Ketika saya memimpin sebuah pendalaman Alkitab tentang pengudusan, saya membagikan tiga narasi biblikal tentang kehidupan kristiani. Yang pertama: sebuah narasi pembaruan, kematian dan kebangkitan tentang pertobatan dan kehidupan setiap hari yang dipenuhi dengan pengampunan Tuhan. Yang kedua: sebuah kisah tentang umat Tuhan yang melakukan perjalanan melalui padang gurun yang berbahaya di mana mereka menghadapi pergumulan dan serangan-serangan secara spiritual. Dan ketiga: sebuah gambaran tentang kehidupan yang melayani—bagaimana menjadi persembahan hidup yang berkenan kepada Tuhan, terlibat dengan sesama, serta berbagi suka dan duka dalam komunitas.

Saya bertanya, “Gambaran manakah yang sedang menggambarkan kehidupan Anda sekarang?” Tidak mengherankan ketika para peserta memilih gambaran yang berbeda. Seorang perempuan merasa dirinya tidak cukup baik di hadapan Tuhan karena ia merasa bersalah atas dosa di masa lalu. “Bagaimana mungkin Tuhan mengampuni saya? Saya harus kembali lagi dan lagi kepada salib.” Jemaat yang lain berkata, “Saya merasa hidup adalah sebuah perjuangan dan saya terus-menerus diserang, dicobai untuk meragukan janji-janji Tuhan akan kecukupan hidup.” Pria ini telah menganggur selama beberapa waktu, dan setelah ditolak berulang kali oleh calon pemberi kerjanya, ia merasa perlu untuk berharap lagi kepada Tuhan. Orang ketiga berkata, “Saya hanya ingin tahu apa yang dibutuhkan orang-orang dalam komunitas ini dan saya ingin melakukan sesuatu untuk itu!” Pemuda ini siap bertindak, sangat ingin melayani sesamanya.

Apakah setiap orang Kristen mengalami kehidupan rohani dengan cara yang sama? Tentu saja tidak. Namun kita sering mengajarkan pengudusan seolah-olah seperti demikian. Kita berdebat tentang apakah pengudusan harus dilihat sebagai sebuah siklus atau proses, apakah kekudusan itu adalah tentang pergumulan atau kesempurnaan, dan seterusnya. Kita menjadikan pengudusan menjadi sebuah konsep yang membutuhkan solusi yang seragam. Kita kehilangan kepekaan bahwa pengudusan adalah tentang sebuah kisah—tentang karya Roh Kudus di dalam dan melalui (dan ya, bekerja sama dengan) bejana-bejana yang retak, yang paling baik dikisahkan dalam bahasa visual yang kaya dari narasi-narasi alkitabiah. Tidak ada satu pun cara berpikir yang homogen tentang pengudusan; setiap orang berada di tempat yang berbeda dalam menggambarkan kehidupan Kristen. Saya bersyukur atas beragam narasi yang kaya di dalam Alkitab, yang dapat kita gunakan untuk membantu kita berjalan bersama mereka yang dipercayakan untuk kita bimbing secara rohani.

Article continues below

Buletin-buletin gratis

Buletin-buletin lainnya

Pengalaman dan kebutuhan rohani para peserta pendalaman Alkitab saya hari itu selaras dengan narasi pengudusan yang kita temukan dalam Kitab Suci. Narasi pembaruan berbicara tentang kebutuhan akan pemulihan dari perempuan pertama. Orang kedua menghadapi keraguan, dan gambaran kehidupan di padang gurun—berdiri teguh melawan serangan si jahat dengan berpegang pada janji-janji Tuhan—menunjukkan kebutuhannya akan rasa aman di tengah pergumulan hidup. Orang terakhir benar-benar bertanya tentang tujuan hidupnya; ia beresonansi bersama dengan gambaran alkitabiah tentang pelayanan dan panggilan untuk berkomunitas.

Kehidupan Kristen tentang mati dan dibangkitkan ke dalam kehidupan baru, tentang berdiri teguh di padang gurun, atau tentang memberi ruang bagi orang lain yang membutuhkan, apakah semua itu membentuk arti dari melayani? Jawabannya adalah ya! Kekudusan memiliki banyak wajah. Alkitab tidak hanya memberikan kita satu, melainkan banyak cara untuk menggambarkan dan mengundang para pendengar Firman ke dalam kehidupan di dalam Roh Kudus. Roh Kudus adalah seperti Sang Pemahat yang membentuk kita menjadi serupa Kristus dengan cara yang paling kita butuhkan.

Apa yang menjadi pergumulan utama dari jemaat kita? Identitas? Rasa aman? Tujuan? Kita dapat menggembalakan mereka dengan sebaik-baiknya seiring mereka memahami kehidupan rohani, ketika kita mengijinkan beragam narasi yang berbeda itu membentuk pemahaman kita tentang pengudusan.

Berbagai kisah dan gambaran Alkitab memberi kita tata bahasa visual untuk mengartikulasikan seperti apa kehidupan di dalam Roh di pelbagai waktu dalam perjalanan rohani seseorang. Tata bahasa yang mengekspresikan kondisi rohani, kebutuhan, dan harapan seseorang ini, mendorong kita untuk berdoa saat kita meminta Roh Kudus untuk masuk dan menyediakan apa yang dibutuhkan: Datanglah, ya Roh Kudus!

Selain narasi pembaruan, padang gurun, dan pelayanan, Alkitab menyampaikan banyak gambaran dan kisah lain tentang kehidupan kristiani. Narasi tentang keramahan kepada orang asing, tentang orang-orang terbuang yang disambut ke dalam kerajaan Allah melalui iman di dalam Kristus, tentang Roh Kudus yang memimpin gereja keluar dari Yerusalem menuju ke daerah-daerah pinggiran di mana orang-orang Samaria dan orang non-Yahudi tinggal. Atau narasi kehidupan yang mengabdi kepada Allah dalam pekerjaan dan doa, tentang memelihara taman tetapi selalu menyediakan waktu untuk istirahat di hari Sabat, tentang Yesus yang melakukan misi Bapa tanpa mengorbankan waktu-Nya untuk bersama dengan Bapa di dalam doa.

Article continues below

Ketika kita menggembalakan mereka yang kita bimbing untuk bertumbuh serupa Kristus, kita dapat melihat banyak narasi kehidupan yang dikuduskan dalam Alkitab, yang mungkin sejalan dengan apa yang dihadapi oleh jemaat kita dalam perjalanan rohani mereka. Tentu saja, dalam kehidupan nyata, kisah-kisah ini sering kali bersinggungan. Umat Tuhan sangat mungkin mengalami rasa bersalah, malu, pergumulan, dan kebutuhan akan pelayanan secara bersamaan! Hidup itu rumit.

Akan tetapi Roh Kudus menuntun kita saat kita memasuki kehidupan yang kompleks dari sesama kita. Ketika kita melakukannya, kita mengakui bahwa kita pun membutuhkan Roh Kudus untuk memberi kita pengampunan, rasa aman, tujuan, sambutan, dan peristirahatan yang sama kepada orang lain yang sangat membutuhkan perhatian kita. Maka dari itu, kita pun berdoa, Datanglah, ya Roh Pemahat Kehidupan!

Leopoldo Sánchez adalah profesor teologi sistematika di Concordia Seminary di St. Louis. Dia adalah penulis dari Sculptor Spirit: Model of Sanctification from Spirit Christology.

Diterjemahkan oleh David Alexander Aden.

[ This article is also available in English and Français. See all of our Indonesian (Bahasa Indonesia) coverage. ]