mengizinkan dia untuk kembali melukis—kali ini, seni Kristen.

“Kerinduan agar tangan saya sembuh masih tinggi, bahkan hingga hari ini,” ujarnya. “Akan tetapi, saya mulai menyadari bahwa Tuhan mempunyai rencana yang jauh lebih baik bagi saya. Ia telah membuka kesempatan lain bagi saya untuk menjadi berkat bagi lebih banyak orang.”

Pelukis poster film

Priyonggo dilahirkan dalam keluarga Kristen beretnis Tionghoa di Bondowoso, Jawa Timur. Dia mulai melukis pada usia 12 tahun. Tak lama kemudian, ia memamerkan karya seninya di kota-kota besar seperti Jakarta. Seorang wakil kepala sekolah di Jakarta melihat lukisannya dan mendesaknya pindah ke Jakarta untuk mengejar karir di bidang seni. Pada usia 14 tahun, Priyonggo pindah ke ibu kota.

Saat itu, Indonesia sudah mulai mengimpor film dari Amerika, Hong Kong, dan India, serta memproduksi film secara nasional. Penduduk setempat berbondong-bondong ke bioskop untuk melihat aktor populer Hollywood, Hong Kong, dan lokal seperti Kirk Douglas, Wang Yu, dan Chen Pei Pei di layar perak. Untuk memasarkan atraksi ini, bioskop-bioskop mengandalkan poster film raksasa yang dilukis dengan tangan.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Seniman yang saat itu berusia 16 tahun, merasa siap dengan tantangan tersebut. Priyonggo pun mendekati produser lokal dan meminta pekerjaan kepadanya.

Namun sulit bagi produser itu untuk menganggap serius remaja tersebut.

“Saya saat itu memakai celana pendek,” kata Priyonggo sambil mengingat pakaiannya, yang dalam budaya masyarakat dianggap kekanak-kanakan. “Dia menyuruh saya untuk terus melanjutkan sekolah dan mendaftar di perguruan tinggi seni… sebelum meminta orderan darinya.”

Tidak terpengaruh, Priyonggo memutuskan untuk menunjukkan keahliannya kepada sang produser. Dia melukis poster berukuran 1,5 meter kali 1,5 meter untuk film Hong Kong The Three Smiles dan membawa lukisan itu kepada pria tersebut. “Dia terperangah dan mulai memberikan pekerjaan melukis kepada saya.”

Dia mulai melakukan pekerjaan barunya saat masih di sekolah menengah. “Saya bangun jam lima pagi untuk membuat sketsa spanduk sebelum berangkat ke sekolah.” Sepulang sekolah, dia mulai melukis, terkadang hingga larut malam. Tak lama kemudian ia pun diberi tanggung jawab untuk membuat poster utama, yang akan diduplikasi oleh para pelukis untuk bioskop-bioskop lainnya.

Priyonggo memakai penghasilannya untuk menghidupi keluarganya. Orang tuanya adalah guru di sebuah sekolah Tionghoa di Bondowoso pada tahun 1960-an, tetapi pada tahun 1965, Indonesia mengalami pergolakan politik dan sosial berdarah yang menyebabkan sentimen anti-Tionghoa dan anti-Komunis yang kuat. Pemerintah yang baru memutuskan hubungan dengan Tiongkok dan memerintahkan penutupan semua sekolah yang berafiliasi dengan Tiongkok.

Baliho film Wang Yu setinggi 17 meter karya Herry Priyonggo.

Baliho film Wang Yu setinggi 17 meter karya Herry Priyonggo.

Ia mendorong orang tua dan saudara-saudaranya untuk pindah ke Jakarta, di mana mereka menyewa rumah. Priyonggo, yang mampu menyelesaikan poster berukuran 3x5 meter dalam dua hari, menjadi pencari nafkah utama. Suatu kali, seorang produser memintanya untuk membuat papan reklame film setinggi 17 meter “di mana mobil dapat lewat di antara kaki Wang Yu, seorang aktor terkenal Hong Kong.” Di lain waktu, dia melukis papan reklame Sean Connery setinggi 15 meter untuk film Goldfinger.

Namun pada usia 22 tahun, kariernya tiba-tiba berakhir karena tangannya mulai gemetar.

Article continues below
Keputusasaan mengarahkan pada pelayanan baru

Gejala yang dialami Priyonggo tidak masuk akal bagi dokter maupun Priyonggo. Keluarga dan teman-temannya pun bertanya-tanya apakah kondisi tersebut disebabkan karena faktor keturunan atau karena paparan cat lukis. Namun para ahli medis mengesampingkan penjelasan tersebut. Hingga saat ini, penyebab pasti dari gemetar di tangannya belum diketahui.

