Hubungan antara “nasionalisme agama” dan xenofobia di Indonesia telah mendapat perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Kami bertanya kepada panel yang terdiri dari enam pemimpin Indonesia—tiga muslim dan tiga kristiani—mengenai apa yang dapat dilakukan komunitas muslim dan kristiani untuk mengatasi perbedaan-perbedaan ini dan mengupayakan kemajuan Indonesia?

Responden Islam:

Halim Mahfudz: Di Indonesia, xenofobia tidak terlalu terkait dengan masalah agama atau etnis, melainkan lebih terkait dengan masalah ekonomi. Hal ini terutama disebabkan oleh kecemburuan ekonomi terhadap kelompok lain akibat model pemerintahan pada masa presiden sebelumnya, yang memperburuk kesenjangan ekonomi. [Diskriminasi terhadap komunitas etnis Tionghoa yang dilakukan oleh pribumi, telah lama terjadi, terutama karena orang Tionghoa di Indonesia memiliki sebagian besar konglomerasi di negara ini.]

Inilah yang kami coba atasi. Di pesantren, kami berupaya membina hubungan dengan berbagai kelompok masyarakat, termasuk warga Tionghoa Indonesia, dan menjembatani kesenjangan komunikasi.

Di Jombang tempat saya tinggal, saya mempunyai banyak teman dari berbagai latar belakang agama, dan hubungan antar agama berjalan lebih lancar. Sekolah kami juga aktif terlibat dalam kegiatan dialog antaragama, tidak hanya di dalam negeri melainkan juga dengan sekolah di negara lain seperti India dan Malaysia. Saya banyak berbicara tentang peningkatan dialog antaragama tanpa bertanya, “Anda menganut agama apa?” Ini bukan soal hal itu lagi, melainkan soal bagaimana kita bisa membangun perdamaian dunia dan meningkatkan kesejahteraan seluruh umat manusia.

Inayah Rohmaniyah: Melalui pendidikan dan peningkatan kesadaran akan sejarah, berpikir kritis dan merangkul perbedaan, tidak perlu takut dengan kehadiran bangsa asing atau agama lain.

Di universitas Islam tempat saya mengajar, saya adalah seorang advokat dialog antaragama. Para biarawati sering datang ke kampus kami, dan saya juga menyambut baik dosen-dosen dari kelompok Protestan dan Katolik untuk mengajar di kampus kami. Saya juga berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia, bertemu dengan guru-guru sekolah yang merupakan agen perubahan dengan menanamkan tradisi dan pengetahuan kepada siswa. Kami tidak menemukan fenomena ketakutan ini.

Meski mereka mungkin curiga terhadap agama lain, namun ketika mereka berkomunikasi dan berinteraksi dengan penganut agama berbeda, rasa takutnya hilang dan tembok pemisah pun runtuh. Bahkan mereka bisa berkolaborasi untuk membuat program bersama antara umat muslim dan non-muslim.

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Ketakutan selalu ada akibat hoaks dan media sosial. Ada perdebatan di dunia akademis Islam di mana sejumlah orang percaya bahwa dunia Barat terus-menerus menilai kita, memandang rendah kita, dan bahkan ingin menghancurkan kita. Namun, di dunia dengan kemajuan teknologi, kita harus terhubung dengan banyak orang dan memupuk keterlibatan antaragama. Kalau tidak, kita akan tertinggal.

Amin Abdullah: Dalam Islam, salah satu tujuan utamanya adalah melindungi agama-agama di dunia, bukan hanya Islam. Ini adalah pesan yang perlu ditekankan dan diperkuat. Tujuan utama lainnya adalah melindungi martabat manusia, yang dapat dikembangkan menjadi hak asasi manusia, termasuk kebebasan beragama.

Ini adalah tugas kolektif yang tidak hanya memerlukan penguatan ideologi agama, namun juga penguatan Pancasila. Pasca era Reformasi, ketika kebebasan berekspresi tidak terkendali sehingga berujung pada meningkatnya paham radikal, Pancasila untuk sementara dihapuskan dari kurikulum sekolah. Baru pada tahun 2003–2004 pendekatan ini diperkenalkan kembali dengan pendekatan yang lebih efektif, khususnya dalam menangani isu-isu toleransi dan diskriminasi agama.

