Tumbuh besar di kota pesisir Singkawang, Kalimantan Barat, Samuel Junaedi ingat bahwa setiap kali dia sakit, orang tuanya akan mengantarnya ke Rumah Sakit Umum Bethesda, sebuah rumah sakit misi di desa terpencil Serukam. Perjalanan sejauh 48 km bisa memakan waktu lebih dari dua jam karena jalanan yang rusak dan bergelombang.

“Namun ketika kami bertemu dengan Dr. [Wendell] Geary dan timnya… kami merasa seolah-olah separuh dari penyakit kami telah disembuhkan,” kenang pria berusia 61 tahun ini. Di wilayah Pulau Kalimantan di mana para dukun telah lama mewajibkan pembayaran berupa hewan kurban untuk menyembuhkan orang sakit, praktik pengobatan Barat juga dipandang sebagai transaksional. Mereka yang punya uang, koneksi, dan gengsi akan mendapat bantuan, sedangkan yang miskin dan rendahan kurang beruntung.

Namun Bethesda berbeda. Tidak peduli kelas ekonomi, etnis, atau kemampuan membayar pasien, dokter akan menemui mereka. “Mereka melayani kita tidak hanya dengan keahliannya, melainkan juga dengan hati mereka. Ini yang membedakan Bethesda dengan puskesmas lain,” kata Junaedi.

Saat ini, meski ia memiliki pilihan yang lebih dekat, Junaedi masih berkendara lebih dari satu jam untuk sampai ke Bethesda ketika ia atau anggota keluarganya menderita penyakit serius. “Saya lebih suka datang ke Bethesda karena profesionalisme, komunikasi yang baik, dan perhatian penuh kasih yang diperlihatkan oleh para staf di sini,” ujarnya.

Meski mendapat dukungan dari penduduk setempat seperti Junaedi, rumah sakit tersebut mungkin memerlukan mukjizat untuk terus beroperasi. Didirikan oleh Conservative Baptist Foreign Mission Society (CBFMS) sekitar enam dekade lalu, Bethesda pernah menjadi penyelamat bagi masyarakat adat Dayak serta penduduk kota-kota besar di Kalimantan Barat yang mencari layanan kesehatan berkualitas tinggi.

Namun banyak hal telah berubah. Para misionaris terakhir pergi meninggalkan pelayanan di rumah sakit ini pada tahun 2016, dan donasi pun berkurang banyak seiring kepergian mereka. Bethesda juga mengalami kesulitan dalam melakukan transisi dari manajemen asing ke manajemen lokal, terutama karena lokasinya yang terpencil, sehingga menyulitkan perekrutan administrator yang memenuhi syarat. Pembangunan rumah sakit baru dan klinik yang didanai pemerintah di wilayah tersebut juga menyebabkan lebih sedikit pasien yang datang ke rumah Bethesda. Saat ini, dana rumah sakit hampir habis.

Seperti halnya rumah sakit misi di berbagai belahan dunia, Bethesda berada di persimpangan jalan seiring dengan perubahan dunia di sekitarnya. Dewan yayasan, staf, dan masyarakat setempat percaya bahwa rumah sakit Bethesda di Kalimantan Barat masih terus dibutuhkan: Sebuah rumah sakit yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip Kristen, yang memperlakukan pasien secara setara, dan bercahaya bagaikan terang dalam profesi yang sering dikaitkan dengan keserakahan, kata putra Geary, Paul, yang sekarang menjadi dokter dan konsultan organisasi untuk Bethesda.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

“Apakah kami akan bertahan, saya tidak tahu,” katanya. “Kami mungkin harus menutupnya atau beralih ke sesuatu yang sangat kecil. Atau beratnya tekanan dan perdebatan… mungkin akan mendorong kami keluar dari api ini menuju sesuatu yang lebih baik.”

Sebuah legasi di hutan hujan Kalimantan

Pada tahun 1964, misionaris Amerika Wendell Geary, istrinya Marjorie, dan dua putra mereka (termasuk Paul) pertama kali tiba di dusun terpencil Sungai Betung, rumah bagi beberapa ratus orang Dayak penganut animisme, yang tinggal di rumah kayu sederhana, yang dikelilingi oleh hutan hujan yang rimbun. Tugas mereka: menghidupkan kembali klinik darurat yang terbuat dari kayu, tanpa listrik, yang dibangun pada akhir tahun 50-an oleh misionaris bernama John Bremen.

