Dari semua Ucapan Bahagia, menurut saya “berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi” adalah ucapan yang paling disalahpahami, tidak dipercayai, dan diabaikan. Saya pikir alasannya adalah karena kita tidak memahami manfaat dari kelemahlembutan dan cenderung menganggap bahwa hal itu menunjukkan kelemahan.

Tentu saja, kelemahlembutan tidak sesuai dengan nilai-nilai dunia Yunani-Romawi pada abad pertama, di mana kerendahan hati pada umumnya tidak dipuji sebagai suatu kebajikan. Nietzsche, seorang pengagum berat bangsa Yunani, berpikir bahwa kelemahlembutan adalah jenis kebajikan palsu yang hanya akan dipuji oleh orang-orang lemah, karena ini adalah satu-satunya kebajikan yang dapat mereka lakukan. Karena yang lemah tidak bisa menang berdasarkan aturan standar, maka mereka mengubah aturan tersebut.

Saya rasa sebagian besar kita sangat menganut paham Nietzsche daripada yang kita akui. Setidaknya saya. Ketika saya mendengar kata lemah lembut, kata ini tampak terlalu hambar, terlalu akomodatif, terlalu tidak berdaya untuk menjadi suatu kebajikan.

Namun Kitab Suci memanggil kita untuk bersikap lemah lembut. Selain Ucapan Bahagia, Musa dijadikan teladan sebagai seorang yang paling lemah lembut di dunia (Bil. 12:3); Yesus juga meminta kita untuk belajar dari-Nya karena Dia lemah lembut dan rendah hati (Mat. 11:29); Paulus juga mendorong kita untuk mengenakan kelemahlembutan bagai pakaian (Kol. 3:12). Ini bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan oleh orang Kristen mana pun yang tertarik untuk mengikut Yesus.

Kalau begitu, apakah kelemahlembutan itu? Kelemahlembutan bukanlah kelemahan atau kurangnya keberanian. Yesus bukanlah Pribadi yang mudah menyerah—Ia membalikkan meja-meja di Bait Suci, hadir di kota-kota di mana Ia berhadapan dengan surat-surat perintah yang luar biasa, dan dengan dingin menatap para gubernur dan raja yang mengancam-Nya dengan kematian.

Menurut teolog abad pertengahan, Thomas Aquinas, kelemahlembutan adalah kelembutan hati yang menahan kita dari amarah atau dari mengekspresikan amarah kita dengan mudah. Reformator John Calvin menyebutnya sebagai “watak yang lemah lembut,” yang berarti Anda tidak mudah terprovokasi atau tersinggung. Kelemahlembutan adalah hati yang tidak memaksa atau berusaha membalas dendam atau menuntut imbalan sebisa mungkin dan “siap menanggung apa pun daripada melakukan tindakan serupa terhadap orang yang berbuat jahat.” Ini adalah kerendahan hati di hadapan Allah, yang dilakukan terhadap sesama kita.

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Dalam hal ini, kelemahlembutan sejati menunjukkan kekuatan dan keberanian yang sulit dikerahkan oleh diri kita sendiri—hal ini tidak masuk akal secara duniawi. Jauh di lubuk hati kita, sebagian besar kita setuju dengan Omar Little, tokoh yang menonjol dalam film The Wire di HBO: “Permainannya ada di luar sana, dan itu entah bermain atau dipermainkan.” Kita hidup dalam kegelisahan, siap untuk menyerang balik, saling balas, demi mempertahankan hak-hak kita, berapa pun harganya. Ini adalah eksistensi yang mencemaskan, menjengkelkan, dan menyedihkan. Sebaliknya, berupaya keras untuk bersikap lemah lembut berarti rela kehilangan apa yang bisa Anda pertahankan—kedudukan, kekuasaan, nama baik, atau harta benda (“bumi”) yang menjadi bagian dari kehidupan kita. Kelemahlembutan bergantung pada kepuasan dan pengharapan yang mendalam kepada Tuhan.

Hanya jika kita puas dengan Tuhan saat ini, maka kita akan bersedia mengambil risiko kehilangan harta benda di masa sekarang. Dan hanya jika kita percaya bahwa Tuhan dapat bertindak adil di masa depan, maka kita akan mampu menantikan Dia dengan sabar di masa kini (Mzm. 37:7). Seperti yang dikatakan Agustinus, “Maka Anda akan benar-benar memiliki bumi, jika Anda bersekutu dengan Dia yang menjadikan langit dan bumi.” Kelemahlembutan adalah suatu kebajikan eskatologis.

Dan karena alasan itulah, maka kita perlu menghargai Ucapan Bahagia sebagaimana adanya: berkat-berkat supernatural yang diberikan kepada kita oleh Tuhan yang Maha Pemurah. Kelemahlembutan bukanlah sesuatu yang bisa kita capai dengan kekuatan duniawi kita sendiri. Ini adalah sesuatu yang hanya dapat diberikan oleh Yesus—melalui salib dan kebangkitan, karya-Nya yang pasti dalam kelemahlembutan yang menyelamatkan.

Dalam penderitaan dan kematian-Nya di kayu salib, Yesus adalah Pribadi yang kuat yang, dengan mengerahkan kelemahlembutan-Nya yang heroik, bertahan di bawah serangan orang-orang yang congkak dan sombong serta menanggung dosa para pemfitnah dan penuduh agar dapat menaati Bapa-Nya. Dan justru dalam kelemahlembutan itulah Yesus meraih keselamatan kita.

Di sisi lain kematian-Nya, Ia telah menerima pusaka yang baik berupa kebangkitan. Kebangkitan ini merupakan pembuktian kebenaran-Nya terhadap segala kebohongan para musuh-Nya, dan juga buah sulung dari Ciptaan Baru yang dijanjikan (1Kor. 15:20). Oleh karena itu, semua orang yang memandang kepada-Nya dengan iman dan pengharapan akan mewarisi langit baru dan bumi baru dalam kebangkitan mereka sendiri.

Hanya ketika kita mengetahui kebenaran ini, maka kita dapat memperoleh kekuatan untuk berjalan dalam kelemahlembutan Yesus yang penuh kuasa.

Derek Rishmawy adalah kandidat doktor di Trinity Evangelical Divinity School.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]