Sebagai seorang pemuda, saya memiliki hak istimewa untuk menjadi saksi mata kebangkitan gerakan formasi spiritual Kristen.

Gerakan ini dimulai, dalam bentuknya yang modern, pada tahun 1978, ketika Richard Foster menulis apa yang telah menjadi teks standar abadi tentang disiplin rohani, Celebration of Discipline. Dalam beberapa tahun setelah buku ini diterbitkan, orang-orang Kristen yang belum pernah mendengar tentang menyendiri, hening, atau meditasi, mulai mempraktikkan disiplin-disiplin ini.

Banyak hal baik yang terjadi, tetapi Richard melihat bahwa banyak orang Kristen mempraktikkan disiplin-disiplin ini secara terpisah dan membutuhkan lebih banyak bimbingan. Oleh karena itu pada tahun 1988, dia meminta Dallas Willard, saya, dan beberapa orang lainnya untuk bergabung dengannya dalam membentuk sebuah pelayanan formasi spiritual yang disebut Renovaré (bahasa Latin untuk “memperbaharui”).

Dallas, yang menjabat sebagai profesor filsafat di University of Southern California selama 40 tahun, merupakan salah satu perintis terpenting dalam gerakan formasi spiritual di kalangan Injili dan Protestan arus utama. Dia berteman dekat dengan Richard; bahkan, Dallas-lah yang pertama kali mengajari Richard tentang disiplin rohani, yang tentu saja bukanlah hal baru tetapi berakar pada pengajaran gereja kuno.

Pada masa-masa awal, kami mengalami banyak perlawanan. Beberapa orang Injili yakin bahwa ajaran kami tentang formasi spiritual adalah berbahaya dan merupakan pekerjaan Iblis. Orang-orang berkumpul di luar konferensi kecil yang kami adakan, sambil memegang spanduk dengan pesan seperti “Bidat Zaman Baru: Waspadalah.” Namun gerakan ini terus berkembang.

Selama bertahun-tahun persahabatan mereka, Richard mendorong Dallas untuk menulis tentang formasi spiritual Kristen, dan Dallas akhirnya menulis banyak buku yang berpengaruh, di antaranya adalah The Spirit of the Disciplines; Renovation of the Heart; dan karya besarnya, The Divine Conspiracy.

Banyak orang lain bergabung dalam upaya serupa. Tulisan-tulisan Eugene Peterson menjadi buku terlaris. Buku-buku karya tokoh kontemplatif Katolik seperti Thomas Merton dan Henri Nouwen dibawa-bawa oleh orang-orang Presbiterian dan Metodis—dan bahkan beberapa orang Baptis. James Houston memberikan landasan akademis dari basisnya di Regent College. Pada tahun 1992, Dallas mulai mengajar mata kuliah yang paling populer dalam program doktor ministri di Fuller Theological Seminary, yang disebut Spiritualitas dan Pelayanan. Bahkan, mata kuliah ini menjadi sangat populer sehingga Fuller mempekerjakan saya untuk melayani sebagai asisten Dallas—yang saya lakukan selama hampir satu dekade.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Pada tahun 2005, kami mengadakan Konferensi Internasional Renovaré di Denver yang dihadiri lebih dari 2.500 orang. Ketika saya berjalan ke auditorium, saya merasa takjub. Saya menoleh ke Richard dan berkata, “Sesuatu telah berubah. Kita telah berubah dari yang tadinya tidak dikenal kemudian menjadi populer dalam waktu kurang dari 20 tahun."

Memang benar. Sesuatu telah berubah. Tak lama kemudian, semakin banyak rohaniwan dan jemaat yang membaca buku-buku tentang formasi spiritual. Pelayanan formasi spiritual lainnya pun mulai didirikan. Para penerbit Kristen juga membuat seri buku dan cetakan khusus yang berfokus pada formasi spiritual. Perguruan tinggi dan seminari mulai menawarkan program pascasarjana tentang formasi spiritual.

