Delapan tahun lalu, adik laki-laki saya, Timothy D. Kim, dibunuh. Tim dan saya tidak selalu akur atau sepakat dalam segala hal; kami sangat berbeda. Namun Tim memiliki banyak kualitas bagus. Kami berbagi banyak tawa dan kasih. Hati saya berduka setiap kali saya mendengar bahwa ada saudara-saudara kandung yang tidak lagi saling berbicara.

Bahkan dalam keluarga inti, kita banyak berbeda pendapat dalam setiap topik—baik politik, sains, imigrasi, gender, ras, iklim—sampai pada titik di mana kita tidak lagi berbicara satu sama lain. Apakah perbedaan pendapat sedemikian penting untuk “memutuskan” pertalian darah dan daging kita? Demikian pula, bisakah kita mengabaikan teman-teman kita begitu saja karena perbedaan pendapat, seperti yang sedang tren saat ini? Bukankah hubungan yang berharga dengan anggota keluarga dan teman-teman kita patut diperjuangkan?

Selama setahun terakhir, saya mulai menemui psikolog dan psikiater Kristen terkait trauma-trauma jangka panjang dan masalah-masalah kesehatan mental yang terkait.

Suatu sore, saya dan psikolog saya sama-sama menyayangkan kondisi masyarakat saat ini. Ia mengamati sesuatu yang begitu sederhana tetapi sangat sulit diterima oleh banyak orang: “Tuhan tidak pernah bermaksud agar kita sepakat dalam segala hal. Etika dasar manusia adalah bahwa setiap orang bisa memiliki pendapat yang berbeda.”

Orang akan berbeda pendapat dan diharapkan untuk berbeda pendapat satu sama lain. Jika demikian, mengapa sulit sekali untuk membiarkan adanya perbedaan pendapat dan tetap bersikap sopan satu sama lain? Dalam persoalan-persoalan yang tidak penting, mengapa kita tidak bisa berbeda pendapat dan tetap bersahabat? Mengapa kita begitu takut dianggap menjadi “yang lain”?

Mengapa kita dengan mudahnya mengabaikan atau mengakhiri hubungan dalam keluarga Allah—yang memiliki darah rohani yang sama dengan kita? Entah perdebatan mengenai perempuan dalam kepemimpinan pastoral, nasionalisme Kristen, atau rasisme, konflik-konflik yang sengit menyebabkan keretakan hubungan dan kehancuran di dalam gereja.

Misi utama Iblis adalah untuk memisahkan manusia satu dari yang lainnya dan dari Tuhan, baik dengan mengisolasi kita selama COVID-19 atau dengan memecah-belah kita menjadi beberapa kelompok melalui media sosial.

Si Pendakwa memakai perselisihan biasa dalam hidup dan mengangkatnya menjadi sesuatu yang beracun. Setiap kali kita mengobarkan api kemarahan dan permusuhan, kita memajukan rencana Iblis untuk memecah belah dan menjajah umat Kristen, bukannya menabur perdamaian dan mengasihi sesama dengan baik.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Dalam kata pengantar buku The Empathy Effect: 7 Neuroscience-Based Keys for Transforming the Way We Live, Love, Work, and Connect Across Differences karya Helen Riess, aktor Alan Alda bertanya,

Apa yang membuat kita bisa terhubung dengan orang lain? Apa yang membantu kita untuk membangun berbagai hal bersama-sama? Apa yang menolong kita untuk berkolaborasi tanpa mementingkan diri sendiri? Kekuatan dahsyat apa yang dapat mendorong kita menjadi diri kita yang terbaik? … Bagaimana kita dapat menggapai hal yang sangat mendasar yang membantu kita berkembang?

Secara harfiah diterjemahkan dari bahasa Yunani untuk kata “dalam” (em) dan “perasaan” (phaty), empati melibatkan “kemampuan untuk membayangkan dan memahami pikiran, perspektif, serta emosi orang lain,” menurut Oxford’s Concise Medical Dictionary. Empati membantu kita merasa diperhatikan dan dikenal.

Tentu saja, berempati bukanlah upaya yang mudah. Secara alkitabiah, hal ini merupakan perluasan dari penerapan etika relasional Paulus:

...dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. (Flp. 2:3–4)

Ada tiga praktik yang bisa membantu kita berempati, agar kita bisa lebih menyerupai Kristus daripada budaya dunia:

Pertama, empati mengharuskan kita melepaskan berhala-berhala kita. “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” adalah perintah pertama (Kel. 20:3). Jika sesuatu, seseorang, atau suatu ideologi begitu penting bagi kita sehingga kita merasa harus “membatalkan” atau mengakhiri interaksi dengan orang lain, maka kita mungkin sedang melakukan penyembahan berhala. Tidak ada yang lebih penting daripada Tuhan dan kehendak-Nya. Tuhan ingin kita mengasihi orang lain, meski di kala kita berbeda pendapat.

Ideologi, identitas, atau praktik apa yang menyebabkan kita bersengketa dan bertengkar dengan orang lain? “Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu?” menurut Yakobus 4:1.

