Dalam cerita karya C.S. Lewis The Lion, the Witch, and the Wardrobe, negeri Narnia berada di bawah kutukan yang menyatakan “akan selalu ada musim dingin, tetapi tidak akan pernah ada Natal.” Saat kami mendekati bulan Desember di tahun pertama setelah putri kami yang berusia 30 tahun meninggal secara mendadak, saya berharap ini hanya musim dingin dan bukan Natal.

Memandangi ruang kosong di meja makan, saat pembukaan kado, pada kaus kaki Natal yang digantung di dekat perapian adalah hal terakhir yang saya inginkan.

Saat kita telah melewati masa-masa terburuk, menjelang Natal pertama dan Natal-natal berikutnya memiliki kesedihan tersendiri. Namun di sana juga terdapat kesempatan, untuk memahami inti dari makna Natal yang sesungguhnya.

Kami tahu Natal akan menjadi sulit, tentu saja. Perayaan Thanksgiving dimulai dengan baik. Saya berkhotbah di kebaktian gereja kami tentang mengenang, dan kami berkumpul dengan teman-teman pada Hari Thanksgiving untuk makan bersama, seperti yang selalu kami lakukan. Namun kemudian di hari itu, kehampaan karena ketidakhadiran Eva membuat saya terpukul. Rumah kami terasa begitu kosong tanpa dia. Saya menangis dan menangis. Saat itulah saya menyadari bahwa ritual yang silih berganti dari kehidupan kami, seperti liburan, yang kami anggap sebagai “waktu keluarga,” adalah saat kami, yang sedang berduka, menghadapi kepiluan atas kehilangan yang kami alami.

Natal menjadi sulit, tentu saja, karena pada saat itulah kami biasanya berkumpul bersama keluarga. Di rumah ibu saya, tempat kami merayakan Natal selama bertahun-tahun, kami dibesarkan oleh perhatian dia dalam mendekorasi. Sejak saya masih kecil, dia meletakkan patung-patung berukuran enam inci di dalam palungan kayu: Maria, Yusuf, Yesus, malaikat, gembala, dan beberapa binatang. Saya bisa memejamkan mata sekarang dan melihat setiap figur secara detail. Pohon Natal kami selalu dihiasi dengan cara yang sama. Seluruh keluarga besar duduk mengelilingi daging sapi panggang, kentang tumbuk, dan sepanci besar sop jamur di atas meja makan. Kami duduk di tempat yang sama setiap tahun sampai kakek saya meninggal dan kemudian nenek saya. Kami semua sangat merindukan mereka ketika mereka meninggal. Mereka orang-orang yang luar biasa. Kursi-kursi pun ditata ulang, satu generasi dengan sedih digantikan oleh generasi berikutnya. Namun kini kursi kosong milik putri kami yang berusia 30 tahun menjadi sebuah kehampaan yang jauh lebih buruk daripada kekosongan.

Beberapa minggu sebelumnya, istri saya, Ingrid, dan saya mendiskusikan bagaimana kami akan menjalani Natal. Perasaan kami agak berbeda satu sama lain. Dengan bakat Skandinavia-nya, Ingrid selalu senang mendekorasi rumah, dari atas ke bawah, dengan tanaman hijau, lampu, dan patung-patung. Ketika Eva masih kecil, Ingrid mengatur ritual Hari St. Lucia bagi keluarga di mana putri pemilik rumah berpakaian putih, dengan karangan bunga lilin elektrik di kepalanya, mengantarkan manisan yang baru dimasak kepada setiap anggota keluarga. Eva sangat menyukainya. Kenangan itu terpatri dalam ingatan kami.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Inggrid memilih untuk merayakan Natal dengan cara yang kurang lebih sama seperti biasanya. Namun naluri saya ingin berpura-pura Natal tidak terjadi sama sekali. Pada akhirnya kami berkompromi, menjaga segala sesuatunya tetap sederhana. Tidak ada yang mewah di makan malam Natal. Kami saling memberi hadiah selama beberapa hari, bukan tukar kado yang biasa dilakukan sambil duduk di sekitar pohon Natal. Saya memasang beberapa lampu sorot di depan rumah, tetapi tidak lebih.

Kami menjaga agar segala sesuatunya tetap sederhana. Saya ingin segera memasuki bulan Januari secepat mungkin di tahun pertama itu. Saya ingin setiap hari menjadi hari yang biasa saja—entah Selasa, Jumat, atau Minggu—untuk menyelesaikan beberapa tugas. Saya tahu saya bisa bertahan di hari apa pun dalam seminggu.

Jadi kami menjalaninya hari demi hari sampai kami mencapai tahun baru.

Natal selalu menjadi kesempatan yang baik untuk menikmati keindahan kasih Allah yang besar dan merenungkan keajaiban misi penyelamatan Tuhan dalam Yesus. Pada tahun pertama itu, saya tahu bulan Desember akan menjadi tak tertahankan jika setiap hari saya memikirkan semua acara Natal yang pernah diikuti anak-anak kami, atau hadiah kejutan di bawah pohon Natal, atau perjalanan ke rumah Nenek, dan semua hal sentimental lainnya. Sekilas nampaknya baik-baik saja. Hanya saja, saya tidak bisa tetap berada di sana. Terlalu cepat. Terlalu dini. Setahun kemudian, lalu dua tahun kemudian, Natal menjadi tidak terlalu sulit untuk dihadapi.

Kami bisa melewati kesedihan, tetapi tidak dengan berusaha mengubahnya menjadi kebahagiaan. Kesedihan tetaplah harus menjadi kesedihan, dan momen kebahagiaan akan datang dengan sendirinya.