Saya memerhatikan bahwa bahkan jabatan-jabatan pastoral pun mulai berubah; alih-alih “pendeta pendidikan Kristen” atau bahkan “pendeta pemuridan”, semakin banyak peran “pendeta formasi spiritual” di gereja.

Namun secara pribadi, saya melihat sesuatu yang lain selama beberapa dekade tersebut: Dallas menyuarakan keprihatinan yang serius tentang masa depan gerakan itu.

Ketakutan-ketakutan Profetik

Selama bertahun-tahun hingga Dallas meninggal pada tahun 2013, saya melakukan beberapa percakapan dengannya tentang kebangkitan gerakan formasi spiritual. Dallas memberi tahu saya bahwa ia senang orang-orang tertarik pada formasi spiritual dan itu adalah tanda kelaparan yang mendalam serta kebutuhan yang sangat besar dalam gereja.

Namun ia khawatir bahwa fokusnya akan tertuju pada praktik disiplin rohani itu sendiri dan bukan pada apa yang seharusnya dilakukan. Dallas merasa hal ini secara alami akan luntur menjadi sebuah fokus pada teknik dari latihan-latihan rohani tersebut—pada bagaimana dan bukan pada mengapa.

Dallas juga khawatir bahwa gereja hanya berminat terhadap formasi spiritual sebagai alat pertumbuhan gereja—dan bahwa, karena kemungkinan besar hal ini tidak akan menghasilkan pertumbuhan secara jumlah, para pemimpin kemudian akan menempatkan formasi spiritual menjadi sekadar salah satu dari banyak departemen di dalam gereja, daripada melihatnya sebagai pusat dari misi mereka.

Akhirnya, ia khawatir bahwa demi memvalidasi pelayanan ini dan memastikan keberlangsungannya, semakin banyaknya jumlah pelayanan formasi spiritual akan melahirkan persaingan satu sama lain, alih-alih bekerja sama.

Article continues below

Saya telah merenungkan keprihatinan ini selama hampir satu dekade, dan saya percaya bahwa apa yang dikhawatirkan Dallas bersifat profetik. Saat ini, ada penekanan yang kuat untuk mempraktikkan disiplin-disiplin rohani tersebut secara terpisah. Hampir setiap minggu saya menerima sebuah buku baru tentang formasi spiritualitas Kristen, dan hampir semuanya tentang praktik tertentu, seperti memperlambat, menyendiri, berpuasa dari teknologi, menggunakan Enneagram, jurnal syukur, atau membuat aturan hidup. Buku-buku tersebut memberi perhatian besar pada bagaimana metode tertentu dilakukan, sambil memperjuangkan manfaatnya yang nyata, tetapi buku-buku itu lalai dalam membantu pembaca agar benar-benar memahami atau menumbuhkan mengapa dengan lebih mendalam.

Saya memang sering melihat gereja-gereja berjuang untuk mengintegrasikan formasi spiritual ke dalam kehidupan jemaat. Meskipun banyak gereja memiliki departemen formasi spiritual dan pemuridan, mereka cenderung berfokus pada program, acara, atau komisi-komisi di dalam gereja mereka, daripada memandang formasi spiritual sebagai aspek yang diharapkan dari menjadi seorang Kristen bagi semua orang.

Saya pun telah melihat—dan mengalami sendiri—semangat persaingan di antara para pemimpin formasi spiritual dan organisasi yang pernah Dallas peringatkan. Jarang sekali saya melihat jenis kerja sama yang menurut Dallas diperlukan.

Dalam salah satu percakapan terakhir kami, saya bertanya kepada Dallas apa yang akan dipertaruhkan jika ketakutannya menjadi kenyataan. Jawabannya: “Kurangnya transformasi untuk menjadi semakin serupa dengan Kristus.”