CBFMS, yang sekarang dikenal sebagai WorldVenture, mengambil alih pelayanan tersebut ketika Bremen keluar dan menugaskan dua perawat Amerika untuk bekerja di sana pada tahun 1962. Kedatangan Geary memungkinkan klinik tersebut merawat pasien yang menderita penyakit yang lebih serius, termasuk mereka yang memerlukan pembedahan. Sebagian besar pasien adalah warga Dayak yang tinggal di dusun dan desa yang tersebar di pedalaman Kalimantan dan kota-kota sekitarnya. Masyarakat Melayu dan Tionghoa di daerah itu juga mulai berdatangan ke klinik tersebut.

Wendell dan Margie Geary bersama putra mereka, Wendell Jr. dan Paul.
Image: Atas perkenanan Paul Geary

Wendell dan Margie Geary bersama putra mereka, Wendell Jr. dan Paul.

Dengan tidak adanya klinik medis lain dalam radius 40 km, para pasien pun dengan cepat membanjiri klinik tersebut. Ada yang menderita penyakit ringan seperti iritasi kulit atau demam, ada pula yang datang berobat untuk penyakit yang lebih serius: malaria, pneumonia, TBC, atau luka seperti serangan binatang. Sekitar 50 hingga 100 pasien datang setiap hari ke rumah sakit tersebut.

Untuk memenuhi permintaan yang meningkat, klinik itu pun diperluas dan CBFMS mengirimkan lebih banyak dokter dan perawat asing untuk membantu, termasuk dokter Amerika, Bert dan Beth Ferrell. Marjorie, seorang perawat, merekrut 15 pemuda setempat dan mengajari mereka dasar-dasar keperawatan, termasuk cara menggunakan peralatan medis, merawat pasien, menjaga kebersihan 20 tempat tidur, dan memastikan lampu minyak tanah menyala di malam hari.

Article continues below

Pelatihan keperawatan ini kemudian berkembang menjadi akademi keperawatan di Bethesda, yang menyediakan perawat medis yang terampil dan profesional untuk klinik dan pusat kesehatan lainnya di Indonesia.

Pada akhir tahun 60-an, keluarga Geary dan staf rumah sakit melindungi 300 warga Tionghoa Indonesia di rumah sakit tersebut dan gereja terdekat selama terjadinya gerilya Komunis dan serangkaian serangan antara suku Dayak dan Tionghoa, menurut surat Geary.

Pada tahun 1974, Bethesda pindah ke Serukam, desa tetangga yang ukurannya tidak lebih besar dari Sungai Betung. CBFMS membangun sebuah rumah sakit lengkap dengan 100 tempat tidur, serta pasokan listrik dan air sendiri. Fasilitas yang ada di sana antara lain beberapa rumah sederhana untuk para dokter dan staf serta asrama bagi paramedis. Mereka juga membangun landasan terbang di sebelah rumah sakit di mana tempat pesawat ringan yang dioperasikan oleh Mission Aviation Fellowship dapat mengangkut pasien untuk perawatan darurat.

‘Bahkan tidak disebutkan di peta’

Sejak tahun 1980-an, dokter-dokter Indonesia telah bergabung dalam misi ini dan secara bertahap menggantikan dokter-dokter asing yang semakin dibatasi untuk bekerja di sektor kesehatan oleh pemerintah Indonesia. Pada saat yang sama, Bethesda mulai mengalihkan kepemilikan dari orang asing kepada dewan yayasan yang terdiri dari orang-orang Kristen Indonesia.

Sri Sjamsudewi, dari Sumatra, adalah dokter Indonesia pertama yang bergabung dengan rumah sakit tersebut pada tahun 1982. “Teman-teman saya memarahi saya dan menyebut saya sebagai orang gila ketika saya memutuskan untuk bergabung dengan Bethesda,” kenangnya. “Mereka tidak mengerti mengapa saya ingin bekerja di tempat yang bahkan tidak disebutkan di peta.”

