Berdiri di sawahnya di desa Kemadang di sepanjang pantai selatan Jawa, Marni Mariani, 53 tahun, menunjuk ke tanah kering di kakinya. “Ini lahan yang akan kami panen dalam tiga minggu,” ujarnya. Namun karena kurangnya hujan pada musim ini, dua dari empat sawahnya gagal panen.

Ia mengatakan bahwa dia tidak menjual hasil panen padi dari lahannya, yang berukuran 32 x 49 kaki (sekitar 150 m2), melainkan beras tersebut untuk dimakan keluarganya. “Namun kadang-kadang jika terjadi bencana kelaparan dan hasil panen sedikit, kami terpaksa membeli [beras] dari pihak luar,” katanya. “Itulah yang membebani kami di sini.”

Akan tetapi, sejak tahun 2020, Marni tidak perlu khawatir lagi untuk membeli beras dengan harga mahal. Tetangganya yang berusia 70 tahun, Mbah Gepeng Harjo, juga tidak lagi kesulitan membeli benih dan pupuk mahal yang dibutuhkannya untuk mengolah sawah yang ia garap. ( Mbah berarti “orang yang sudah tua.”)

Hal ini berkat program lumbung inovatif yang dikelola gereja yang didirikan oleh pendeta setempat, Kristiono Riyadi, dari Gereja Kristen Jawa Kemadang, yang berupaya menjaga cadangan pangan masyarakat, terutama pada saat kekeringan. Lumbung tersebut menyediakan program simpan pinjam biji-bijian dan program pembelian kembali hasil bumi. Lumbung itu juga menyediakan benih dengan harga terjangkau.

Lumbung adalah solusi lokal untuk mengatasi kerawanan pangan di Indonesia, sebuah masalah luas yang dihadapi oleh hampir 1 dari setiap 10 masyarakat Indonesia, dan masalah ini semakin meningkat seiring dengan semakin tidak menentunya iklim. Tingkat kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul, tempat Kemadang berada, adalah sekitar 16 persen, dengan sekitar 6.000 keluarga hidup dalam kemiskinan ekstrem.

Gereja juga memandang pelayanannya sebagai upaya untuk membagikan kasih Tuhan kepada masyarakat dengan membantu beberapa kebutuhan mereka yang paling mendasar.

“Dari kesaksian anggota lumbung pangan yang beragama lain, mereka merasa bahwa gereja memberikan perhatian kepada semua orang, tidak hanya memikirkan dirinya sendiri melainkan orang lain juga,” kata Kristiono.

Sumber bantuan untuk lahan kering

Kabupaten Gunungkidul beriklim tropis, dengan topografi didominasi perbukitan karst, kawasan batu kapur yang terkikis tidak teratur dengan gua alam dan sungai bawah tanah. Musim hujan di sana singkat, hanya berlangsung selama bulan November. Penduduknya terutama menanam padi, jagung, dan kacang-kacangan.

Kesulitan terkait gagal panen, terbatasnya sumber air, dan musim kemarau panjang akibat perubahan iklim sering kali membuat para petani di wilayah tersebut membutuhkan bantuan dari luar.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Ketika situasi semakin buruk di Kemadang dan desa-desa lain di Provinsi Yogyakarta, Gunungkidul, Kristiono mengadakan lokakarya pertanian pada awal tahun 2020 untuk membantu jemaatnya, yang sebagian besar adalah petani. Salah satu kekhawatiran utama mereka adalah bagaimana mendapatkan benih padi yang murah dan berkualitas tinggi.

“Saya mengemukakan ide untuk membantu warga desa dengan mendirikan lumbung pangan ini,” kata Kristiono. “Petani ingin hasil panen padinya disimpan, dan ingin mudah mendapatkan benih dengan harga terjangkau. Lumbung ini tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan mereka sepanjang tahun, tetapi juga membantu mereka saat musim kemarau panjang.”

Kristiono menjelaskan bahwa para anggota dari program itu diharuskan menyimpan setidaknya 10 kilogram (22 pon) gabah di lumbung setiap tahunnya dan dapat menyimpan hingga 40 kilogram (88 pon). Mereka kemudian dapat meminjam beras dari lumbung untuk konsumsi sehari-hari, perayaan khusus, atau situasi darurat. Jika mereka meminjam beras untuk perayaan, mereka harus membayarnya kembali beserta bunganya.