Inilah inti permasalahannya: formasi spiritualitas Kristen harus benar-benar tentang formasi—tentang menjadi serupa dengan Kristus (2Kor. 3:18; Gal. 4:19). Pada akhirnya, pertanyaannya bukan tentang disiplin atau program atau teknik. Pertanyaannya adalah: Apakah orang-orang menjadi lebih serupa dengan Kristus? Itulah ketakutan terdalam Dallas.

Ketakutan #1: Teknik tanpa transformasi

Karena Dallas telah tiada, saya baru-baru ini melakukan “tur mendengarkan” dan berbicara dengan beberapa rekan dan anggota keluarga terdekatnya tentang apa yang mungkin dikatakan Dallas hari ini mengenai telah berkembang sampai di mana gerakan formasi ini dan ke mana arahnya. Saya berbicara dengan Richard Foster; John Ortberg; Steve Porter; Keith Matthews; istri Dallas, Jane Willard; dan putrinya, Becky Willard Heatley. Percakapan tersebut sangat mencerahkan dan membesarkan hati, tetapi bukan berarti tanpa rasa kehati-hatian dan keprihatinan.

Article continues below

Untuk memahami ketakutan Dallas, akan sangat membantu jika kita memahami model formasi spiritual Dallas, yang bertujuan untuk apa yang ia sebut sebagai mengenakan “pikiran Kristus.” Dalam pandangan Dallas, hal ini berarti mengadopsi narasi-narasi Yesus tentang isu-isu kunci seperti karakter Allah Bapa, sifat pribadi manusia sebagai jiwa yang terwujud, dan realitas kerajaan Allah saat ini.

Dallas mengajarkan bahwa disiplin rohani seperti berdoa, menyendiri, dan menghafal Kitab Suci hanyalah salah satu bagian dari proses formasi spiritual. Bagian kedua adalah karya Roh Kudus, dan yang ketiga adalah belajar bagaimana melihat pencobaan dan peristiwa kehidupan dalam terang kehadiran dan kuasa Allah.

Salah satu ketakutan Dallas—sesuatu yang pada dasarnya telah ia prediksi—adalah bahwa ketertarikan pada praktik disiplin rohani, meskipun penting, akan menutupi dua bagian lainnya. Bagaimana ia mengetahui hal ini? Karena praktik disiplin rohani, meskipun menantang, secara alami memiliki hasil yang langsung terasa. Mengukur pertumbuhan rohani itu sendiri adalah hal yang sulit; namun mengetahui apakah seseorang telah menyelesaikan suatu praktik devosional itu persoalan yang mudah. Jika saya menghabiskan lima menit untuk berdoa atau 15 menit untuk membaca buku renungan, saya akan merasa seolah-olah saya telah melakukan sesuatu yang “spiritual.” Tindakan-tindakan ini memang sangat mungkin mengarah pada rasa keterhubungan dengan Tuhan.

Image: Ilustrasi oleh Xiao Hua Yang


Akan tetapi hal-hal itu juga dapat merupakan tindakan legalisme, yang merupakan kegagalan orang-orang Farisi yang berpuasa, bersedekah, dan berdoa agar “dilihat” orang (Mat. 6). Legalisme adalah suatu tindakan untuk mendapatkan upah—misalnya dengan berpikir saya berpuasa minggu ini, jadi saya mengharapkan berkat dari Tuhan. Jika saya percaya bahwa Tuhan memberi hukuman dan berkat berdasarkan praktik keagamaan saya, maka saya akan segera mengubah disiplin rohani menjadi legalisme.

Beberapa tahun yang lalu, seorang wanita di gereja saya merasa bahwa dia harus memiliki “saat teduh” setiap hari (yang mencakup membaca renungan pilihan dari buku renungan hariannya) agar Tuhan memberkati hidupnya. Ia berpikir bahwa jika dia melakukan saat teduh yang lebih lama, dia akan mendapat lebih banyak berkat. Pada satu titik, dia sampai membaca tujuh buku renungan selama waktu doanya. Saya menjelaskan kepadanya bahwa disiplin rohani hanya mengerjakan satu dari dua hal: menghubungkan kita dengan Tuhan atau membantu mematahkan kuasa dosa. Ketika dia mengetahui hal ini, pendekatannya terhadap disiplin-disiplin rohani tersebut pun berubah secara substansial.