Sjamsudewi akhirnya bekerja di Bethesda selama 31 tahun hingga pindah ke Singkawang pada tahun 2013. Selama berada di Bethesda, imannya kepada Kristus bertumbuh ketika dia melihat Tuhan secara ajaib memenuhi kebutuhannya, baik besar maupun kecil. Ada saat di mana Geary tidak bisa hadir dan dia harus mengoperasi seorang pria dengan organ hati dan paru-paru yang tertusuk tanduk rusa, sebuah prosedur yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Dengan doa di bibirnya, dia segera membersihkan dan mengobati lukanya dan pria itu sembuh.

Pada lain waktu, ketika membantu Geary dalam operasi darurat yang sangat berisiko tinggi, mereka secara ajaib menemukan sebuah tabung yang sama persis dengan aorta perut yang rusak parah yang perlu mereka ganti.

Article continues below

Namun Tuhan juga menjawab doa-doa yang jauh lebih sederhana. Dia ingat bagaimana, tak lama setelah bergabung dengan Bethesda, dia berdoa kepada Tuhan untuk beberapa kebutuhan praktis: termos dan jam alarm. Beberapa hari kemudian, istri salah satu pasiennya memberikan hadiah. Di dalamnya ada sebuah termos dan sebuah jam alarm.

Banyak dokter Indonesia yang mengikuti jejak Sjamsudewi, bergabung dengan Bethesda dan bekerja di bawah bimbingan Geary. Mereka kemudian mengambil spesialisasi di bidang bedah, kebidanan dan ginekologi, radiologi, dan onkologi, dan sekarang bertugas di rumah sakit di seluruh negeri. Geary juga menginspirasi Willy Ken dari sub-suku Dayak Iban untuk menekuni dunia kedokteran. Ia menjadi dokter pertama di komunitasnya dan menjabat sebagai direktur Bethesda di tahun 90an.

Selain perawatan medis, Geary juga membagikan Injil kepada pasien dan berkhotbah di gereja yang ada di rumah sakit tersebut. Pada tahun 2012, Geary dan Marjorie kembali ke Amerika Serikat setelah hampir lima dekade tinggal di Kalimantan Barat. Geary meninggal pada tahun 2019 dan Marjorie awal tahun 2023.

kesulitan keuangan Bethesda

Oleh karena lokasi rumah sakit yang terpencil, Paul sebelumnya berpikir bahwa bagian tersulit dari transisi ini adalah menemukan dokter dan perawat. Namun sebaliknya, mereka merasa semakin sulit untuk mempekerjakan administrator, akuntan, manajer, dan departemen TI rumah sakit. Kurangnya tata kelola yang baik di Bethesda menyebabkan mereka tidak siap menghadapi perubahan kebijakan kesehatan pemerintah, donasi yang menurun tajam, dan berkurangnya jumlah pasien.

Ketika keluarga Geary pergi, sumbangan luar negeri ke rumah sakit tersebut juga ikut pergi bersama mereka, kata Paul. Saat ini donasinya kurang dari 10 persen pendapatan Bethesda. Sekitar tiga perempat pendapatan berasal dari pasien yang memiliki asuransi kesehatan Indonesia, tetapi jumlah pasien yang datang ke Bethesda juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan penerapan sistem asuransi kesehatan Indonesia yang lebih luas, yang mengharuskan pasien mendapatkan rujukan dari klinik tingkat komunitas sebelum mereka dapat menemui dokter spesialis di Bethesda. Pada saat yang sama, beberapa kota besar telah membuka rumah sakit baru.

Dewi Citra Puspita, Direktur Bethesda, mencatat bahwa Bethesda telah menghadapi masalah keuangan yang serius selama bertahun-tahun dan pandemi COVID-19 telah memperburuk masalah tersebut.

Article continues below
Paul dan keluarganya mengunjungi teman-teman lokal
Image: Atas perkenanan Paul Geary

Paul dan keluarganya mengunjungi teman-teman lokal

“Saat COVID-19 melanda provinsi ini, kami memutuskan untuk membuka ruang isolasi untuk merawat pasien yang mengidap virus tersebut,” kata Puspita. “Bangsal dengan 20 tempat tidur hampir selalu penuh selama puncak pandemi karena tidak ada pusat isolasi lain di dekat sini.”