Namun tantangan fisik yang dialaminya berdampak buruk pada kesehatan mentalnya dan membuat Priyonggo terperosok dalam keputusasaan, mengonsumsi obat-obatan berbeda yang diresepkan oleh dokternya dan secara aktif mengharapkan mukjizat. Adiknya, Herlin Pirena, mengenang, “Kadang Herry bahkan berteriak-teriak di kamarnya untuk melepaskan rasa putus asa dan frustasinya.”

Untuk menemukan penghiburan dari rasa sakitnya, Priyonggo kembali pada kecintaannya di musik rohani dan himne. Semasa kecil, ia sudah sering bernyanyi di gereja bersama orang tuanya, kakak laki-lakinya, dan Pirena. “Keluarga kami bernyanyi sekitar dua kali setiap bulan,” kenangnya. “Saya juga sering membantu ayah saya, yang merupakan pemimpin paduan suara, menyiapkan lembar partitur.”

Pada tahun 1978, Priyonggo, yang saat itu berusia 25 tahun, mulai berdamai dengan kondisi tangannya yang gemetar dan setuju untuk memimpin paduan suara pemuda di gerejanya. Hal ini menjadi asal muasal terbentuknya Grup Vokal Yerikho pada tahun 1980 dengan beberapa teman di gereja, termasuk Pirena.

Grup Vokal Yerikho mulai bernyanyi di gereja-gereja dan merilis sebuah album lagu rohani. Sebagian besar lagu-lagunya adalah himne yang diaransemen Priyonggo, termasuk juga sebuah lagu orisinal yang ia ciptakan. Kaset tersebut menyebar di kalangan komunitas Kristen di Indonesia dan mendorong Priyonggo untuk menulis lebih banyak lagu pujian dan penyembahan.

Lagu-lagu Yerikho sering kali berakar pada Mazmur dan bagian lain dari Alkitab serta menyelami perjalanan rohani Priyonggo sendiri, yang penuh dengan cobaan, keputusasaan, pengampunan, dan harapan. Lagu-lagu Priyonggo yang dinyanyikan di gereja-gereja Indonesia saat ini antara lain “Jalan Tuhan”, “Tangan Tuhan”, dan “Mazmur 121.” Priyonggo juga memproduseri beberapa drama musikal, seperti Permata untuk Sang Raja dan Laki-laki Pilihan. Yang terakhir menggambarkan kehidupan Yusuf.

“Saya tidak dapat menghitung berapa banyak lagu yang telah saya buat,” kata Priyonggo. “Pasti ada beberapa ratus. Namun belum sampai ribuan seperti Fanny Crosby.”

Article continues below

Saat ini, Yerikho masih terus melakukan perjalanan pelayanan dan tampil di gereja-gereja, meski para anggota grup vokalnya datang dan pergi. Jauh-jauh hari, berbagai gereja masih meminta mereka pelayanan: Sebuah gereja di Pontianak, Kalimantan Barat, baru-baru ini menghubungi Priyonggo untuk meminta Yerikho tampil di sana pada tahun 2025.

Memerangi peperangan rohani

Meski sukses dalam bidang musik, Priyonggo masih berjuang melawan keputusasaan. Ia menyebutkan bahwa istrinya, Yanti, yang bersamanya ia memiliki tiga anak, memberikan dukungan besar selama masa-masa kelam itu.

Ia ingat pernah mengalami keputusasaan di tahun 2018 setelah dia berhenti minum obat yang membantu mengendalikan gemetar dan kecemasannya. Dia menangis kepada istrinya sambil meratap, “Saya ingin menyerah… Saya tidak tahan lagi.”

Yanti menyodorkan sebuah gitar dan memintanya memainkan lagu-lagu yang Priyonggo tulis beberapa tahun lalu. Kemudian mereka mulai menyanyikan “Sayap Pujian”:

Sayap pujian mengepaklah bawa aku terbang, mengatasi badai dalam hidupku...
Hingga kunikmati bait-Mu, indahnya hadirat-Mu dalam terang kasih-Mu...
Simfoni kemenangan ‘kan s’lalu kunyanyikan. Dalam hidupku,
hanya Engkau Tuhan sumber kekuatan yang kuandalkan.
Tak akan kubiarkan kepedihan menekan ‘Ku mau bermazmur,
s’lalu bersyukur, percaya Kau Tuhan, b’ri kemenangan...