Article continues below

Becky Willard Heatley berbicara dengan saya tentang keprihatinan ayahnya bahwa disiplin-disiplin rohani akan “ditinggikan dan dipisahkan” dari transformasi lainnya. “Ia percaya ini akan berbahaya,” katanya, karena disiplin-disiplin rohani itu kemudian menjadi suatu bentuk penyembahan berhala—di mana cara menjadi tujuan. Kita menjadi lebih fokus pada disiplin-disiplin rohani tersebut daripada kepada Tuhan, mematahkan cengkeraman dosa, atau merawat jiwa kita.

Steve Porter, seorang profesor di Biola University yang mengedit Journal of Spiritual Formation and Soul Care dan dekat dengan Dallas, percaya bahwa ketakutan Dallas tentang meninggikan dan memisahkan disiplin-disiplin rohani tersebut adalah karena hal itu akan mengabaikan alasan historis, alkitabiah, teologis, dan antropologis di balik disiplin-disiplin rohani tersebut.

Saya sendiri telah mengalami hal ini. Saya diundang untuk berbicara di sebuah gereja Injili yang besar tentang formasi spiritual. Yang mengundang saya adalah pendeta wanita bidang formasi spiritual, yang bersemangat untuk menunjukkan kepada saya apa yang telah dia lakukan dalam peran ini dan meminta nasihat untuk membantu jemaatnya agar bertumbuh secara rohani.

Ia juga sangat ingin menunjukkan kepada saya hasil dari proyek yang dikerjakannya selama setahun: sebuah labirin di luar ruangan. Saya terkejut, bahkan sedikit terhenyak. Ini adalah sebuah gereja Injili, dan labirin sering kali menjadi subjek yang diamati secara kritis di banyak kalangan Injili. Namun, labirin itu ada di sini, besar dan ditata dengan indah. Ia mengatakan kepada saya bahwa labirin ini sangat disukai banyak orang di gereja.

Saya mengajukan beberapa pertanyaan. Mengapa dia merasa terpanggil untuk membuat labirin ini? Dia berkata bahwa pengalamannya di labirin telah menuntunnya pada suatu terobosan dalam keyakinannya sendiri dan dia ingin orang lain mengalaminya juga. Dia mengatakan kepada saya bahwa dia merasakan kedamaian batin yang mendalam ketika dia berjalan di labirin.

Apakah dia mengajarkan sejarah Kristen tentang labirin dan tujuannya kepada para peserta? Dia menjawab bahwa dia telah membuat pamflet yang mengajarkan para peserta cara menggunakan labirin.

Article continues below

Apa yang dia harapkan dari hal tersebut? Dia menjelaskan bahwa dia mencoba untuk menunjukkan betapa pentingnya formasi spiritual di gereja lokal. Dia merasa bahwa jika labirin tersebut menjadi populer, maka hal itu akan “memvalidasi” pelayanannya di gereja.

Saat saya mempertimbangkan contoh ini dalam kaitannya dengan keprihatinan Dallas, persoalan yang lebih mendalam bukanlah tentang apakah labirin merupakan praktik yang ortodoks, atau apakah hal itu memupuk rasa kedamaian batiniah atau tentang bagaimana melakukannya dengan benar, atau tentang memvalidasi pelayanan formasi spiritual seorang pendeta.

Terlepas dari penekanan dalam banyak buku terkini tentang disiplin rohani, praktik-praktik ini tidak dimaksudkan untuk mengurangi stres, mengatur rutinitas harian seseorang, memahami kepribadian seseorang dengan lebih baik, memiliki “pengalaman spiritual,” atau memperoleh sejumlah manfaat tambahan lainnya yang sering dihasilkan dari disiplin rohani tersebut. Semua ini merupakan hal yang sekunder dibandingkan dengan tujuan untuk menjadi semakin serupa Kristus.