Dalam pemerintahan, penting untuk menerapkan moderasi beragama, dengan menekankan konsep “Jalan Tengah Islam.” Namun program moderasi beragama nampaknya masih fokus pada pengajaran umat muslim tentang agama Islam untuk mencegah tindakan kekerasan, ekstremisme, dan fundamentalisme. Upaya-upaya ini belum memberikan kemajuan yang signifikan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Untuk menjaga keharmonisan kehidupan beragama, dalam tiga tahun terakhir lembaga pemerintah kita [Badan Pembinaan Ideologi Pancasila] telah bekerja sama dengan berbagai masyarakat sipil untuk melatih 6.000 guru agama Islam dan Kristen dalam literasi kehidupan budaya lintas agama.

Responden Kristen:

Tantono Subagyo: Kita melakukan dialog antaragama, namun dampaknya terbatas karena sebagian besar melibatkan akademisi. Pendidikan adalah kuncinya. Misalnya, pendidikan kewarganegaraan mulai dari masa kanak-kanak dan kunjungan ke berbagai tempat ibadah untuk menumbuhkan toleransi adalah beberapa cara untuk mencegah xenofobia. Komunitas Kristen harus berupaya untuk inklusif dan berpartisipasi dalam pendidikan bangsa dengan mendirikan sekolah-sekolah yang terbuka bagi anak-anak dari semua agama, yang mana dapat menumbuhkan toleransi sejak dini.

Umat Kristen juga dapat mengadopsi budaya lokal, seperti yang dicontohkan oleh Gereja Katolik di Yogyakarta, yang memasukkan gamelan [alat musik perkusi tradisional] ke dalam Misa, menyelenggarakan macapatan [menyanyikan puisi tradisional Jawa], dan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa lokal.

Article continues below

Umat Kristen juga dapat mengasihi sesamanya dengan mengikuti panggilan Tuhan untuk menjadi agen perubahan sosial dengan memperjuangkan hak asasi manusia, membantu orang miskin dan tertindas, dan peduli terhadap lingkungan (Mi. 6:8; Yak. 1:27; 2:14– 17).

Ferry Mamahit: Umat kristiani dapat menggunakan media dan platform digital untuk menyebarkan narasi positif tentang keberagaman dan mendidik masyarakat tentang kebebasan beragama. Pentingnya memadukan nilai-nilai kristiani dengan patriotisme dan mengedepankan keselarasan di antara keduanya. Mendorong partisipasi aktif dalam kegiatan nasional, keterlibatan dalam proyek kemanusiaan, dan pelestarian budaya lokal juga dapat memperkaya pengalaman generasi muda dan menumbuhkan rasa cinta tanah air.

Farsijana Adeney Risakotta: Ketegangan antara Islam dan Kristen sudah ada sejak zaman penjajahan. Namun para pendiri bangsa turut berkolaborasi membangun Indonesia dalam konteks realitas keberagaman budaya, suku, dan agama yang menjadi kekuatan dari bangsa kepulauan ini.

Bersama seorang tokoh perempuan muslim terkemuka, saya ikut menulis sebuah bab dalam buku berjudul Kata-kata Bersama antara Muslim dan Kristen yang mendorong penguatan peran perempuan dalam menafsirkan ajaran agama.

Buku ini menggarisbawahi keyakinan bahwa dua agama besar dunia, Islam dan Kristen, harus berkolaborasi untuk mewujudkan perdamaian dan keadilan sosial. Indonesia adalah negara yang memiliki potensi besar bagi upaya akar rumput dan organisasi keagamaan untuk terlibat dalam memposisikan agama sebagai jalan menuju perdamaian, kebaikan, dan kemajuan bagi peradaban dan kelestarian Bumi.

Baca biografi panelis kami di artikel utama seri ini, Mengurai Pancasila: Bagaimana Umat Islam dan Kristen di Indonesia Mengusahakan Persatuan. (Artikel lain dalam seri khusus ini tercantum di sebelah kanan pada desktop atau di bagian bawah pada perangkat seluler.)

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]