Selain menyediakan tempat penyimpanan, program ini juga menjadi salah satu cara untuk mendukung komunitas petani secara ekonomi. Saat musim panen, harga gabah rendah, tetapi harga naik saat musim sepi, biasanya pada bulan Juli hingga Oktober. Jadi gereja memutuskan untuk membeli hasil panen para petani, termasuk beras, kacang-kacangan, dan kedelai, dengan harga di atas harga pasar. Gabah tersebut disimpan dan kemudian dipinjamkan kepada anggota atau dibeli oleh masyarakat pada musim kemarau. Anggota dapat membelinya dengan harga diskon.

Unduh-unduh, atau hari panen, diadakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen setiap tahunnya,” ujarnya. Program lumbung “merupakan pengembangan ekonomi tidak hanya bagi jemaat, melainkan juga bagi masyarakat sekitar.”

Sebuah program yang dipimpin oleh komunitas

Saat ini terdapat tiga lumbung, dua di antaranya terletak di desa Planjan dan Banjarejo, dan semuanya melayani 90 petani, termasuk beberapa petani yang bukan Kristen. Pada suatu pagi di bulan Februari, dua petani mampir ke gudang untuk membeli benih padi, sementara yang lain datang membawa beras untuk disimpan.

Modal awal lumbung pangan ini berasal dari sinode Presbiterian di mana Gereja Kristen Jawa Kemadang menjadi anggotanya. Tujuannya untuk memberikan ketahanan pangan bagi masyarakat, bukan hanya jemaat saja.

Article continues below

Sekretaris Jenderal sinode itu, Anugerah Kristian, mengatakan sinode memberikan 30 juta rupiah (sekitar $2.000 USD) untuk menjamin lumbung pangan di Kemadang sebagai stimulus ekonomi. “Kami menyediakan modal hanya sebagai insentif untuk memulai proyek tersebut," kata Anugerah. “Lumbung itu harus melibatkan warga atau anggotanya.”

Lumbung tersebut mampu secara finansial, meski keuntungannya sangat kecil, kata Kristiono. Karena petani mengembalikan hasil panennya ke gudang, terkadang dengan bunga, maka Kristiono bisa menjual sisa gabahnya dan menggunakan keuntungannya yang sedikit untuk membeli hasil panen lainnya. Namun tantangannya adalah jika panen gagal dan petani meminta perpanjangan batas waktu pelunasan kepada lumbung tersebut.

Anugerah menegaskan, partisipasi masyarakatlah yang membuat lumbung ini sukses. “Para anggota jemaat, masyarakat, dan pemerintah desa memikirkan kondisi mereka dan kesulitan yang mereka alami,” ujarnya. “Ide untuk membangun lumbung muncul secara lokal dan dilaksanakan sesuai dengan situasi mereka, dengan dukungan sinode.”

Marni yang telah menjadi anggota sejak lumbung itu didirikan dan juga anggota Gereja Kemadang, mengatakan bahwa lumbung gereja telah memberikan bantuan ekonomi yang sangat penting. “Air sangat sulit didapat di sini, dan kadang hasil panennya sedikit, sehingga kami harus hemat dalam menggunakan beras yang sudah dipanen,” ujarnya. “Kalau bibitnya kurang, maka harus beli ke tengkulak dengan harga yang cukup tinggi. Hal ini cukup memberatkan. Namun sejak lumbung padi ini berdiri, kami sangat terbantu.”

Pada masa pandemi COVID-19, pemerintah setempat membeli beras dari lumbung tersebut untuk dibagikan kepada masyarakat.

Waldiyanto Harjo, salah satu perangkat desa, menyampaikan apresiasinya terhadap lumbung padi itu. “Saat kegiatan ini diluncurkan, banyak warga desa yang hadir karena kepala desa dan perangkat lainnya datang,” ujarnya. “Lumbung pagi ini terus berfungsi meski desa itu belum memberikan tambahan modal.”

Kristiono memandang lumbung padi sebagai cara gereja menghidupi Injil. “Bagi saya, ini adalah bentuk kepedulian gereja, sebagaimana firman Tuhan dalam Markus 12:31 untuk ‘mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri’,” ujarnya. “Inilah wujud cinta yang sesungguhnya. Kami di sini mewujudkan hal tersebut dengan lumbung padi ini.”

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]