Banyak dari kita telah membiarkan disiplin rohani menjadi suatu bentuk penyembahan berhala, yang terpisah dari pemahaman historis, alkitabiah, teologis, dan antropologis. Banyak dari kita secara tidak sengaja berasumsi bahwa praktik-praktik ini akan mengubah kita. Akan tetapi praktik itu sendiri tidak berdaya tanpa Tuhan.

Kita harus berhati-hati agar tidak membiarkan disiplin rohani tersebut menutupi alasan utama untuk mempraktikkannya: untuk memperdalam hubungan kita dengan Tuhan dan menciptakan ruang bagi kasih karunia Allah agar bekerja dalam hidup kita.

Ketakutan #2: ABC tanpa D

Ketakutan lain yang disuarakan Dallas adalah berkaitan dengan gereja. Ia adalah seseorang yang sangat mendukung gereja lokal. Ia percaya bahwa salah satu peran utama gereja adalah untuk menciptakan murid-murid seperti yang diamanatkan Kristus dalam Amanat Agung (Mat. 28:16–20). Premis inti dari bukunya yang berjudul The Great Omission adalah bahwa banyak gereja kita mengabaikan inti dari Amanat Agung itu: untuk “menjadikan murid,” yang pada gilirannya berarti “mengajarkan mereka menaati segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.”

Dallas percaya bahwa penekanan di banyak gereja Injili adalah pada persoalan “menjadikan orang Kristen,” dan bukannya memuridkan. Ide-ide ini seharusnya identik, tetapi ternyata tidak. Dallas sering berkomentar bahwa saat ini seseorang dapat menjadi seorang Kristen (berdasarkan pengakuan iman) tanpa menjadi—atau bahkan berniat menjadi—seorang murid. Dengan kata lain, seseorang dapat merasa yakin bahwa ia adalah seorang Kristen karena menyetujui sebuah doktrin (seperti “Yesus bangkit dari kematian”) tanpa berniat melakukan apa yang Yesus katakan untuk kita lakukan (seperti “Berkatilah mereka yang mengutukmu,” “Kasihilah musuhmu,” dan seterusnya).

Article continues below

Fenomena ini, menurut Dallas, berakar pada sesuatu yang lebih mendalam: ukuran yang cenderung kita gunakan untuk mengukur kesuksesan gereja. Dallas menyebut ukuran-ukuran umum ini sebagai “ABC”—attendance (kehadiran), building (bangunan), dan cash (uang). Sebagai contoh, jika kita melihat sebuah gereja dengan 75 orang yang bertemu di sebuah gedung tua dan hanya memiliki sedikit uang untuk membiayai staf atau pelayanan, kita mungkin berasumsi bahwa jemaat itu, seperti yang sering dikatakan Richard Foster, adalah “sebuah kegagalan kecil di papan skor gerejawi.” Sebaliknya, jika kita melihat sebuah gereja yang memiliki 5.000 jemaat setiap minggu, sebuah kampus yang sangat besar, sehingga jemaatnya harus diantar dengan mobil golf, dan uang untuk mendanai pelayanan yang tak terhitung jumlahnya, kita mungkin berasumsi bahwa gereja ini benar-benar sukses besar.

Namun Dallas sangat percaya bahwa “kesuksesan” gereja (jika Anda menyebutnya demikian) seharusnya tidak diukur dengan ABC, tetapi dengan D—discipleship (pemuridan). Dallas menunjukkan bahwa Yesus tidak tertarik untuk membuat gereja yang lebih besar, melainkan membuat “orang Kristen yang lebih besar.” Dalam hal ini, sebuah gereja yang beranggotakan 75 orang yang bertumbuh dalam keserupaan dengan Kristus bisa menjadi jauh lebih sukses daripada gereja yang beranggotakan 5.000 orang yang tidak terlibat dalam memuridkan para anggota jemaatnya.