Untuk berempati dengan orang lain, saya harus bersedia mengakui bahwa unsur-unsur yang memisahkan kita mungkin disebabkan oleh penyembahan berhala saya. Apakah saya bersedia mendengarkan pandangan atau pengalaman orang lain dan menunda bantahan apa pun? Apakah saya rela merobohkan berhala-berhala saya demi persatuan gereja dan umat Tuhan serta menjaga persekutuan? Akankah saya mengakui berhala-berhala ini secara teratur kepada Tuhan dan orang lain? Akankah saya akan membasminya dari hidup saya? Berhala-berhala yang menghancurkan hubungan perlu diakui dan disingkirkan.

Article continues below

Kedua, empati mengharuskan kita untuk mendengarkan orang lain, terlepas dari apakah kita menganggap mereka benar atau salah. Terlalu banyak dari kita yang lebih menghargai kebenaran diri daripada relasi.

Beberapa tahun yang lalu, saya menyaksikan dengan ngeri ketika seorang pendeta dan salah satu jemaatnya bertengkar secara terbuka di media sosial mengenai masalah baptisan. Alih-alih memprioritaskan hubungan, pendeta malah mencaci-maki anggota gerejanya dan menyebut dia sesat karena tidak sependapat dengannya. Pertengkaran tanpa filter dan memilukan ini dipertontonkan kepada dunia. Saya menduga orang itu meninggalkan gerejanya, tetapi saya berdoa kiranya dia tidak meninggalkan imannya.

Tidak ada seorang pun yang ingin berbuat salah dan hanya sedikit dari kita yang senang ditantang. Namun kita bisa menunjukkan kebaikan bahkan ketika kita berpikir kita benar, karena panggilan kita sebagai orang Kristen adalah menjadi agen kasih karunia. Surat 1 Petrus menyatakan, “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah” (4:10). Kita dapat mengevaluasi persahabatan kita selama dua atau tiga tahun terakhir dan bertanya pada diri sendiri, Apakah saya kehilangan teman karena “merasa benar”? Apakah di masa mendatang saya akan lebih memilih relasi daripada kebenaran diri?

Ketiga, empati membutuhkan berbagai perspektif. Seperti kebanyakan orang, saya senang membaca buku, artikel jurnal, dan ulasan yang pada dasarnya mengatakan bahwa saya benar. Sungguh menyenangkan ketika membaca tulisan penulis yang memperjuangkan klaim kita. Namun seperti yang dikatakan rekan saya, Scott M. Gibson, kepada saya, semakin sering kita membaca penulis yang sama, penerbit yang sama, jurnal dan majalah yang sama, pamflet denominasi yang sama, dan outlet berita yang sama, maka alam pemikiran kita akan semakin mengecil, menguat, dan tertutup rapat.

Bisakah kita mencoba membaca satu buku utuh di tahun ini dari seorang penulis di kubu lain atau dengan perspektif yang sama sekali berbeda? Buku tersebut mungkin akan membuat kita marah. Kita mungkin akan tidak setuju. Kita mungkin akan sangat membenci buku itu. Namun bisakah kita mencoba mencatat beberapa wawasan atau “kelebihan” yang patut dipuji dari buku tersebut?

Article continues below

Jika kita hanya membaca buku-buku para pahlawan teologis, penulis Kristen, dan novelis kesayangan kita, hal ini akan mengurangi apresiasi dan kemampuan kita untuk melihat dunia dari pengalaman orang lain. Mungkinkah mereka mengatakan sesuatu yang belum kita pertimbangkan, perhatikan, atau alami sendiri? Membaca dalam lingkaran umpan balik positif akan menahan kemampuan untuk berpikir bagi diri kita sendiri. Empati muncul ketika kita membaca dan mencerna perspektif yang berlawanan, bahkan ketika hal tersebut terasa menyebalkan.

Saya pikir Alan Alda benar bahwa empati adalah “saus rahasia” yang sangat dibutuhkan, yang telah hilang dari budaya kita. Kita dapat dan harus mengejar empati dengan intensionalitas dan doa. Bukan berarti kita menjadi pribadi seperti keset yang cemas (anxious doormats), yang membiarkan orang lain berlaku buruk terhadap kita dan takut mengekspresikan diri kita. Sebaliknya, “kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan” (1Yoh. 4:18).

Pada akhir hidup kita, saya berdoa kiranya kita tidak melihat ke belakang pada masa-masa yang terpolarisasi ini dan bertanya, Apakah saya seharusnya lebih peduli untuk menempatkan orang-orang lain pada tempatnya atau lebih peduli pada orang-orang yang baginya Yesus rela mati?

Maka, ya Tuhan, mohon berilah kami semangat empati. Kiranya hal ini dimulai dari saya. Kiranya hal ini dimulai dari kami, “Kristus-Kristus kecil.” Ini adalah hal yang sangat dibutuhkan dunia saat ini.

Matthew D. Kim adalah profesor teologi praktika dan Kepala Kepemimpinan Pastoral Hubert H. dan Gladys S. Raborn di Truett Theological Seminary (Baylor University) serta penulis buku yang akan diterbitkan Becoming a Friendlier Church (Lexham Press, 2024). Speaking Out adalah kolom opini penulis tamu dari Christianity Today.

Diterjemahkan oleh Vika Rahelia.

[ This article is also available in English. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]