Virus ini menyebar ke dokter dan paramedis rumah sakit, hampir melumpuhkan layanan rumah sakit. Namun meski dengan staf yang terbatas, “kami mampu berkontribusi secara signifikan terhadap pengobatan dan penyembuhan pasien COVID,” katanya.

Oleh karena rumah sakit itu hanya menerima sedikit pasien non-COVID-19 selama pandemi, pendapatan mereka semakin menurun. Namun rumah sakit tersebut mampu tetap beroperasi berkat dana khusus yang dialokasikan pemerintah untuk pusat kesehatan yang merawat pasien COVID-19. Menurut Paul pendanaan tersebut hanya bertahan hingga akhir tahun 2023.

Selain itu, Bethesda kesulitan menemukan dokter penyakit dalam penuh waktu. Saat ini Bethesda hanya memiliki dokter penyakit dalam paruh waktu yang praktik hanya sekali atau dua kali dalam seminggu. Hal ini membatasi layanannya dan mengurangi jumlah pasien yang dapat ditemui. Rata-rata keterisian tempat tidur di Bethesda berkisar kurang dari 20 persen.

Masa Depan Bethesda yang Tidak Pasti

Saat ini, Bethesda berada di persimpangan jalan. Paul mengambil cuti panjang dari praktiknya di Minnesota untuk menghabiskan lebih banyak waktu di Serukam selama masa transisi ini. Dia mengadakan diskusi dan survei informal dengan anggota dewan Bethesda, dokter, paramedis, manajer, dan perwakilan masyarakat setempat untuk mencari tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Ia juga menghubungi perusahaan konsultan di Jawa Barat yang berpengalaman dalam pengembangan dan manajemen rumah sakit.

Hampir semua orang percaya Bethesda harus terus melayani masyarakat, kata Paul. Namun mereka mengakui bahwa hal ini memerlukan reformasi yang signifikan, termasuk peralihan ke model rumah sakit misi yang melayani campuran pasien kelas menengah dan miskin sehingga dapat meningkatkan level gaji dan tetap berkelanjutan. Anggota dewan Bethesda, Francisca Badudu, seorang ahli onkologi di Bandung, Jawa Barat, mencatat bahwa rumah sakit tersebut mungkin perlu dipindahkan ke kota yang lebih padat penduduknya.

“Akan tetapi rumah sakit harus tetap menjunjung visi dan misinya untuk menjadi saksi dari kasih Kristus,” kata Badudu, yang bertugas di Serukam pada tahun 1980an dan menjabat sebagai ketua dewan hingga saat ini.

Article continues below

Untuk menyelesaikan beberapa masalah tata kelola Bethesda, Paul berharap Bethesda dapat membuka kantor di kota yang lebih besar untuk merekrut orang-orang yang sangat terampil untuk mengelola rumah sakit dari jarak jauh. Dia juga mencari orang yang lebih memenuhi syarat untuk bergabung dengan dewan direksi rumah sakit tersebut—pada awalnya, dewan tersebut terdiri dari petani pedesaan atau pendeta yang tidak memiliki pengalaman menjalankan rumah sakit besar. Saat ini sekitar setengah dari dewan direksi memiliki kualifikasi profesional untuk posisi mereka.

Rumah sakit ini juga memperoleh pendukung keuangan yang potensial dari orang-orang yang dilayaninya. Salah satu pengusaha di Jakarta, yang lahir di Kalimantan Barat, mengatakan kepada Paul bahwa dia sangat ingin mendukung jika rumah sakit tersebut memiliki rencana besar di masa depan. Pria itu sudah sering mendengar orang tuanya berbicara penuh kasih tentang pelayanan Bethesda.

Junaedi dan keluarga sangat bersyukur Tuhan mempertemukan Geary dan Marjorie ke hutan Kalimantan Barat.

“Saya tidak mengerti mengapa mereka setuju datang ke tempat terpencil seperti ini,” katanya. “Satu-satunya jawaban di balik semua ini adalah kasih mereka yang tulus dan tanpa pamrih kepada Tuhan.”

“Dan buah dari ketaatan mereka sungguh luar biasa,” katanya. “Tuhan secara ajaib telah memberkati pelayanan mereka melalui Bethesda.”

Pelaporan tambahan oleh Angela Lu Fulton.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]