Dalam pandangan Dallas, formasi spiritual tidak boleh direndahkan menjadi suatu program atau retret; sebaliknya, formasi spiritual sangatlah penting bagi kehidupan bersama jemaat kita.

Dalam gereja-gereja yang mengabaikan pemuridan, anggota jemaat yang benar-benar beralih ke dalam kehidupan iman yang lebih dewasa sering kali menjadi terasing. Hal ini pada dasarnya merupakan temuan dari sebuah penelitian di tahun 2007 yang banyak dibahas oleh Willow Creek Community Church. Penekanan gereja besar ini adalah untuk mengubah para simpatisan menjadi anggota jemaat, dan itu berhasil. Namun ketika beberapa dari mereka mulai mengalami pertumbuhan yang berarti dalam kehidupan rohani, mereka merasa tidak ada tempat lagi bagi mereka.

Article continues below

Mereka yang mendambakan kehidupan yang lebih mendalam menemukan tempat berlindung dalam pelayanan formasi spiritual di luar gereja: Ruth Haley Barton’s Transforming Center, the Renovaré Institute, the School of Kingdom Living, atau the Apprentice Institute. Pelayanan-pelayanan semacam ini menjadi komunitas standar bagi banyak orang yang tidak dapat menemukan keterlibatan yang bermakna dengan formasi spiritual di gereja lokal mereka.

Keith Matthews, seorang profesor seminari di Azusa Pacific University yang bekerja sama erat dengan Dallas daripada siapa pun yang saya kenal, memberi tahu saya, “Dallas sudah meramalkan bahwa untuk menciptakan sebuah komunitas iman yang dapat mendukung transformasi yang nyata, hal ini akan menjadi sebuah tantangan. Ia melihat bahwa bagi kebanyakan orang, transformasi masih merupakan upaya individu. Tanpa komunitas, pertumbuhan yang berkelanjutan akan sangat sulit.”

Sejak awal pelayanan kami dengan Renovaré, kami sering melihat orang-orang bertumbuh dalam kehidupan rohani mereka hanya untuk mendapati bahwa gereja mereka sendiri tidak menyukai, bahkan memusuhi, usaha mereka. Sepasang suami istri yang mengikuti setiap pelayanan yang ditawarkan Renovaré dan telah mengalami transformasi yang nyata secara pribadi, pergi ke gereja lokal mereka di Texas dengan harapan dapat membagikan metode pemuridan ini kepada orang lain. Namun pendeta seniornya memberi tahu mereka bahwa mereka dapat memimpin kelompok kecil, tetapi dia tidak akan mendukungnya. Hal ini berlangsung selama satu dekade. Kemudian, ketika pendeta senior itu sendiri akhirnya mengikuti program formasi spiritual, dia diyakinkan bahwa hal itu penting. Dia pun mendorong seluruh jemaat gereja untuk terlibat.

Salah satu kendala dalam menekankan formasi spiritual di seluruh jemaat adalah bahwa hal itu sering kali tidak mengarah pada pertumbuhan secara jumlah. Dallas tahu bahwa jika seorang pendeta berfokus pada pemuridan semacam ini dalam kehidupan jemaat, hal itu dapat menyebabkan penurunan kehadiran—yang disebut Dallas sebagai “penurunan yang kudus.” Pemuridan dan formasi spiritual adalah proses yang lambat dan sulit—sebuah tantangan di dunia yang lebih menyukai sesuatu yang cepat dan mudah.

Article continues below

“Tidaklah adil untuk mengatakan bahwa para pendeta menolak upaya-upaya formasi spiritual karena upaya tersebut tidak secara langsung menumbuhkan jumlah jemaat,” kata John Ortberg kepada saya. “Mereka mengabaikannya begitu saja karena mereka percaya hal itu akan menjauhkan mereka dari hal-hal yang akan meningkatkan jumlah kehadiran jemaat mereka.”