“Kami terus menyanyikan lagu itu,” kenang Yanti. “Dan keajaiban memang terjadi: Herry pulih dari keputusasaannya. Tuhan membebaskan dia melalui lirik lagunya sendiri yang dia buat untuk memuliakan-Nya.”

Melalui masa-masa sulit, pasangan ini belajar untuk mengikuti tuntunan Roh Kudus dengan setia. “Tuhan ingin kita memiliki pengalaman rohani yang mendalam bersama-Nya,” ujarnya. “Yang perlu kita lakukan hanyalah setia. Lakukan saja dengan patuh apa yang Tuhan ingin kita lakukan.”

Putra sulung mereka, Juan Krista Priguna, 34, telah melihat karya Tuhan dalam kehidupan ayahnya. “Tuhan mengizinkan ayah saya menderita gemetar di tangannya untuk menunjukkan kedaulatan-Nya kepada kami, anak-anaknya. Dan, melalui rasa sakit seperti itu, kami justru bisa menyaksikan kebesaran Tuhan.”

Melukis sekali lagi

Pada akhir tahun 2019, Priyonggo menjalani operasi bypass jantung. Usai operasi, tiba-tiba ia sangat rindu untuk melukis lagi. Ia memutuskan bahwa jika tangannya mau bekerja sama, ia ingin mendedikasikan semua lukisannya kepada Tuhan.

Article continues below

Di tengah pandemi COVID-19, pria berusia 68 tahun ini kembali mengangkat kuasnya. Untuk mengendalikan gemetarnya, ia menggunakan tangan kirinya untuk memantapkan tangan kanannya saat melukis di atas kanvas. Ini adalah upaya yang sangat melelahkan, tetapi setelah seminggu, ia berhasil menyelesaikan lukisan pertamanya setelah lebih dari 40 tahun, yang dia beri judul “Gembala yang Baik.”

“Di tengah melukis lukisan tersebut, muncul ide untuk menggambarkan tiga serigala yang hendak melahap si domba—dan bagaimana Yesus harus melawan mereka untuk menyelamatkan domba yang tersesat itu,” kata Priyonggo. Dalam lukisan tersebut, serigala-serigala itu berada di belakang dan Yesus mengalami luka di lengan-Nya dan jubah-Nya pun robek.

Lukisan Gembala yang Baik karya Herry Priyonggo

Lukisan Gembala yang Baik karya Herry Priyonggo

“Saya tidak bisa berkata-kata saat pertama kali melihat lukisan itu,” kata Pdt. Gabriel Goh, yang saat itu melayani sebagai gembala Gereja Kristus Yesus Bumi Serpong Damai di Tangerang Selatan. Ia menerima cetakan ulang lukisan tersebut dari seorang anggota gereja untuk ulang tahunnya, tidak lama setelah lukisan itu selesai dibuat pada tahun 2021.

“Saya telah melihat begitu banyak lukisan Yesus menyelamatkan domba yang tersesat, namun lukisan ini sangat menyentuh hati saya,” kenangnya. “Lukisan ini sungguh mewakili dimensi penebusan yang telah Yesus lakukan bagi kita. Dia sungguh telah membayar harga yang begitu mahal untuk menyelamatkan kita yang berdosa.”

Priyonggo bersyukur Tuhan memberinya kemampuan untuk melukis kembali dan menciptakan lagu baru di tengah segala kelemahannya. “Saya hanya terkesima menyaksikan bagaimana Tuhan memakai jari-jari saya yang payah ini untuk menciptakan lukisan dan lagu.”

Dia sekarang mencoba menikmati ritme hidupnya yang lebih lambat. Sebagai seorang pemuda, ia mampu menyelesaikan sebuah lukisan hanya dalam beberapa hari. Sementara dalam tiga tahun terakhir ini, ia baru menyelesaikan sepuluh lukisan saja.

“Saya sekarang meluangkan lebih banyak waktu untuk mengeksplorasi ide-ide tentang apa yang harus saya lukis atau tulis selanjutnya, yang dapat memuliakan Tuhan.”

Adiknya, Pirena, yang kini menjadi salah satu penyanyi Kristen paling terkenal di Tanah Air, mencatat bahwa kakaknya ibarat kuas rapuh di tangan Tuhan. “Sekarang sulit sekali melukis dengan tangan dia yang gemetaran,” ujarnya. “Oleh karena itu, lukisannya adalah bukti nyata betapa menakjubkannya Tuhan kita.”

Pelaporan tambahan oleh Gouw Liena Winarsih.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

-

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]