Kita tidak bisa menjalankan tradisi liburan dan mengisi kekosongan orang yang telah tiada. Hal itu akan menjadi permainan pikiran yang akan dengan cepat berubah menjadi sesuatu yang lebih sulit. Melewati kesedihan bukan berarti berusaha membuat diri Anda bahagia. Saya belajar bahwa menjadi bahagia bukanlah tujuan terpenting dalam hidup saya. Meski demikian, saya tetap bisa memperoleh kepuasan. Kedamaian dan harapan jauh lebih baik. Dan kasih yang berkelanjutan. Kasih tidak perlu berhenti. Itu tidak bisa berhenti. Tidak ada kata “Aku menyayangimu juga” yang keluar dari ruang kosong itu. Itulah bagian yang mengerikan. Akan tetapi saya memilih untuk percaya ada cinta yang terbalas yang tidak terdengar di telinga saya namun tetap nyata.

Article continues below

Kita semua bertanya-tanya bagaimana Natal pertama bagi keluarga berduka yang kita kenal. Dari posisi saya sekarang, inilah yang ingin saya katakan: Teruslah menjalin interaksi yang berkualitas dengan mereka. Jangan menganalisis mereka, dan jangan berpikir Anda harus mengeluarkan mereka dari kesedihannya. Pahamilah mereka. Jangan menyamaratakan saat Anda berbicara tentang betapa indahnya Natal dalam bentuk “kebahagiaan” yang gemerlap, lengket seperti permen, dan kado yang mengkilap. Para pemimpin gereja: Tolong pimpinlah kami ke dalam suatu kerinduan akan keajaiban Inkarnasi. Tolong selami lebih dalam lagi. Sambutlah Natal dengan serius. Natal menjadi indah karena kita dapat memusatkan perhatian pada peristiwa yang menggemparkan dunia ketika Allah menjadi manusia, yang memberi kita harapan akan hari yang akan datang saat “maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita.” Dalam hal ini saya merasa sangat terhibur. Dan bersukacita. Kebahagiaan yang tertunda.

Saya tahu bahwa orang-orang yang baru saja kehilangan seseorang yang sangat dekat dengan mereka menganggap Natal sulit untuk dihadapi. Apa yang saya pelajari dari orang lain yang menghadapi Natal yang menyedihkan adalah bahwa kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan untuk melewatinya. Satu keluarga yang saya kenal pergi ke hotel saat Natal selama beberapa tahun. Seorang ibu memberi tahu saya bahwa setelah enam tahun kemudian barulah mereka memasang pohon Natal. Bagi kami tantangannya adalah bahwa Ingrid selalu senang mendekor rumah dari atas ke bawah dengan dekorasi Natal tradisional Swedia. Dia melakukannya untuk anak-anak. Namun kami tahu bahwa semua pemandangan dan aroma itu hanya akan menarik perhatian kami pada kenyataan bahwa Eva sudah tidak bersama kami. Jadi pada bulan Desember pertama itu, Ingrid hanya menyiapkan beberapa dekorasi saja. Kami melakukan menurut naluri kami dan merasa senang ketika kami tiba di bulan Januari.

Article continues below

Pengurangan perayaan Natal memang membawa satu manfaat positif. Hal ini membereskan beberapa kekacauan—yang mencolok, menyibukkan, dan memberatkan—sehingga kami dapat memfokuskan diri secara tepat pada kedatangan Mesias dan janji keselamatan. Saya mendapati diri saya didorong jauh ke dalam misteri Inkarnasi.

Itu semua membuat saya bertanya-tanya tentang tujuan dari semua “hari istimewa” kita. Ulang tahun, Natal, Paskah, dan Thanksgiving—kita semua memiliki ritual masing-masing pada hari-hari tersebut. Beberapa orang membuat lebih banyak hari-hari istimewa daripada orang lain. Ada yang menjalani sepanjang tahun dengan berlari dari satu penanda ke penanda berikutnya, sementara yang lain hampir tidak memperhatikan hari-hari tersebut. Banyak orang merasa berkewajiban untuk melakukan hal-hal tertentu atau pergi ke tempat-tempat tertentu atau membeli hadiah atau mengadakan pesta atau menyalakan lampu di rumah—namun terkadang itu semua hanya sekadar kewajiban, tidak terlalu menyenangkan.

Kata holiday berasal, tentu saja, dari kata “holy day” (hari suci) dalam bahasa Inggris Kuno. Sesuatu yang kudus “dikhususkan” untuk suatu tujuan khusus. Kita mungkin mendapat cuti kerja, memberi kesempatan bagi kita untuk memperoleh sesuatu yang spesial dari hari istimewa itu.

Banyak hal berubah ketika kita berada dalam masa bertahan hidup. Kita mungkin menjadi lebih sadar akan tujuan sebenarnya dari hari raya-hari raya. Kita menjadi sadar bahwa ada anugerah di dalamnya yang lebih dari sekadar nostalgia. Ada baiknya untuk lebih memikirkan peristiwa kelahiran Yesus yang sebenarnya daripada sekadar adegan palungan yang dipajang di atas meja kopi. Terang Natal, yang merupakan terang Kristus, menjadi sangat masuk akal saat kita mengalami malam terkelam dari malam-malam yang paling gelap.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]

A Chronicle of Grief: Finding Life After Traumatic Loss
A Chronicle of Grief: Finding Life After Traumatic Loss
IVP
2020-07-21
168 pp., 16.49
Buy A Chronicle of Grief: Finding Life After Traumatic Loss from Amazon