Meskipun banyak gereja sekarang mungkin mempekerjakan seorang “pendeta formasi spiritual,” banyak dari mereka yang hanya menerima sedikit pelatihan dalam formasi spiritual itu dan landasan sejarah serta teologisnya. Pada gereja yang membangun labirin itu, misalnya, saya bertanya kepada pendeta formasi spiritual di mana dia memperoleh pelatihannya. Dia menjelaskan bahwa dia tidak memiliki pelatihan formal, tetapi formasi spiritual adalah “passion”-nya dan oleh karena itu pendeta senior menunjuknya untuk peran ini.

Tujuan saya bukan untuk mengkritik pendeta ini atau orang lain karena kurangnya pelatihan. Akan tetapi para pendeta yang bermaksud baik namun tidak memiliki pemahaman teologis, historis, dan antropologis yang lebih luas tentang formasi spiritual, seperti yang dicatat oleh Steve Porter, bisa jadi akan mewujudkan ketakutan Dallas yang pertama: fokus pada disiplin rohani dengan mengesampingkan pendekatan yang lebih holistik untuk transformasi.

Dalam Renovation of the Heart, Dallas menulis, “Saya jarang sekali bertemu seseorang yang berada dalam posisi kepemimpinan di antara umat Kristus yang tidak melakukan yang terbaik untuk melayani Kristus dengan cara terbaik yang dia tahu—biasanya dengan pengorbanan, dan sering kali dengan dampak yang sangat yang baik. Namun kita perlu memahami bagaimana kita bisa melakukannya dengan lebih baik lagi.”

Ketakutan #3: Persaingan di atas kerja sama

Keprihatinan Dallas yang terakhir adalah mengenai banyaknya pelayanan formasi spiritual yang muncul seiring dengan pertumbuhan gerakan ini. Pada satu sisi, ia sangat senang melihat semakin banyak orang mendirikan pusat retret, program, institut, dan pelatihan akademik dan non-akademik. Namun di sisi lain, Dallas sangat menyadari adanya potensi masalah: ia takut para pemimpin pelayanan akan memandang orang lain sebagai pesaing dan tidak mau bekerja sama satu sama lain.

Saya sendiri telah mengalaminya. Pada tahun 2009, saya menawarkan sebuah program baru yang saya buat untuk menjadi bagian dari keseluruhan pelayanan di Renovaré. Namun Richard dan yang lainnya merasa sudah waktunya bagi saya untuk "meninggalkan sarang" dan membangun program yang terpisah. Jadi kami mendirikan Apprentice Institute for Christian Spiritual Formation di Friends University pada akhir tahun itu.

Article continues below

Hampir seketika, saya merasa bahwa setiap program yang kami kembangkan dan sumber daya yang kami ciptakan merupakan ancaman bagi pelayanan formasi spiritual lainnya. Saya tergoda untuk melihat organisasi-organisasi lain atau pemimpin mereka sebagai saingan. Saya membagikan keprihatinan saya dengan Dallas, dan dia memberi tahu saya bahwa ini adalah ketakutan yang dia miliki tentang gerakan tersebut: “Kebutuhannya sangat besar sehingga, bahkan sekalipun kita bersatu, kita akan kesulitan untuk memberi dampak.”

Fenomena ini bukanlah hal yang baru. Persaingan sudah umum terjadi di dalam gereja sejak zaman para rasul—aku dari golongan Paulus, aku dari golongan Petrus, aku dari golongan Apolos (1Kor. 1:12; 3:4). Dallas tahu bahwa hal ini terutama benar terjadi tidak hanya di dalam tetapi juga di antara gereja.

Saya pernah mengundang Dallas untuk berbicara di hadapan sekelompok pendeta. Lalu dia memberikan sebuah kalimat untuk dilengkapi: “Pekerjaan yang terpenting dari seorang pendeta adalah...” Kemudian ia berhenti bicara dan kami semua agak membungkuk ke depan, ingin sekali mendengar jawabannya. Dia melanjutkan: “Pekerjaan yang terpenting dari seorang pendeta adalah berdoa untuk keberhasilan gereja-gereja di wilayah mereka.”

Ini bukanlah jawaban yang kami harapkan. Saya pikir ia akan mengatakan sesuatu seperti, “Pekerjaan yang terpenting dari seorang pendeta adalah menghafal dan merenungkan Alkitab,” atau “memiliki Sabat yang teratur.”

Akan tetapi Dallas menjelaskan bahwa jika para pendeta dapat berdoa dengan tulus untuk keberhasilan gereja-gereja di wilayah mereka—yaitu gereja-gereja yang secara alami dapat dilihat sebagai pesaing—maka hati para pendeta tersebut akan benar-benar selaras dengan kerajaan Allah. “Bagaimanapun juga,” katanya, “kita semua berada dalam satu tim yang sama.”

Pola pikir yang kompetitif mengenai gereja atau pelayanan formasi spiritual seseorang mungkin merupakan naluri manusia yang sangat alamiah. Namun jika kita serius ingin mengenakan pikiran Kristus, jelaslah bahwa semangat persaingan tidak selaras dengan nilai-nilai kerajaan-Nya. Kita berada di tim yang sama, dan transformasi menjadi serupa Kristus dibuktikan dengan keinginan kita untuk mendahulukan kepentingan Kerajaan Allah.

Article continues below

Teman saya, James Catford, pemimpin senior di Renovaré, menggunakan analogi penyelamatan di Dunkirk dalam Perang Dunia II untuk menjelaskan semangat yang ingin ditunjukkan Dallas kepada kita.

Pada momen penting dalam perang tersebut, ribuan tentara Inggris dan Sekutu terdampar di Dunkirk, Prancis, tepat di seberang Selat Inggris. Seperti yang digambarkan dalam film populer dengan judul yang sama, Dunkirk, pasukan itu berada di bawah ancaman konstan dari Luftwaffe, dan tidak ada kapal angkatan laut Inggris yang cukup untuk menyelamatkan mereka semua. Jadi pemerintah meminta setiap warga sipil Inggris yang memiliki perahu untuk menyeberangi selat itu dan menjemput para tentara.

Kapal dari segala bentuk dan ukuran berangkat dan membawa pulang lebih dari 338.000 tentara Inggris dan Sekutu. Sebagian orang percaya bahwa tanpa upaya bersama ini, Jerman akan memenangkan perang.

Dalam gerakan formasi spiritual, jika kita memperhatikan keprihatinan Dallas, maka setiap orang yang memiliki “perahu”—sebuah pelayanan, program, buku, pusat retret, siniar formasi spiritual, dan seterusnya—perlu bersatu dalam pelayanan yang sangat dibutuhkan ini: memuridkan orang-orang yang benar-benar diubahkan. Semoga kita waspada terhadap bahaya yang menjerumuskan kita ke dalam semangat persaingan; semoga kita terus-menerus dan dengan rendah hati mengundang Yesus agar menjaga hati kita tetap selaras dengan nilai-nilai kerajaan Allah. Kita semua benar-benar terlibat bersama-sama dalam hal ini.

Belum lama ini, saya menghabiskan waktu satu jam dalam pertemuan Zoom dengan presiden Renovaré yang baru, Ted Harro, di mana kami membahas pekerjaan dari dua pelayanan formasi spiritual kami.

“Saya hanya memikirkan satu hal, Jim,” kata Ted. “Bagaimana kami bisa menjadi mitra terbaik untuk membantu Anda mengerjakan pelayanan yang sedang Anda lakukan?”

Saya mengatakan kepadanya bahwa saya juga memiliki minat yang sama persis. Pada saat itu, saya merasa seolah-olah di suatu tempat yang mulia, Dallas sedang bersukacita.

James Bryan Smith adalah Ketua Christian Spiritual Formation di Friends University, direktur eksekutif Apprentice Institute, dan penulis The Good and Beautiful God.

Diterjemahkan oleh Fanni Leets.

[ This article is also available in English Français 简体中文 繁體中文, and 日本語. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]